Menggores Damai Di Kanvas Aceh...

Menggores Damai Di Kanvas Aceh...

Masjid Raya Baiturrahman
Ratusan bocah-bocah belasan tahun di Banda Aceh dengan semangat mengikuti lomba melukis. Kali ini bukan melukis tentang tsunami seperti yang marak beberapa bulan silam. Tapi sekarang tentang perdamaian. Menarik memang, ketika damai itu digores anak-anak.

Dulunya, jika anak-anak diajak melukis yang digambar pasti soal senjata, granat dan rumah-rumah yang terbakar. Lalu, ketika musibah dahsyat tsunami menghayak Aceh, giliran gelombang dan orang-orang berlarian ke segala arah yang digambarkan.

Semua itu sudah berlalu, kini mengisi masa damai. Hasil goresan pun berbeda pula. Tidak seperti biasanya. Apik dan menarik. Semua kegiatan tersebut dirangkum guna menyambut 2 tahun perdamaian Aceh pada 15 Agustus nanti. "Bergandeng Tangan, Merenda Damai" itulah tema acara itu.

Tentu saja, hajatan tersebut digelar Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA). Mulai dari Duek Pakat Ulama dan Tokoh Masyarakat Aceh "Pikee Keu Damee" hingga Lomba Lukis dan Menulis Surat Anak untuk Perdamaian Aceh.

Faurizal Moechtar, ST, staf BRA Pusat kepada Waspada, kemarin mengatakan pihaknya juga akan menggelar Tour Perdamaian Keliling Aceh, pada 15 Agustus nanti. Katanya, kegiatan tersebut akan 15 becak yang mulai bergerak dari Banda Aceh.

Untuk tour perdamaian tersebut, para peserta akan mengusung atribut-atribut serta buletin perdamaian ntuk dibagi-bagikan kepada masyarakat. "Kita targetkan 10 hari keliling Aceh itu akan selesai," ujarnya.

Bukan cuma itu, dalam tour tersebut selain abang becak, juga akan ikut puluhan mahasiswa yang akan diawal foreder serta satu unit mobil ambulan. "Setiap masuk kabupaten kota mereka akan disambut dan dilepaskan oleh BRA setempat," sebut Faurizal yang juga Koordinator Bidang Ekonomi BRA.


Menurut mantan aktivis ini, ketika berbicara damai mendengar suara hati anak-anak adalah langkah tidak salah dan bijaksana. Toh, anak-anak paling punya hak menikmati perdamaian ini. Dan itulah yang dilakukan lembaga reintegrasi ini dalam memperingati dua tahun perjanjian damai yang diteken pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

"Saya terharu melihat goresan anak-anak. Apresiasi mereka tentang perdamaian sangat luar biasa," kata Faurizal mengomentari aksi 210 anak-anak di Banda Aceh yang mengikuti lomba lukis dimaksud. Acara yang digelar di kompleks Meuligoe Gubernur Aceh, pada Senin (6/8) petang itu, berlangsung sukses.

Begitu pula dengan Tijana Syarafana, salah satu peserta lomba lukis. Siswa SD Percontohan Lamlagang mengaku senang dengan kondisi Aceh yang sudah damai. "Kemana-mana kita nggak takut lagi, nggak ada suara bom," celotehnya.

Ketua Harian BRA, M Nur Djuli yang menyempatkan diri menengok apresiasi anak-anak di atas kertas menyambut positif kegiatan tersebut. Bukan hanya sebatas itu, dia juga mengaku kagum dan tak menyangka, ketika melihat lukisan karya anak-anak. "Bagus-bagus dan menarik," komentarnya.

Goresan anak-anak yang dilihat Nur Djuli bervariasi, ada yang menggambar orang bersalaman, pos TNI dan GAM, bendera merah putih dan bendera GAM. "Isinya tidak ada lagi unsur-unsur kekerasan dalam pikiran anak-anak serang, semuanya sudah damai. Positif sekali," sebutnya.

Kendati menarik, kita harus menunggu sepekan lagi untuk menunggu siapa pemenangnya. Tapi yang penting damai sudah tersemai.

Dimuat pada: 07/08/07
Bulan Bintang Di Langit Aceh

Bulan Bintang Di Langit Aceh

Alam Peudeng | Foto Istimewa
SABRI memulai pagi dengan secangkir kopi. Seperti biasa dia ditemani sepotong surat kabar terbitan lokal. Pada hari itu, matanya tertuju pada dua buah gambar. Satu berwarna merah, di tengahnya Bulan Bintang yang dibentengi strip hitam putih.

Di sampingnya sebuah gambar lain berupa seekor singa dan burak menggamit rencong. Gambar ini juga berisi gambar lain berupa gliwang, perisai, rangkaian bunga, daun padi, jangkar, huruf ta tulisan Arab, kemudi, dan bulan bintang. Kedua gambar ini cukup akrab di mata Sabri.

Sambil mencampakkan koran dia bilang, "nyoe cukup pas, tapi ek han diproteh le awak laen, ini cukup sesuai, namun apa tidak akan muncul protes dari pihak lain," gumamnya saat menyeruput secangkir kopi plus selai Samahani di sebuah warung kopi di perbatasan Kota Banda Aceh dan Aceh Besar belum lama ini.

Gumamnya Sabri terkait dengan Rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang dipublis untuk masyarakat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). "Kalau saya setuju saja apalagi masih tidak melanggar hukum Indonesia. Asalkan Aceh tetap aman dan damai habis perkara," tukas dia lagi.

Beda dengan Sabri. Mukim Ulee Kareng, Teuku Dahlan malah meminta agar lambang Aceh harus dibuat dengan memperlihatkan ciri khas dan cita-cita Aceh. "Agar saat orang Aceh melihat lambang itu akan teringat kembali terhadap cita-cita Aceh," ujar dia.

Dahlan mengatakan itu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum atau RDPU Rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh di Gedung AAC Dayan Dawood, Darusalam Banda Aceh, pada Senin (19/11) lalu.

Hajatan itu digelar Komisi A DPR Aceh yang membidangi pemerintahan dan hukum. RDPU digelar dengan mengundang masyarakat umum guna memberi masukan tentang isi qanun dimaksud. Yang diundang semua pimpinan partai nasional dan lokal.

Lalu, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pemerintahan, hukum dan politik, tokoh masyarakat Aceh, sejarawan, budayawan, serta Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa perguruan tinggi se-Aceh.

Tak cukup sehari, kegiatan serupa juga digelar esoknya, Selasa (20/11) di gedung serbaguna DPRA. Karena diminta masukan, masa masyarakat pun tak segan-segan membedah raqan tersebut.

"Bendera Aceh itu perlu ditambahkan warna kuning agar sesuai dengan lambang Pancacita Aceh dan sesuai dengan cita-cita Aceh," tambah Dahlan lagi di anggota Komisi A Adnan Beuransyah, Nurzahri, Tengku Harun, Abdullah Saleh, Nur Hakim dan lainnya.

Menyangkut itu, Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Banda Aceh, Firdaus malah meminta agar dimasukkan warna hijau sebagai warna latar belakang bendera. "Warna merah ditukar dengan warna hijau, karena itu warna bendera masa kerajaan dulu," urai dia.

Peserta RDPU lainnya, Mukhtar Syafari, mengatakan mengenai bendera dan lambang Aceh perlu dipahami dulu substansi dari MoU Helsinki sebelum menyatakan setuju atau tidak. "Jika kita pahami pasti tahu hubungan Qanun Wali Nanggroe, bendera dan lambang dengan kesejahteraan Aceh pasti kita dukung. Bendera Aceh adalah pemersatu Aceh," sebut dia.

Peserta RDPU tidak melulu memberi sokongan. Seperti dikatakan Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Riko Ari Pratama. "Rancangan qanun lambang dan bendera Aceh itu terlalu berlebihan untuk disahkan," katanya.

Dia menangkap kesan, dari banyak qanun yang sudah disahkan lembaga wakil rakyat, kenapa Qanun Lambang dan Bendera Aceh seperti untuk kepentingan satu kelompok saja. "Semua elemen masyarakat berhak memberikan pendapat mengenai qanun ini," kata Riko.

Mahasiswa Unsyiah ini berharap rancangan qanun mengenai bendera dan lambang Aceh direncanakan dengan matang. "Kalau rancangan itu memang sudah diatur dalam UU Pemerintahan Aceh, mudah-mudahan bisa menjadi yang terbaik buat Aceh ke depannya," tukas dia.

Pendapat lain diungkapkan Ketua Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh atau KMPA, Hendra Fauzi. Katanya, lambang dan bendera Aceh sebagaimana tercantum dalam rancangan qanun tidak perlu diperdebatkan lagi.

Rancangan qanun yang diusulkan eksekutif, bendera Aceh yang akan dipakai sebagai bendera daerah adalah bendera Bulan Bintang strip hitam putih dengan latar belakang berwarna merah. Memang gambar ini terlihat sama seperti atribun Gerakan Aceh Merdeka atau GAM.

Namun, dari berbagai literatur menyebutkan Aceh punya banyak bendera pada masa kerajaan dulu. Dan ini bisa kita temukan dalam hadih maja Aceh yang berbunyi: "Di Aceh na Alam Peudeung//Cap sikureung bak jaroe raja//dari Aceh sampoe u Pahang// Hana soe teuntang Iskandar Muda// Iskandar Tsani duk keu geulanto// Lako Putro Tajul Mulia."

Bendera yang dimaksud adalah bendera Alam Peudeung atau pada masa kejayaannya kerap disebut Alam Zulfikar. Bendera ini bermotif pedang tunggal yang melintang di tambah bulan bintang yang dibuat oleh Ali Mughayat Syah, Sultan Aceh pertama yang memimpin Aceh dari tahun 916-936 H atau sekitar tahun 1511-1530 M.

Disebutkan juga, Alam Peudeung memiliki dua warna, merah dan hijau. Alam Peudeung hijau dipakai saat kondisi kerajaan aman. Sebaliknya, bendera yang berwarna merah akan dikibarkan ke udara jika kondisi daerah dalam kacau balau atau darurat berperang.

"Bila meninjau dari sejarah kejayaan Aceh yang lebih layak dijadikan Bendera Aceh adalah bendera Alam Peudeung," kata Caesar Maswardi, seorang mahasiswa Unsyiah dalam diskusi di dunia maya.

Kata dia, Alam Peudeung adalah bendera yang telah dipakai sejak awal Kerajaan Aceh diperintah oleh sultan pertama Ali Mughayat Syah sampai dengan Sultan Muhammad Daud Syah terakhir. Kita tunggu saja, siapa yang berkibar di langit Aceh.
  Magrib Mengaji, Kearifan Yang Terabai

Magrib Mengaji, Kearifan Yang Terabai

Ilustrasi
ACEH memasuki babak baru dalam khasanah menjaga kearifan lokal. Mengaji magrib itu sudah turun temurun berlangsung di tanoh Aceh. Hanya saja dalam tiga dekade terakhir, kebiasaan itu luntur dalam kehidupan warga Serambi Makkah. Kenapa?

Jika dulu, mengaji magrib atas inisiatif keluarga, kini diambil alih pemerintah. Maka umara pun melalui Menteri Agama Republik Indonesia Suryadharma Ali, Minggu (24/7) malam, di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, meresmikan Gerakan Masyarakat Magrib Mengaji.

Pencanangan Gemmar Mengaji, kata Suryadharma bertujuan untuk menghidupkan kembali kebiasaan mengaji selepas magrib. “Gerakan ini untuk menghindari generasi muda agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang menyesatkan,” ujar dia.

Gerakan itu mengacu pada kondisi generasi muda yang kian tak terurus. "Generasi sekarang lumayan banyak yang terjerumus dalam perbuatan tidak terpuji misalnya melawan orang tua dan gurunya di sekolah," kata Suryadharma.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengakui, kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun itu makin merosot. "Akibatnya, kita harus bayar mahal dengan munculnya generasi muda Aceh, baik asli Aceh maupun yang datang dari luar, buta huruf al-Quran,” katanya.

Bicara Magrib mengaji, Tgk H Faisal Aly, seorang ulama dayah di Aceh Besar menilai, langkah pemerintah itu diharapkan bisa mengoptimalkan kembali kebiasaan masyarakat Aceh, yang mulai luntur.

"Bagi Aceh bukan pencananganan, kebiasaan magrib mengaji itu sudah lama hidup di tengah masyarakat. Memang ada beberapa kampung tak optimal lagi," sebut pimpinan dayah ini.

Kata dia, dengan semangat pemerintah itu, dia mengharapkan bisa optimal kembali. "Tapi yang paling penting, bagaimana Pemerintah Aceh mendorong aparat desa untuk membuat langkah strategis," ujar H Faisal Aly.

Menurut Ketua PW NU Aceh ini, langkah jitu itu tak tak cukup dengan pencanangan, jika tak dibuat hal-hal yang mendukung. "Pemerintah Aceh perlu membuat Peraturan Gubernur soal pengaturan waktu kegiatan hiburan, termasuk tivi tidak boleh hidup dari jam enam 6 hingga 8 malam," jelas dia.

Faisal Aly tak menyalahkan konflik, akibat lunturnya kearifan lokal itu. Tapi lebih pada kemauan dan kepedulian orang tua dan anak Aceh yang menipis rasa tanggung jawabnya. "Konflik tak mengganggu balai-balai pengajian, ini lebih pada keluarga yang abai," papar dia.

Tak salah konflik


Pegiat kebudayaan, Sulaiman Tripa menilai kemerosotan itu tidak bisa digolongkan sebab konflik. "Di sini peran orang tua, yang mungkin abai terhadap kehidupan anak, sehingga banyak anak justru tidak mampu baca al-Qur’an," jelas dia.

Lalu, katanya, untuk kehidupan kolektif, mungkin konflik bisa jadi salah satu sebab, dalam hal, khususnya tidak bisa lagi anak-anak mengaji waktu malam karena kondisi waktu itu demikian.

Menurut dia, hal ini seharusnya bisa diantisipasi orangtua secara personal. "Dulu orang tidak malu bila tidak mampu, mereka akan menyerahkan anaknya kepada teungku-teungku untuk dibina secara santun," tuturnya.

Sedangkan orang yang mampu, akan mengajarkan sendiri di rumah. "Sekarang kondisi itu berbeda, karena banyak orang tua tidak peduli dengan ilmu agama anaknya," ungkap Pengajar Hukum dan Masyarakat pada FH Unsyiah ini.

Menyikapi Gemmar Mengaji, Sulaiman melihat gerakan baca al-Qur’an sehabis magrib, penting bagi upaya membangkitkan kembali meunasah sebagai cultural center. "Ini akan menjadi fondasi untuk membangun sistem pendidikan yang menyatu dengan Islam," ujarnya.

Lebih jauh, dosen yang aktif menulis ini menguraikan, bila membuka sejarah Aceh, maka ada hubungan yang erat antara kejayaan Islam dengan upaya-upaya yang dilakukan. "Dulu ada kesadaran menguatkan fondasi terlebih dahulu, baru kemudian memetik kejayaannya," tukasnya.

Dari kacamata Sulaiman, apa yang dilakukan generasi terdahulu, hingga empat abad lebih kejayaannya, patut dihidupkan kembali. "Konon, Belanda sekalipun yang sudah pernah berhasil menduduki Aceh, tapi tidak bisa mengoyahkan kejayaan Islam tersebut," urainya.

Mengulik Magrib mengaji, Sulaiman melihat sebagai sarana pendidikan agama bagi anak-anak. Kata dia, pendidikan tersebut, kemudian dipisahkan menurut fase-fase tertentu. Misalnya anak-anak yang belum siap merantau, ia akan belajar mengaji di meunasah.

Lalu, anak yang lebih kecil lagi, dididik di rumah. Sedangkan yang menanjak remaja, akan memilih meudagang (mencari ilmu di dayah). "Pada intinya orang tua perlu berperan aktif, jangan mengabaikan masalah itu," katanya.

Hal senada diutarakan, Muhammad Yakub Yahya, Direktur TPQ Plus Baiturrahman Banda Aceh. "Fungsi orang tua yang paling penting. Orang tua juga harus menjadi teladan bagi anaknya. Bagaimana anak mau mengaji, kalau orang tuanya masih di depan tivi," urainya.

Yakob menyambut baik Program Gemmar Mengaji tapi baginya yang tak kalah penting juga adalah gerakan moral mematikan televisi saat dan usai magrib. "Ini memang program nasional, tapi di Aceh sudah turun temurun, hanya saja banyak yang mengabaikan," katanya.

Lalu, sarannya, mendidik anak itu harus dimulai sejak dia dalam kandungan. Katanya, selama hamil, sebagian calon ayah dan ibu, sering mendatangi mini market, pusat perbelanjaan, atau café dan lainnya.

Disebutnya, selama mengandung anak, sebagian calon ibu dan ayah, cuma ahli mengotak-atik ponsel dan remot televisi. "Bukan semestinya yang banyak melangkah dan menetap dalam masjid, semestinya harus rajin membuka buku atau kitab yang dianjurkan agama suci," papar Yakob. [a]

Foto: bimasislam.kemenag.go.id

 Yang Bertanding Membela Perempuan

Yang Bertanding Membela Perempuan

Logo Partai Politik Nasional dan Lokal
RAIHAN DIANI terkenal jago orasi. Saat demontrasi semangatnya berapi-api. Suaranya lantang. Diani mantan aktivis mahasiswa. Setelah lama turun ke jalan, ia kini berangan-angan bisa berorasi di parlemen. Jalur yang ditempuh: bertanding dalam pemilu 9 April ini. Namanya sudah terdaftar sebagai calon legislator perempuan di DPR Aceh yang dimajukan oleh Partai Rakyat Aceh (PRA).

Partai lokal itu dibentuk berdasarkan amanat kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Selain PRA, ada lima lagi parlok yang bersaing dalam Pemilu 2009 ini, antara lain Partai Daulat Aceh, Partai Suara Independen Rakyat Aceh, Partai Aceh, dan Partai Bersatu Aceh.

Selain harus bertanding dengan sesama parlok, di Aceh mereka juga harus bersaing dengan 37 Partai Nasional, minus Partai Persatuan Indonesia Baru. Karena, PPIB tidak memiliki pengurus di tanah rencong.

Tekad Diani merebut satu kursi di parlemen sudah bulat. Bekalnya pun cukup kuat. Ia juga sudah kenyang asam garam dalam membela kaum perempuan. Tak heran jika dia paham betul kendala yang bakal menjerat langkah. Jika kelak angannya membentur tembok, ia mengaku sudah siap.

"Siapa pun pemenangnya, perjuangan mempertahankan hak-hak perempuan harus ditegakkan," kata dia kepada saya saat menemuinya seusai diskusi publik "Memilih Calon Legislatif Perempuan untuk Perubahan", Selasa (31/3) di Banda Aceh.

Diskusi yang digelar Beujroh-- sebuah LSM Perempuan di Banda Aceh- itu juga menghadirkan enam caleg perempuan dari partai lokal. Mereka adalah Raihan Diani (PRA), Liza Fitri (Partai SIRA), Unsuri Imani (Partai Aceh), Ir Lismaini (PBA), Hj Yusniar (PDA), dan Siti Maisarah (PAAS).

Bicara peluang di parlemen, gadis berusia 27 tahun ini melihat peluang kaum hawa meraup kursi legislatif sangat terbuka. Apalagi setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak. "Karena itu, caleg perempuan harus gencar mempublikasikan diri dan misi yang diusung untuk mendulang kepercayaan rakyat," sebut Diani.

Guna menerobos itu, ia menyarankan agar caleg perempuan menggali ide brilian untuk melekatkan pelbagai program pendekatan kepada pemilih perempuan. Pasalnya, jumlah pemilih perempuan jauh lebih besar dibandingkan laki-laki. Ini bisa dilihat dari data pemilih yang dilansir Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Dari 3.003.222 pemilih tetap, jumlah pemilih laki-laki sebanyak 1.491.321 dan pemilih perempuan 1.511.901.

Belakangan KPU Pusat membuat revisi data ini lewat surat keputusan KPU Nomor 164/Kpts/KPU/2009 tentang Penetapan Badan Pelaksana dan Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilihan Umum tahun 2009 bagi anggota DPRD Provinsi. Akibat keputusan tersebut, jumlah pemilih di Aceh bertambah sebanyak 6.743 orang. Dan secara keseluruhan berjumlah 3.009.965 orang.

Sayangnya, data tambahan ini tak merinci secara detail suara laki-laki dan perempuan. Pun, demikian, jika yang menjadi acuan data sebelum, jumlah pemilih perempuan tetap dominan di Aceh. Mengingat itu, Raihan dan para caleg lainnya tak segan-segan mengajak kaumnya untuk mencontreng mencontreng caleg perempuan pada pemilu 9 April ini.

“Persoalan diskriminasi kaum perempuan oleh laki-laki memang bukan perkara yang baru. (Karena itu) Marilah kita mencontreng caleg perempuan untuk menyuarakan perempuan. Suara kaum perempuan tak bisa diwakilkan,” ujar Diani.

Sampai kini, ia menilai, kaum perempuan masih saja dimarjinalkan dalam berbagai hal. "Untuk itu, perempuan harus bangkit dengan memilih kaumnya sendiri sebagai wakilnya dalam Pemilu yang tinggal beberapa hari lagi ini," tambahnya.

Posisi sebagai kaum marjinal itu seakan menjadi cemeti bagi kaum perempuan dalam pesta demokrasi nanti. Meski cukup banyak perempuan yang unjuk diri menjadi caleg pada pemilu kali ini, masyarakat mengharapkan agar jumlah itu bukan sekadar memenuhi kuota 30 persen.

"Di sinilah peran perempuan Aceh dalam menatap memperjuangkan aspirasinya. Tentu akan penuh tantangannya," timpal Marini, ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Aceh kepada saya.

Katanya, perempuan harus memenangkan pertarungan, menandingi pesaing laki-laki dan bekompetisi di parlemen, "bukan untuk membicarakan suasana rumah tangga, suami atau tingkah laku anak," tukas mantan Koordinator Provinsi Aceh, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang juga caleg untuk DPR-RI itu.

Dia mengharapkan agar peran perempuan dalam merumuskan kebijakan mampu diimplementasikan di lapangan. "Ini harus menjadi realita, bahwa perempuan mampu berbuat, mampu berdebat, mampu menghasilkan kebijakan anggaran dan melaksanakan peraturan dan perencanaan dengan menjauhi segala bentuk korupsi dan kolusi oleh dirinya atau sang suami," jelasnya.

Perempuan harus mengambil kembali hak-haknya itu. Sebab, lanjut Marini, hak itu sudah digariskan dalam Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik dan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak tersebut juga sudah digariskan dalam Konstitusi Negara dengan tanpa mengkhususkan hak laki-laki dan perempuan dalam berbagai undang-undang.

Lantas seberapa besar kaum perempuan Aceh mengambil haknya itu dalam Pemilu kali ini?
Syarifah Rahmatillah, Direktur Eksekutif Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MISPI) sudah mengantongi data khusus caleg perempuan. "Ada 304 caleg perempuan dari 1.054 calon untuk DPR Aceh," ungkapnya.

Lebih rinci, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Aceh ini menyebutkan, dari jumlah 304 caleg perempuan, ada 34 caleg yang berada di nomor urut 1. Lalu, 61 orang pada urutan 2, dan 74 orang pada urutan di bawahnya. "Dengan sistem suara terbanyak, mungkin saja peluang perempuan terpilih lebih terbuka," kata Syarifah.

Ketua Kelompok Kerja Pencalonan Anggota DPRA, DPRK, KIP Aceh, Yarwin Adi Dharma merinci lebih detail lagi, jumlah caleg perempuan di seantero Aceh. Jumlah caleg perempuan seluruh Aceh sebanyak 2.693 orang. Sedangkan laki-laki 6.093 orang. Dari jumlah 8.786 caleg ini, mereka memperebutkan 645 kursi legislatif yang tersebar di 23 kabupaten kota.

Sementara untuk DPR-RI dari 270 orang jumlah caleg, hanya 81 perempuan, sedangkan laki-laki 189 orang. Khusus untuk caleg DPRA atau DPRK, jika kampanye 'perempuan pilih perempuan' tentu akan lebih menjanjikan.

Namun, bagaimana kualitas para caleg perempuan itu?
Ada nada pesimis yang muncul soal ini. Paling tidak inilah yang dikeluhkan Ketua Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan, Azriana, dalam diskusi di Banda Aceh, Sabtu, 28 Maret lalu. "Mereka tidak semuanya mengerti dan jeli melihat masalah yang dihadapi oleh perempuan saat ini," ia berkomentar.

Jika para caleg perempuan tidak memahami masalah yang dihadapi oleh perempuan, lanjutnya, bagaimana mereka bisa membuat aturan terkait penanganan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Sebelum maju sebagai caleg, para kaum perempuan harus benar-benar memahami persoalan yang terjadi. Paling tidak, begitu  duduk di DPR RI, DPRA atau DPRK, mereka bisa memperjuangkan nasib kaumnya.

“Ini belum lagi saat mereka juga harus memperjuangkan isu yang diusung oleh partai tempat mereka bernaung. Praktis sedikit demi sedikit mereka akan meninggalkan tujuan mereka sebenarnya. Apalagi jika mereka tak memiliki pemahaman dasar tentang nasib perempuan saat ini,” katanya.

Sri Walny Rahayu, ketua Pusat Study Gender Universitas Syiah Kuala, malah mengingatkan agar caleg perempuan mampu mencium berbagai isu. “Caleg perempuan seharusnya punya sense of issue, harus mengetahui masalah–masalah yang berkembang di masyarakat, karena hal tersebut mempengaruhi secara langsung atau tak langsung perempuan itu sendiri,” ujar aktivis Komnas Perempuan yang juga mengajar di Fakultas Hukum Unsyiah ini.

Ia memberi contoh kecil soal air bersih. Jika air bersih tidak diperhatikan, kata dia, itu akan berefek bagi rahim perempuan. Padahal air bersih memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan reproduksi perempuan dan seringkali memicu timbulnya penyakit reproduksi seperti kanker rahim, keputihan dan lain sebagainya.

"Jika caleg perempuan tidak punya sensitifitas terhadap isu ini maka akan berefek negatif bagi perempuan sendiri," tegasnya.

Saifuddin Bantasyam ikut mengkritik para caleg perempuan ini. Menurut sosiolog dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala ini, iklan pada baliho, spanduk dan poster caleg perempuan tidak memiliki keunikan dan karakter yang mewakili suara perempuan. Padahal, jumlah alat-alat peraga para caleg ini sudah jelas kalah jauh dibanding caleg laki-laki.

"Isi pesan-pesan dalam berbagai media kampanye itu, caleg perempuan ternyata sama saja dengan laki-laki," komentarnya.

Tapi soal kualitas caleg, ia menilai sama saja. Caleg laki-laki juga belum tentu lebih baik dari caleg perempuan. Karena itu, dia setuju caleg perempuan harus mempersiapkan diri baik pada masa kampanye maupun jika terpilih nanti. Peluang untuk memperoleh kursi juga tak terlalu berbeda setelah terbit keputusan suara terbanyak.

"Jangan terlalu pusing dengan terhadap sistem itu. Lebih baik konsentrasi kepada kampanye dan komunikasi. Sebab popularitas sangat menentukan. Berkampanye dengan pesan yang jelas dan daya jangkau yang luas juga berpengaruh. Caleg perempuan harus dapat meyakinkan pemilih baik laki-laki maupun perempuan, bahwa perempuan memang layak dipilih," tandasnya. [a]
Aceh Memilih Siapa..?

Aceh Memilih Siapa..?

Bendera Parpol di Aceh | Foto Antara
KETIKA tahapan kampanye kelar, tinggal rakyat yang menyisakan bimbang. Bagaimana tidak, mereka harus bisa menentukan pilihan di antara kepungan partai. Khusus bagi Aceh, persoalan pilihan ini makin sulit, pilih partai nasional atau mencontreng partai lokal?

Ternyata ragu itu ikut menyatu dengan Rahmad. Dia bersandar dengan gundah di dalam bus yang membawa tubuhnya. Pagi itu, pria hitam manis ini berniat kembali ke Banda Aceh. Dia mengaku pulang dari Medan, Sumatera Utara mengunjungi keluarganya.

Katanya, dia amat menikmati perjalanannya kali ini. Tak jelas kenapa. Rahmad hanya mengaku gembira saja menengok 'pameran' foto sepanjang jalan. Poster-poster itu menghiasi beragam tempat, mulai dari tiang listrik, batang pohon sampai koridor jalan. "Saya belum tahu harus pilih siapa," gumamnya.

Sebelum kampanye berakhir poster dan baliho dalam beragam ukuran memang bertebaran. Para pemilik poster adalah calon-calon anggota legislatif. Ini bagian dari promosi diri sebelum dicontreng rakyat menjadi wakilnya di tingkat kabupaten, kota maupun provinsi. Kini, semua poster itu hilang, tatkala masa tenang mampir.

Khusus untuk Aceh, semaraknya Pemilu 2009 lebih terasa. Pasalnya, kecuali diikuti oleh 43 Partai, yang terdiri dari 37 Partai Nasional (minus Partai Persatuan Indonesia Baru), juga ada enam Partai Lokal. Parlok yang dimaksud adalah--sesuai nomor urut--, Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh (PA) dan Partai Bersatu Aceh (PBA).

Keterlibatan partai lokal di Aceh dalam pemilu kali ini adalah amanat dari perdamaian yang telah lahir di Aceh, 15 Agustus 2005 silam. Undang Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, juga mengatur tentang keberadaan partai lokal tersebut.

Politisi kawakan yang mendirikan Partai Bersatu Aceh, Ahmad Farhan Hamid mengatakan, kehadiran Parlok tak perlu ditakuti. "Partai politik lokal di Aceh adalah sejarah baru sistem politik Indonesia setelah lebih dari 50 tahun lalu," ujarnya.

Katanya, dalam kerjanya, kedua motor demokrasi itu bisa berbagi peran. Menurut anggota DPR-RI dari Partai Amanat Nasional itu, partai politik nasional bisa menjaga kepentingan Aceh, khususnya di tingkat nasional, sementara partai politik lokal selain menjaga dan melestarikan nilai, karakter dan ciri lokal dalam kebijakan pemerintahan, juga menjaga kepentingan nasional di Aceh.

Apa yang diungkapkan ahli farmasi itu, tentu beda yang dimengerti Rahmad. Bagi pria kelahiran Lamlo, Kec Sakti, Kab Pidie itui, banyak partai makin membuat dia bimbang alias ragu. "Bukan ragu untuk mencontreng. Saya bingung menentukan pilihan, siapa yang harus kita pilih. Sebagai orang Aceh, tentu kita harus pilih parlok," tutur dia.

Kebingungan Rahmad, bukan semata-mata karena ada parnas atau parlok. Yang membingungkan dia, tak lain banyak kerabat dekat, sanak famili yang menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 ini. "Kawom saya semua ada yang menjadi caleg," sambungnya dalam bahasa Aceh.

Kawom bisa diartikankan kaum kerabat. Secara singkat dapat dijelaskan, kekerabatan dalam masyarakat di Aceh yang masih punya hubungan persaudaraan dan juga ikatan emosional. "Mereka semua menjadi caleg, jadi pasti saya harus memilih salah satunya," sebut dia.

Kebimbangan itu juga dirasakan Basyirun, seorang tukang parkir di ibukota Provinsi Aceh. "Soe teuma tapilih, -siapa memangnya yang harus kita pilih," tanya dia kepada saya karena ragu. Sebab, pada satu sisi dia ingin partai lokal yang menang di Aceh.

Keinginan agar partai lokal menang, bukan cuma harapan Basyirun saja. Hasil jajak pendapat Kompas beberapa waktu silam menyebutkan, dari survei terhadap 400 responden di 15 kabupaten kota di Aceh, sebanyak 44,82 persen menyatakan akan memilih partai lokal pada pemilihan caleg di tingkat daerah.

Sebaliknya, 22,54 persen lebih memilih partai nasional. Sedangkan pemilih ragu yang dengan kata lain bimbang ada 32,64 persen. "Saya sampai sekarang masih ragu, tapi belum tahu jika sudah berada dibilik suara, siapa yang teringat itu yang akan saya contreng," timpal Basyirun lagi.

"Kali ini kita harus beri kesempatan untuk caleg lain, syukur-syukur jika mampu menghadirkan perubahan," sambung Mahyuddin, seorang pengusaha binatu di Banda Aceh. Kata dia, sama seperti pada pemilu sebelumnya, kita pilih caleg parnas juga nasib rakyat tak berubah. "Kali ini kita coba saja orang kampung," ucap seraya terkekeh.

Diakuinya, meski belum ada jaminan para caleg 'produk' parlok bisa memberi garansi kesejahteraan kepada rakyat, namun masyarakat kadung berhasrat mencontreng orang lokal. "Paling tidak kita kasih kesempatan dulu kepada parlok untuk berbuat," sebut Husaini, seorang petani di Aceh Besar.

Memang harus diakui, seperti disebutkan, koran bertiras besar di Indonesia tadi, pertarungan kekuatan politik di Aceh lebih berwarna dibandingkan daerah lain di Indonesia. Kemudian, boleh jadi antusiasme pemilih di Aceh akan terdongkrak oleh hadirnya partai lokal.

Antusiasme ini barangkali bisa dilihat dari bertambahnya jumlah pemilih di Aceh. Jika sebelumnya 3.003.222 pemilih tetap, belakangan KPU Pusat membuat revisi data ini lewat surat keputusan KPU Nomor 164/Kpts/KPU/2009 tentang Penetapan Badan Pelaksana dan Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilihan Umum tahun 2009 bagi anggota DPRD Provinsi.

Akibat keputusan tersebut, jumlah pemilih di Aceh bertambah sebanyak 6.743 orang, sehingga secara keseluruhan menjadi 3.009.965 orang. Tiga juta lebih pemilih itu akan mencontreng caleg dari parnas dan parlok di Aceh yang berjumlah 8.786 orang.

Mereka memperebutkan 645 kursi legislatif yang tersebar di 23 kabupaten kota, termasuk untuk tingkat provinsi atau DPRA, dengan jumlah tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 10.271 tempat. Lantas, bagaimana hasilnya? Tunggu saja besok, Aceh memilih siapa, parlok atau parnas? [a]

Foto: Ampelsa/Antara

 Kabar Duka Menyambut Hasan Tiro

Kabar Duka Menyambut Hasan Tiro

Hasan Tiro Kembali ke Nanggroe
KABAR meninggalnya Teuku Muhammad Usman Lampoh Awe (73) pada Jumat, (3/10) lalu bukan saja duka bagi keluarga. Jajaran Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga merasa ikut kehilangan tokoh panutan. Apalagi kepergian mantan Menteri Keuangan GAM itu sepekan sebelum Hasan Tiro menginjak Aceh.

Kedukaan itu amat terasa juga bagi Zakaria Saman, 63, rekannya di organisasi itu. "Dia senior saya," kata mantan Menteri Pertahanan GAM ini, kepada Waspada, Sabtu lalu di sela-sela menunggu dishalatkannya jenazah suami Pocut Sariwati binti Teuku Pakeh Mahmud itu.

Zakaria tak kuasa menahan haru. Raut mukanya sembab. Kepergian Muhammad kehilangan besar bagi dia. Katanya, pria yang akrab disapa Meuntroe Muhammad itu, bukan cuma sebatas rekan seperjuangan, tapi juga menjadi panutan bagi pribadi dia dan para anggota KPA.

"Bagi saya dan GAM, dia orang hanya salah seorang penggagas Aceh Merdeka bersama Wali Nanggroe Tgk Hasan Muhammad Ditiro. Dia juga cah rot uh (pembuka jalan) dalam perjuangan kami dulu," ungkap Zakaria Saman. "Sebagian hidupnya dia habiskan dalam penjara," sambung dia lagi.

Rasa duka yang mendalam juga terlihat di wajah Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA), Muzakkir Manaf. Menurut mantan Panglima GAM ini, Mentroe Muhammad juga sangat peduli dengan para mantan pasukan TNA. "Beliau panutan kami," sebut lelaki yang sering disapa Muallim ini.

Sepak terjang Muhammad tergolong besar dalam proses perdamaian di Aceh. Dia pernah menjadi perunding GAM dengan pemerintah, ketika proses peace building ini difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC). Bersama perunding lainnya seperti Almarhum Sofyan Tiba, Meuntroe Muhammad ikut dalam berbagai sidang CoHA-JSC ketika itu.

Setelah perundingan Cesstation of Hostilities Agreement (CoHA) yang gagal ketika hendak sidang Joint Council di Tokyo pada 17-18 Mei 2003, almarhum bersama tim perunding GAM lainnya kembali diseret ke hotel prodeo Keudah, Banda Aceh.

Ketika Darurat Militer berlaku di Aceh, dia serta para juru runding lainnya, seperti Teuku Kamaruzzaman–mantan Sekretaris BRR– Tgk Amni bin Ahmad Marzuki, Tgk Nasruddin bin Ahmed--kemudian dipindahkan ke Lembaga Permasyarakatan Suka Miskin Bandung.

Setelah penandatanganan MoU Helsinki di Finlandia yang difasilitasi Crisis Management Initiative (CMI) yang diketuai mantan Presiden Martti Ahtisaari, Teungku Muhammad mendapat mandat sebagai Ketua Majelis Pusat GAM. Dia juga tim sembilan dalam KPA dan Partai Aceh, partai yang didirikan mantan kombatan.

Menurut mantan jurubicara Majelis Pusat GAM, Adi Laweung, meninggalnya Meuntroe Peng merupakan duka menanti kepulangan Wali Neugara Tgk Muhammad Hasan Di Tiro. "Untuk menyambut Wali, beliau sudah menyiapkan jas khusus. Tapi Allah berkehendak lain, sehingga beliau tidak bisa menemani Wali saweu gampong," urai Adi.

Seperti diakui Zakaria Saman, menurut Adi, hidup Teuku Muhammad Lampoh Awe banyak dihabiskan dalam penjara sejak dia gabung bersama Hasan Tiro memproklamirkan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Dalam perjalanan GAM, almarhum dipercayakan sebagai Meuntroe Peng dan Ketua Damai Melalui Dialog dalam perundingan HDC.

Disebutkannya, sejak lima bulan terakhir, anak mantan pejuang Aceh Teuku Usman Lampoh Awe ini sudah terdeteksi menderita Leukemia atau kanker darah. "Selama sakit almarhum sudah berobat dua kali ke Penang, Malaysia," ujar dia.

Pria yang lahir 73 tahun silam itu menghembuskan nafas terakhir sekira pukul 22.00 WIB di Rumah Sakit Umum Sigli, Kabupaten Pidie, setelah menderita Leukemia (kanker darah) dan dimakamkan di Gampong Lampoh Awe Kec. Simpang Tiga. Dia meninggalkan seorang istri, Pocut Sariwati binti Teuku Pakeh Mahmud, dan lima orang anak serta belasan cucu. Salah satu putranya, Teuku Mahfud menetap Amerika Serikat. [a]

Foto: internet
Baiturrahman Sepi Pada Malam Nisfu Sya'ban

Baiturrahman Sepi Pada Malam Nisfu Sya'ban

Masjid Raya Baiturrahman
INI kejadian yang memalukan. Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, secara halus 'mengusir' jamaah yang ingin beribadah pada malam Nisfu Sya'ban, Sabtu (16/8) malam. Kebetulan, malam Nisfu Sya'ban bertepatan dengan malam 17 Agustus. Tradisinya, kaum muslim menggelar berbagai ibadah pada malam pergantian buku amal manusia, itu, tapi Baiturrahman tidak.

Novia Liza, Rika Fitri adalah dua warga yang harus memendam kecewa. Sejak petang, kedua gadis ini sudah mengagendakan shalat Magrib dan Isya di masjid kebanggaan rakyat Aceh itu. Kemudian, akan dilanjutkan dengan shalat sunat Nisfu Sya'ban yang berarti jauh pada 15 Sya'ban.

Sayang sekali, keinginan dua muslimah ini untuk beribadah pada malam pertengahan (nisfu) itu tak kesampaian. Pasalnya, ba'da Isya, bilal masjid langsung melipat sajadah, mematikan mikropon. Melihat gelagat tidak 'agamis' itu, sekelompok ibu-ibu lebih dulu maju ke depan. Merengsek ke shaf terdepan menanyakan.

"Maaf, kita tidak mengadakan shalat nisfu sya'ban, tak ada imam," ujar Novia mengutip ucapan seorang bilal yang tak sempat ditanyakan namanya.

Tak terima dengan itu, sejumlah ibu-ibu pun debat kusir. "Kalau mau shalat, cari masjid lain saja." semprot si petugas masjid enteng seolah tak berdosa. Akibatnya ibu-ibu itu pun hanya bisa mengurut dada sembari melempar kata. "Jadi kalian cuma bisanya razia orang yang tak pake jilbab di masjid ini."

Menurut Novia, dengan perasaan 'geram', mereka meninggalkan masjid yang didirikan Sultan Alauddin Mahmudsyah I, pada 1234-1267 Masehi ini. 'Kegeraman' Novia dan ibu-ibu itu mungkin hampir setara dengan kemarahan Rakyat Aceh pada 1873 lalu, saat tentara Belanda membakar masjid ini.

Sekretaris Masjid Baiturrahman, H Ridwan Djohan ketika dihubungi Waspada mengatakan, para malam itu, memang dia yang menjadi imam di Shalat Isya. "Selesai Shalat, saya langsung pulang, tidak ada amanah imam besar untuk Shalat Tasbih," katanya.

Biasanya, lanjut dia, jika ada, mereka akan memberi pengumuman kepada jamaah saat Shalat Subuh atawa, Shalat Isya sebelumnya. Tapi, komplain sejumlah jamaah, malam Nisfu Sya'ban itu sudah di luar pantau dia. "Saya tidak tahu, sudah pulang," sebut dia.

Dari berbagai literatur yang dikumpulkan Waspada menyebutkan, merayakan malam Nisfu Sya'ban adalah dengan memperbanyak ibadah dan shalat malam dan dengan puasa. Sebagian umat Islam juga mengenang malam ini sebagai malam diubahnya kiblat dari masjidil Aqsa ke arah Ka'bah.

Shalat malam Nisfu Sya'ban itu sebanyak 100 rakaat. Malam tersebut diisi dengan do'a-do'a yang pernah dilakukan Rasulullah. Sangat dianjurkan untuk meramaikan malam Nisfu Sya'ban dengan cara memperbanyak ibadah, salat, zikir membaca al-Qur'an, berdo'a dan amal-amal salih lainnya.

Seorang ulama Aceh yang juga penceramah, Drs H Ameer Hamzah menjelaskan, malam Nisfu Sya'ban disebut juga bulan Baraah. Malam itu memiliki makna tersendiri dalam spiritual Islam. Kata dia, kaum Muslimin di Aceh dan negeri-negeri Islam berkumpul di masjid-masjid atau di meunasah- meunasah untuk berzikir, bertasbih dan bertahmid memuji Allah SWT.

"Ada shalat sunat berjamaah. Oh betapa syahdunya pada malam yang setengah penuh itu," ungkap Ameer Hamzah penuh semangat.
Menurut dia, dalam tradisi Aceh dan Melayu Islam, pada malam Nisfu Sya'ban juga diadakan sedikit kenduri bagi orang-orang yang hadir ke masjid, surau, langgar dan meunasah. "Ada sebagian orang kaya yang mengundang anak yatim dan fakir miskin ke rumahnya untuk makan malam," ujar Ustazd Ameer.

Dia menjelaskan, pertengahan (nisfu) tersebut adalah malam pergantian buku amal manusia. Buku amal setahun yang lalu akan disimpan di dalam Kitabum Marqum, dan buku amal baru akan diisi oleh malaikat Kiraman Katibin, Raqib dan Atid yang memang ditugaskan oleh Allah SWT untuk merekam dan mencatat amal Bani Adam.

"Apakah amal baik atau amal buruk, semuanya dicatat dalam buku tersebut," urai mantan mahasiswa IAIN Ar-Raniry Darussalam ini.

Teungku Ameer menambahkan, pembukaan buku baru tersebut berlangsung sejak mata hari terbenam (Maghrib) dan seterusnya. Orang beriman selalu menginginkan lembaran-lembaran buku baru tersebut ditulis dengan amal baiknya.

"Maka malam tersebut mereka isi dengan berbagai ubudiyah. Sebaliknya, orang-orang pasik, dungu, munafik, dan zindiq tidak peduli dengan malam yang bersejarah itu. Mereka tetap pada kebiasaannya berbuat maksiat pada malam nisfu Sya'ban," paparnya lagi.

Kata Ameer yang juga anggota DPRAini, di dayah-dayah seluruh Aceh malam nisfu Sya'ban sangat bermakna. Begitu juga di desa-desa Aceh. "Tradisi ini sangat baik dipertahankan. Mengadakan tabligh juga bagus," sebut dia.

Soal jeramah, lanjut Ameer, tema yang tepat diperbincangkan pada malam berkah ini adalah tentang keharusan kaum Muslimin menyambut bulan suci Ramadhan yang tinggal separuh bulan lagi. "Kaum Muslimin jangan lagi lalai dengan hal-hal yang tidak berguna," ujarnya mengingatkan. [a]

Foto: Wikipedia
   Mengkritisi 'Jurnalisme Mesum' Media

Mengkritisi 'Jurnalisme Mesum' Media

Ilustrasi
LIDYA dan Raihal mengkritik habis gaya pemberitaan media Aceh. Selain tidak ramah dan bias gender, berita-berita koran pun dinilainya acap 'menghina' perempuan. Kedua mengaku secara tersirat merasa terhina dengan tulisan dan opini yang bertebar di media massa. Apalagi banyak media yang mempraktikkan jurnalisme mesum.

Kedua aktivis perempuan itu mengeluhkan ini dalam acara Pelatihan Sosialisasi CEDAW untuk Jurnalis dan Aktivis Media di Banda Aceh pada 18-20 Juni lalu. Acara tersebut digelar Yayasan Insan Cita Madani bekerja sama dengan badan dunia yang mengurus persoalan perempuan (UNIFEM).

CEDAW adalah konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Kepanjangannya Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women.

Direktur Eksekutif YICM, Roys Vahlevi M, ST dan Manager Program Marleini Hasbi, kepada Waspada mengatakan pelatihan ini yang diharapkan dapat menyuarakan keadilan melalui perantaan media, sehingga perwujudan kesetaraan dan keadilan semakin menjadi kenyataan.

"Partisipasinya bisa mensosialisasikan wacana keadilan dan kesetaraan gender ke publik melalui tulisan di media-media publik," kata Roys Vahlevi. Apalagi selama ini, dia melihat liputan yang diekspos di media-media massa sudah menjadikan para perempuan di posisi tergugat atau terhina.

Rasyidah, Dosen Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, yang menjadi fasilitator dalam kegiatan itu menyebutkan, upaya untuk menghambat terjadinya diskriminasi terhadap perempuan sudah berkoar di majelis umum PBB pada 18 Desember 1979 yang menyetujui rancangan konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Sementara Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi konvensi CEDAW dengan disahkannya Undang-Undang  No.7/1984. Kata dia, CEDAW memiliki tiga prinsip utama. Pertama, prinsip persamaan yang bersifat substantif yakni memandang persamaan hak lelaki dan perempuan.

Lalu kedua, prinsip non diskriminasi terutama diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam pemenuhan kebebasan-kebebasan dasar dan hak asasi manusia. Dan ketiga, prinsip kewajiban negara bahwa negara peserta adalah aktor utama yang memiliki tanggungjawab untuk memastikan terwujudnya persamaan hak lelaki dan perempuan dalam menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.

Fasilitator lain, Linda Cristanty dalam paparannya mengatakan bentuk diskriminasi media terhadap perempuan bisa bermacam-macam. "Ada dalam bentuk tulisan, gambar, iklan dan fokus berita di media cetak," sebut Chief Editor Pantau Aceh feature service itu.

Di media elektronik, kata Linda bentuk diskriminasinya digambarkan melalui sinetron yang mengasosiasikan perempuan itu jahat dan matre. Tidak hanya sebatas itum kalimat dan dialog yang dibangun pun mengandung bias gender. "Gambaran atau imej ini sangat merugikan perempuan dalam bentuk diskriminasi," ujar penulis cerpen Kuda Tebang Maria Pinto ini.

Kecuali itu, pada sisi lain, Linda melihat negara juga menjadi pelaku diskriminasi terhadap kaum hawa. "Memang pelaku itu ada juga di masyarakat, tapi paling bahaya adalah apa yang dilakukan oleh negara dengan memperkuat image terhadap pendiskriminasian perempuan," ungkapnya.

Menyangkut korporasi bisnis, Linda melihat ada sebuah trend yang dibentuk sehingga mempengaruhi pendiskriminasian perempuan. "Harus ada landasan pikir yang besar dan prinsip penting untuk perempuan yang dihadapkan pada propaganda korporasi bisnis," tukas dia.

'Jurnalisme Mesum'?


Mengkritisi pola pemberitaan media di Aceh, Linda melihat ada semacam genre baru yang dikembangkan media lokal. Genre itu adalah jurnalisme mesum. Kenapa begitu, menurut wanita kelahiran 13 Maret di Bangka Belitung ini, karena berita yang paling banyak diproduksi adalah soal khalwat dan yang diekspose sisi perempuan dengan berlebihan.

"Di Aceh berita yang paling banyak ditulis adalah soal penerapan syariat Islam dan rehab-rekon. Media juga punya persoalan dengan dengan etika mempublikasi berita di samping ketidaksetaraan juga," ujar pemenang Khatulistiwa Literary Award 2004 ini.

Aktivis perempuan yang ikut membedah sejumlah tulisan yang dipublikasi mengatakan media lokal terlalu berlebihan dalam mengekspose sisi perempuan. "Kenapa dalam pemberitaan soal perempuan selalu ditonjolkan miris. Kenapa dalam pemberitaan tidak mengajak pembacanya berpikir positif," ungkap Raihal, aktivis perempuan dari Katahati Institute.

Oleh karena itu, dia menganjurkan agar ada sebuah media alternatif yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender serta penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. "Lalu memberi pemahaman dan perubahan berarti," ujar dia.

Sementara Manager Program YICM, Marleini Hasbi menambahka, perjuangan itu masih terbatas dan dilakukan oleh beberapa kalangan tertentu termasuk melalui perantaraan media. Katanya, tidak sedikit perjuangan itu kemudian tercekal oleh pemberitaan-pemberitaan di media tertentu yang sangat menyudutkan perempuan.

"Hal ini semakin memberi peluang bagi terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Dari beberapa kasus yang kami temui, respon kaum perempuan sendiri terhadap permasalahan ini relatif dingin, dan kadangkala menjadi daya tarik konsumen media dan bisa mendongkrak oplah produksi," katanya.

Menurut Marleini, pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan gender telah banyak dikampanyekan oleh berbagai elemen yang bertujuan untuk menghilangkan praktik-praktik diskriminasi gender dalam kehidupan bermasyarakat terutama pasca musibah gempa dan tsunami.

Kata dia, secara historis, Aceh telah melahirkan banyak tokoh perempuan yang berperan penting dalam perubahan kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Namun katanya, fenomena ini, belum bisa dijadikan justifikasi bahwa masyarakat Aceh telah menjadikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender sebagai paradigma yang berpengaruh di kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budayanya.

Disebutkannya, pola relasi hidup yang didominasi oleh kaum lelaki cenderung menimbulkan diskriminasi yang disadari maupun tidak telah membuat perempuan dalam posisi lemah, tentu saja termasuk dalam pola pemberitaan. [a]

 To Be Creative With Mading

To Be Creative With Mading

Ilustrasi
Media publisitas gratis seperti blog dan website di internet semakin diminati. Namun, media konvensional semacam majalah dinding (mading) rupanya tetap menjadi sarana pilihan pelajar untuk menyalurkan kreativitas dan aspirasinya. Ini dibuktikan oleh sejumlah sekolah menengah di Banda Aceh.

Ternyata, potensi yang terpendam di sekolah selama ini amat luar biasa. Hanya saja belum ada wadah yang menampung talenta-talenta tersebut. Lewat Madinglah, para siswa bisa menunjukkan kreatifitas dan minatnya dalam menulis. Mading pun, bisa menjadi sarana yang sangat efektif dan efesien untuk menampung aspirasi siswa dalam proses belajat mengajar di sekolah.

Bukan tidak mungkin, dengan Mading bisa membentuk karakter siswa di sekolah. "Selama ini ruang itu belum ada bagi siswa di sekolah untuk mengekspresikan pikiran, keinganan, prestasi dan keunikan-keunikan lainnya," tukas Mujiburrahman, kepada saya dalam pelatihan jurnalistik (Petik) kepada siswa SMA/MAN di Banda Aceh Senin pekan lalu.

Mujib adalah ketua panitia kegiatan Petik tersebut. Petik ini diprakarsai Sampoerna Foundation Scholars Club (SFSC) bekerja sama dengan SMU Negeri 2 Banda Aceh, pada Senin pekan lalu. Pesertanya adalah siswa SMA yang tergabung dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).

Petik yang bertema To Be Creative With Mading ini diikuti sekitar 20-an siswa SMA/MA dari masing-masing sekolah yang ada di Banda Aceh. Untuk membahani peserta, SFSC Aceh dibantu dua jurnalis setempat, Adi warsidi, Redaktur Pelaksana Harian Aceh Independent) dan saya sendiri.

Pihak SFSC Banda Aceh berharap, dengan pelatihan yang sudah mereka terima, masing-masing sekolah memiliki Mading yang dikelola dengan menjunjung etika jurnalistik. Akhir cerita, mereka ingin menggagas sebuah media pelajar, baik itu majalah, buletin yang dikelola seluruh OSIS di Banda Aceh.

"Ini menarik, karena belum ada media di Banda Aceh yang memberi ruang kepada pelajar untuk mengekspos dunia mereka. Lalu, kita berharap akan terbentuk media sekolah yang bisa menjadi ajang sharing antar sekolah," papar Mujib.

Bagi SFSC Aceh sendiri, kegiatan itu diselenggarakan sebagai ajang membentuk kreativitas siswa yang dalam perkembangannya mengalami proses dinamisasi, sehingga perlu diberi ruang untuk menyuarakan ekspresi dalam suatu wadah yang bernama media.

Wizar Putri, Presiden Sampoerna Foundation Scholars Club Aceh menyebutkan, acara itu sangat penting bagi proses pendidikan, terutama dalam pembentukan proses kreatif. "Proses kreatif seringkali diabaikan oleh banyak pihak karena dianggap tidak memiliki peran yang strategis untuk peningkatan kualitas pendidikan formal," sebut dia.

Padahal, sambung dia, proses kreatif merupakan bekal yang sangat berharga untuk masa depan untuk membiasakan kita mengekspresikan kemampuan berpikir dan menganalisa sehingga pemikiran kita dalam dunia bisnis, sosial, ekonomi, dan yang lain-lain dapat terimplementasi dengan baik," ujar Mahasiswi Unsyiah ini.

Pelatihan yang berlangsung selama satu hari di SMU 2 Banda Aceh ini diselenggarakan sebagai bentuk kegiatan sosial para penerima beasiswa SF untuk jenjang S1. Mereka tergabung dalam SFSC dan aktif menyelenggarakan kegiatan sosial setiap tiga bulan. "Ini program kerja SFSC Aceh yang diwujudkan dalam Social Activity tiga bulanan," kata Wizar.

Dia berharap dengan pelatihan itu, siswa dapat memvisualisasikan creative thinking-nya ke dalam sebuah media nantinya yang dikelola oleh OSIS SMA/MA se Banda Aceh. "Sehingga kreatifitas generasi muda di Aceh terus berkembang," ujarnya.

Para pelajar yang mendapat bimbingan dari pegiat media berujar, "Selama ini, kami sudah rutin menerbitkan Mading, bahkan dalam satu bulan, empat kali kami terbit," kata Yuni, dari SMU Darul Ulum Banda Aceh. Dia mengaku sudah merasakan manfaat dari Mading yang menjadi cikal bakal lahirnya jurnalis profesional.

Dari penuturan para siswa seperti Yuni dan Raudah dari SMU Darul Ulum, Fitriyani dan Reza Rezeki (SMA 4)  Nursavela dan Novia, (SMA Fajar Harapan), Agam, Syahrul (SMU 2) dan siswa lainnya, ternyata Mading memberi pengetahuan tersendiri bagi mereka. "Awalnya memang jurnalis sekolah, lalu menjadi jurnalis kampus, baru kemudian masuk ke gerbang jurnalis profesional," papar Reza Rezeki.

Hanya saja, selama ini jarang ada media atau lembaga yang membuat Lomba Mading SMA se-kota Banda Aceh, misalnya. Tentu saja ini bertujuan untuk merangsang kreatifitas siswa di sekolah. Padalah, dengan adanya ajang perlombaan seperti itu setidaknya akan terjaring bibit-bibit baru calon jurnalis baru. Betul, yang penting kreatif. [a]
 Penyesalan Di Atu Lintang

Penyesalan Di Atu Lintang

Foto Istimewa
INSIDEN memilukan yang 'kembali' menggiris wilayah tengah Aceh, amat disesali semua kalangan. Seakan-akan itu menjadi kabar buruk bagi perdamaian. Tapi semua orang berharap tidak demikian. Apalagi saat kondisi sudah mulai normal, semua berharap, khilaf itu termaafkan. Dan, kita kembali tanpa dendam.

Rasa penyesalan terhadap kabar duka dari dataran tinggi Gayo itu datang dari Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aceh Tgk. H. Ghufran Zainal Abidin, MA. Dia mengaku sangat prihatin dan menyesalkan atas terjadinya insiden pembakaran Sabtu pagi buta. "Insiden itu, seakan menyeret Aceh ke dalam konflik kembali," lirih dia.

Menurutnya, insiden tersebut tidak perlu terjadi bila semua pihak dapat menyelesaikan permasalahan dengan hati yang dingin dan jernih. Insiden ini merupakan salah satu kejadian terakhir yang dapat menggganggu proses perdamaian yang saat ini sedang dinikmati oleh masyarakat Aceh.

Makanya, dia mengharapkan semua pihak untuk selalu menjaga kedamaian dan jangan memperkeruh suasana damai di Aceh. Untuk itu Ghufran meminta kepada Pemerintah Aceh dan aparat penegak hukum untuk mengusut kasus ini sampai tuntas, dan menyeret pelaku ke pengadilan dan menuntaskan kasus ini secepatnya. "Semua pelaku harus dituntut seadil-adilnya tanpa padang bulu," tukas Ghufran.

Sama halnya seperti harapan Gubernur Irwandi Yusuf dan Kapolda Aceh Irjen Pol Drs Rismawan. Politisi PKS ini juga mengimbau seluruh elemen masyarakat Aceh, supaya tidak terpancing untuk melakukan aksi balas dendam.

Dia berharap juga agar tidak mudah terpancing atau terprovokasi dengan isu-isu yang dikembangkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggunggjawab. Kepada semua kelompok, baik kelompok sipil, sosial, dan media informasi untuk tidak memberitakan isu-isu  miring yang dapat membuat rasa ketakutan yang berlebihan terhadap masyarakat setempat.

Kepada pemerintah khususnya, Ghufran meminta untuk menjembatani pertikaian yang terjadi di tingkat bawah. "Karena kalau ini tidak segera diselesaikan maka bukan tidak mungkin konflik ini akan semakin melebar hingga pada aksi saling balas dendam," katanya.

Bagi Hendra Budian, Ketua Badan Pengurus Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), kasus Alu Lintang itu, dapat mengulang sejarah hitam perdamaian Aceh. "Ini sangat 'mengerikan' ketika semua orang di Aceh sedang mendambakan perdamaian yang abadi," tukas dia.

Dia mengingatkan, masih segar dalam ingatan, ketika tragedi pembakaran kantor JSC (joint security committee) dan pemukulan terhadap personel JSC di Aceh Tengah pada tahun 2003 yang lalu telah menjadi faktor pemicu gagalnya proses perdamaian saat itu (CoHA).

Oleh karena itulah, AJMI meminta kepada elite politik yang ada di wilayah Aceh Tengah untuk dapat berfikir jernih dan bijaksana dengan cara menenangkan anggotanya untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum serta mencederai semangat MoU Helsinki yang telah ditandatangani oleh perwakilan Pemerintah RI dan GAM.

Tak jauh beda dengan Ghufran, Hendra juga berharap dan meminta dengan tegas kepada pihak Kepolisian untuk melakukan pengusutan hukum secara tuntas dengan mengedepankan asas kebenaran dan keadilan. "Polisi merupakan institusi negara yang harus bersikap netral atau a politis sehingga mampu menyelesaikan persoalan secara objektif," katanya.

Seakan tak mau ketinggalan, juru bicara KPA Ibrahim Syamsuddin pun mengeluhkan kegundahan hatinya. Dia mengecam aksi anarkis itu dan juga menuntut polisi menyelesaikan kasus tersebut hingga tuntas. KPA adalah organisasi sipil tempat menampung mantan kombatan.

"Kerusuhan ini patut diduga sebagai sekenario merusak perdamaian Aceh. Sepertinya ada aktor intelektual di belakangnya. Dulu saat masa jeda kemanusian, gagalnya kesepakatan para pihak juga di mulai di Aceh Tengah dan ada indikasi ini merupakan pembangkit konflik kembali di Aceh," paparnya.

Apapun itu, kita berharap agar situasinya kembali terkendali dan perdamaian abdi itu bersemi seperti yang diharapkan Kapolda Aceh, Irjen Pol Rismawan; "Kita komit bahwa perdamaian Aceh ini berlangsung abadi." Semoga... [a]

Foto: panoramio
  Didong Jalu Mengobati Rindu Dirantau

Didong Jalu Mengobati Rindu Dirantau

DINGIN yang menggelayut di anjungan Aceh, kompleks Taman Mini Indonesia Indah, mengingatkan Bengi akan tanah kelahirannya, dataran tinggi Gayo. Sabtu malam, (10/11), seusai membawa Tari Munalo, serta menonton Didong Jalu, kerinduannya pun terobati.

Malam Minggu kemarin, hampir lima ratusan warga Gayo se Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) berkumpul di anjungan Nanggroe Aceh Darussalam, di Taman Mini. Hajatannya bukan kenduri usai panen kopi, tapi bersilaturrahmi.

Para sesepuh warga Gayo yang menggelar Halal bihalal di sana, merasa amat spesial dengan kehadiran Wakil Gubernur, Muhammad Nazar. Bagaimana tidak, Nazar juga mengukuhkan pengurus baru Ikatan Musara Gayo se Jabodetabek, pada malam itu.

Bukan cuma acara seremoni saja. Ikatan Musara Gayo juga membuka stand pameran. Menariknya di pameran tersebut juga disediakan kupi jelabok, Lepak dan masakan khas Aceh Tengah dan Bener Meriah lainnya yang dimasak langsung di tempat.

Lepas kangen itu juga diwarnai dengan lomba Didong alias Didong Jalu. Dua grup dari Jakarta dan Bandung 'berbalas pantun' malam itu. Namun, warga Gayo di Parahiyangan unggul dalam lomba tersebut. Pemenang mendapat hadiah Rp 1,5 juta.

Kidung kampung halaman, juga dilantunkan para seniman Gayo. Tentu saja termasuk lagu wajib 'Tawar Sedenge' karya A Moese. Moese seorang seniman kawakan Gayo yang Agustus lalu menghembuskan nafas terakhir. Dia menggubah lagu tersebut pada 1956 saat berusia 22 tahun.

Didong serta kidung lainnya bukan saja mengobati hati Rosimah Bengi, mahasiswi semester V salah satu universitas di Serang, Banten. Ratusan warga lainnya juga punya asabat yang sama. "Kami ikut latihan di Sanggar Buntul Kubu," kata Bengi.

Seorang sepuh Gayo, Usman Nuzuli Hatta, malam itu mengajak semua warga Aceh dari berbagai suku untuk melestikan budaya-budaya sendiri, meski berada diperantauan. Harapan itu bukan cuma sebatas angan.

Buktinya, sekelompok gadis cilik berusia dibawah sepuluh tahun membawakan Tari Kipes dengan sempurna. Bocah-bocah itu bernaung di bawah Sanggar Buntul Kubu. "Mereka generasi ketiga, yang sekarang juga belajar tarian tradisional Gayo," sambung Bengi lagi.

Dalam sambutannya, Usman mengharapkan agar ikatan primordial yang ada di perantauan juga harus ikut mendukung pembangunan di Aceh pada masa mendatang. "Pertahankan ikatan primordial ini dengan memberikan warna untuk mencapai kemajuan Aceh," tutur dia.

Wagub Muhammad Nazar, juga mengajak semua elemen untuk menjaga kondisi perdamaian untuk membangun Aceh tanpa terkecuali dan tanpa diskriminasi. Saat mengucapkan itu, tepukan pun riuah. "Kami berjanji, pemerintahan kami tidak ada diskriminasi," ujarnya.

Seperti diketahui, wilayah pedalaman seperti Aceh Tengah dan daerah lain yang berada di sekitar misalnya, selama ini terkesan diabaikan oleh penguasa di Banda Aceh. Sehingga kue pembangunan kurang mengucur ke sana.

"Kalau dulu ada daerah terisolir, Insya Allah ke depan tidak boleh ada lagi," papar Nazar yang kembali disambut tepuk tangan, apalagi Wagub juga sekali-kali menyelingi hadih maja Gayo dalam sambutannya.


Dibawah gerimis dan dinginnya pojokan anjungan Aceh makin membuat warga Aceh Tengah dan Bener Meriah terasa bak berada di kampungnya. Apalagi malam itu, Didong Jalu, berlangsung hingga pagi dan disaksikan, Drs, Ishak MS, sekretaris daerah Bener Meriah. Semuanya menjadi bak di kampung sendiri. [a]
  Inilah Nyanyian Miris Mantan Jurnalis

Inilah Nyanyian Miris Mantan Jurnalis

BUKU bersampul biru itu mencatat segala kegelisahan penulisnya. Dialah Doel CP Allisah, penyair Aceh, yang pada akhir pekan kemarin meluncurkan goresannya. "Kegelisahan" Doel terangkum dalam sebuah buku antologi puisi yang diberi judul "Nyanyian Miris atau The Sadness Song."

"Bagaimana pun Doel, salah satu penyair Aceh terkuat sepanjang sejarah sastra modern di Serambi Mekah," ujar Ahmadun Yosi Herfanda, seniman kawakan di Jakarta dalam catatannya untuk kata pengantar buku yang disugih juga dalam bahasa Inggris ini.

Ahmadun yang juga Redaktur Sastra Harian Republika Jakarta memuji habis pria kelahiran Banda Aceh, 3 Mei 1961 itu. "Sajak-sajaknya dalam buku Nyanyian Miris ini makin membuktikan kekuatan Doel sebagai penyair yang sangat layak dan patut diperhitungkan," sebutnya.

Menurut dia, sajak-sajak Doel itu unik, karena memiliki pola-pola puitika individu yang seperti tak tersentuh oleh kecenderunga-kecenderungan puitika yang sempat muncul di Tanah Air, khususnya Jakarta.

Dalam kata pengantarnya, Ahmadun juga menyebutkan, membaca sajak-sajak Doel tidak hanya membaca kegelisahan hati dan pencapaian estetik seorang penyair, tapi juga kegelisahan masyarakat Aceh sebagai sebuah komunitas politik dan budaya yang ikut mempengaruhi kelahiran sajak-sajak penyair Aceh ini.

Kata Ahmadun, sebagai penyair yang tumbuh dan berkembang di Aceh, tentu Doel tidak hanya menangkap sisi keras atau sisi gelap Tanah Rencong. Sebab, tambah dia, tentu tidaklah pas benar mengindentikkan Aceh hanya dengan kekerasan bersenjata, teror, penderitaan dan aroma kematian.

"Aceh juga adalah representatif dari kekayaan warisan budaya yang dibangun sejak msa Hamzah Fanshury atau masa kesultanan Aceh. Aceh juga kekayaan sumber daya alam yang menjanjikan kemakmuran," sebut pria kelahiran Kaliwungu, Kendal 17 Januari 1958.

Penyair sufistik ini melihat, karya Doel menyimpan tema-tema yang cukup refresentatif untuk membaca jiwa dan nurani Aceh. "Sajak-sajaknya lebih merepresentasikan hasil pencarian pribadi yang terus menerus dalam 'kegelisahan kreatif' yang tidak kenal surut," cepenis itu.

Sementara Walikota Banda Aceh, Ir Mawardy Nurdin dalam sambutannya, Mawardy mengatakan buku ragam antologi tersebut untuk masa datang, bisa diperbanyak sebagai bingkisan bagi tamu asing yang berkunjung ke Aceh.

Apalagi, lanjut dia, antologi puisi "Nyanyian Miris The Sadness Song" dicetak dalam dua bahasa; bahasa Indonesia dan Inggris. Buku yang diterbitkan bersama Aliansi Sastrawan Aceh ini memuat 103 puisi karya Doel sejak 1976 hingga 2006. .

Wakil Ketua DPR Banda Aceh, Anasbidin Nyak Syech, menyambut baik "Nyanyian Miris The Sadness Song". Katanya, Doel telah mencatat sejarah dalam tulisannya. Ini sangat penting dibanding dekan, rektor, profesor, ulama yang tak pernah menulis, maka mereka tidak pernah membuat sejarah.

"Jika buku ini mengandung dakwah, maka 'Nyanyian Miris The Sadness Song' adalah ibadah. Bila suatu saat Doel sudah tiada, buku ini telah meninggalkan sejarah yang bisa dibaca oleh genarasi selanjutnya," pungkas Anas dalam acara yang berlangsung di Museum Aceh, Minggu (30/9) menjelang buka puasa.

Dalam komentarnya, Doel yang mantan wartawan itu mengungkapkan, puisi-puisi lahir dari 'pergolakan' jiwanya ketika meliput berbagai daerah di Aceh. Kegelisahannya sejak 31 tahun silam hingga kini itulah yang semuanya dituangkan dengan cara miris pula. Selamat. [a]
  Mendadak Gersang...

Mendadak Gersang...

MELINTASI jalan menuju Ulee Lheue, kita akan meresapi aura yang amat berbeda. Tak ada lagi keteduhan dan kerindangan di sepanjang jalur Iskandar Muda itu. Dia tiba-tiba menjadi gersang akibat ulah mesin bermerek pembangunan.

Kini, 64 batang pohon Asam Jawa di sepanjang jalan itu sudah ditebang. Bagi sebagian warga, pohon tersebut sangat bermakna dan 'bersejarah'. Karena, saat tsunami menerjang Aceh, 26 Desember 2004 lalu, pohon tersebut ikut 'berjasa' menyelamatkan manusia.

Selain itu, ada pula yang menuding pemerintah Kota Banda Aceh lebih mementingkan proyek, ketimbang pelestarian. Dengan proyek, gemercingan fee akan berdenting lagi ke kantong para pejabat.

Kabarnya, pohon-pohon yang ditebassepanjang jalan menuju ke Ulee Lheue itu sudah berusia belasan tahun hingga puluhan tahun. "Bagi saya korban tsunami, pohon itu sangat bersejarah. Kami menyelamatkan diri ke salah satu pohon yang sudah ditebang itu," kata sejumlah warga di Ulee Lheue, Gampong Pie, Deah Geulumpang.

Nama-nama kampung yang disebutkan itu semua dilindas tsunami. Kecuali kawasan itu, kampung lain yang berharap keteduhan Asam Jawa, antara lain Punge Blang Cut, Punge Blang Oi, Lambung dan lain sebagainya.

Sebenarnya, pohon Asam Jawa itu menjadi karakter landskap Kota Banda Aceh. Namun, karena rencana pelebaran jalan menuju Pelabuhan Ulee Lheue, pohon tersebut dengan gampang ditebang.

Jalan yang hendak dibangun itu direncanakan dua jalur. Alasannya untuk mengantisipasi kemacetan bila Ulee Lheue sudah menjadi pelabuhan ekspor impor. "Apanya yang kita ekspor, angin," tukas Tarmizi, warga Punge Blang Cut dengan nada sinis.

Katanya, kalau belum ada industri besar jangan mimpi ekspor mengekspor. "Bukan kah kita selama ini terkenal konsumtif. Untuk kebutuhan lembu saja yang sudah menjadi kebutuhan rutin setiap meugang harus kita impor," sebut dia bertanya.

"Apakah kita harus impor-impor terus. Kalau pun diekspor apanya yang kita andalkan. Dalam dua tahun ini kita hanya bisa ekspor angin," kata korban tsunami ini sinis. Karena itulah, dia amat menyayangkan sikap gegabah pemerintah.

Gegabah, dalam arti tidak ada perencanaan yang matang dalam pembangunan di wilayah tersebut. Fakta ini diperkuat lagi dengan harus dibongkarnya rumah korban tsunami yang terkena jalur pelebaran. Padahal rumah bantuan itu baru dibangun.

Tarmizi mengaku tahu, rencana pelebaran jalan sudah ada sebelum bencana tsunami tiba. Setelah musibah itu realisasinya makin lebih gampang. Apalagi mumpung masih ada talangan dana dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias.

Tapi dari kacamata korban, penebangan itu menjadi dipertanyakan. Karena itulah, dari sudut awam dia melihat, indikasinya lebih kepada proyek yang menguntungkan kantong pejabat.

Bagai senada dengan korban tsunami itu, Yenny Rahmayati dari Aceh Heritage Community Foundation kepada Waspada mengatakan pelebaran jalan Iskandar Muda dirasa belum perlu dan mendesak, kendati Pelabuhan Ule Lheue akan dijadikan pelabuhan terpadu.

Sarjana arsitektur kelahiran Meulaboh itu berdalih masih ada dua jalan alternatif lain yang bisa dipakai. "Selain jalan Iskandar Muda, jalan dari Peukan Bada dan jalan tembus ke Lampaseh, malah jalan Lampaseh menghubungkan langsung ke pusat kota," urai dia.

Lagi pula, sambung dia, jalan itu bukan lokasi kemacetan yang segera butuh pelebaran. "Dulu memang daerah ini kawasan padat penduduk, tapi sejak tsunami, penduduk kawasan ini berkurang dratis, malah jalan cenderung sepi," katanya.

Wanita yang biasa disapa Yeyen ini melihat, pelebaran jalan malah menyebabkan tingginya angka kecelakaan lalu lintas seperti yang terjadi di jalan tembus (ring road) dari Simpang Surabaya ke arah Lambaro.

Karena itulah, Yeyen dan Komunitas Lestari Pusaka Aceh sangat menyayangkan penebangan pohon-pohon 'bersejarah' itu. Kata dia, bersejarah tidak hanya tua umurnya, tapi punya sejarah karena ditanam oleh pemerintah kolonial Belanda.

Sudah pasti, maksud kaum koloni ketika itu, bukan cuma sekadar sebagai unsur keindahan dan peneduh, tapi juga untuk resapan air serta menjadi salah satu elemen pembentukan ciri khas kota dengan menciptakan 'penegasan sequence' dinding semu yang sangat berkarakter.

Yang tak kalah penting, pohon-pohon tersebut menjadi saksi musibah tsunami. Bahkan pohon-pohon tersebut menyimpan banyak cerita dan telah menyelamatkan manusia dari musibah dahsyat akhir tahun 2004 lalu.

Argumen Yeyen, dikuatkan lagi oleh rekannya, Michael Kruezberg, salah seorang ahli lingkungan dari German yang sudah melakukan survei ke lokasi. Dia memberikan impresi bahwa rencana pelebaran jalan tersebut kurang perlu mengingat tingkat kepadatan lalu lintas yang rendah.

Dia juga menganggap bahwa deretan pohon-pohon Asam Jawa tersebut tidak hanya memiliki nilai sejarah tinggi tapi juga bermanfaat bagi lingkungan yang berfungsi sebagai paru-paru kota serta nilai estetika yang tinggi.

Dari pengamatan Kruezberg, sekitar 70 persen dari pohon-pohon yang sudah diberangus itu masih dalam kondisi bagus. Kalaupun ada yang kondisinya memprihatikan namun masih bisa dirawat. "Ada banyak model perawatan untuk hal tersebut," ujar dia seperti dikutip Yenny.

Sementara 30 persen sisanya yang sudah tidak mungkin dirawat bisa dilakukan regenerasi dengan menanan jenis pohon yang sama. Tapi yang amat disayangkan, kota Banda Aceh yang sudah porak poranda karena kehendak alam juga harus rusak akibat manusia salah mengambil keputusan.

Sejatinya kita bisa belajar dari pohon-pohon yang jadi korban seperti di jalan Sudirman. Dan sangat disayangkan jika kini muncul korban-korban lain. "Bukankah Pohon juga makhluk yang mempunyai hak untuk hidup," tanya Yeyen.

Puluhan pohon Asam Jaya dilintasan Ulee Lheue itu kini cuma tinggal kenangan. Padahal bagi sebagaian korban tsunami itu amat bermakna dan berjasa. Tapi, yang sudah ditebang tak mungkin besok bisa tegak lagi. Paling tidak butuh puluhan tahun lagi untuk merindangkan kembali.

Memang nasi sudah menjadi bubur. Jadi, tak ada kata keramat yang bisa mengingati mereka lagi. Paling, hanya ungkapan Haji Uma, tokoh sentral dalam film komedi lokal yang bisa dikutip. "Peu taupeugah bak gata, awak hana sekolahan...," [a]

Foto: internet
All European Semifinal

All European Semifinal

BENUA Eropa betul-betul menunjukkan tajinya dalam Piala Dunia ke-18 kali ini. Bagaimana tidak, dari empat negara yang melaju ke semifinal tak ada satu pun wakil dari benua lain. Tapi benua Amerika masih pegang rekor juara.

Kita harus menghapus catatan dengan sepakbola Asia. Namun tidak dengan Amerika Latin. Biasanya latin senantiasa berjaya di World Cup, terutama lewat Brazil dan Argentina. Tapi kali ini mereka harus angkat koper lebih awal.

Benua Amerika mungkin boleh saja mengklaim dirinya gudang pemain hebat. Memang, di sana ada pencetak gol terbanyak sepanjang Piala Dunia Ronaldo. Pemain Terbaik Dunia 2005, Ronaldinho. Tapi untuk kali ini benua biru benar-benar menistakan dan mendepak tim Amerika dari tanah air mereka.

Menilik kabar sejarah dalam 20 tahun terakhir, Eropa kembali mengulang memori Piala Dunia 1982 di Spanyol. Setelah di negeri Matador, untuk pertama kalinya, seluruh semifinalis Piala Dunia berasal dari Eropa.

Kini perhelatan akbar Piala Dunia 2006 sudah menkerucut. Empat negara segara bertemu di semifinal, di mana Der Panzer Jerman akan menyambut tantangan Azzurri Italia. Runner- up Euro 2004, Selecao Portugal bersabung dengan Les Blues Perancis.

Menelisik empat semifinalis kali ini, hanya tuan rumah yang sejak awal bergulir Piala Duniaa disebut-sebut sebagai favorit. Jerman tidak sendiri ada Argentina, Inggris, dan tentu saja juara bertahan Brazil. Sayang, semuanya terdepak.

Portugal yang dijuluki Samba Eropa tampil sebagai kuda hitam. Setelah menang adu penalti dengan Inggris, kans mereka untuk berlaga di final terbuka lebar. Begitu pula dengan Perancis yang menjadi lawan mereka di Muenchen, 7 Juli nanti.

Tim “Ayam Jantan” tua Perancis, tampil tertatih dibabak penyisihan. Namun langsung berkokok begitu berlaga diputaran kedua. Klimaksnya adalah saat mematuk talenta-talenta Samba 1-0. Memori 1998 kembali di benak Zinedine Zidane, juara dunia.

Harapan itu kini kembali dipupuk playmaker Real Madrid itu. Tentu dia berharap bisa berlaga di putaran final. Syaratnya, Thierry Henry Cs wajib menuntaskan aksi fenomenal anak asuh Luiz Felipe Scolari.

Siapa pun yang menang dalam laga pamungkas di Kota Berlin 10 Juli itu, tak akan berpengaruh pada rivalitas Eropa dan Amerika. Sebab jawara sudah pasti ditangan benua Eropa. Pun begitu, gengsi benua Amerika hingga kini masih dijaga tim Samba Brazil.

Kejayaan Eropa lewat altar yang bernama Jerman terasa tidak begitu fantastis. Bagaimana tidak, nyaris hampir semua pemain tim kontestan yang berlaga di Jerman merumput di liga-liga elite Eropa seperti Lega Calcio, La Liga serta Liga Primer.

Tentu saja ini menjadi pembuktian bahwa kompetisi Eropa lebih maju dan menjanjikan. Sehigga tak heran bila banyak seniman lapangan hijau dataran Amerika bahkan Asia mencari rezeki ke Perancis, Jerman, Italia, Spanyol dan Inggris.

Kendati Eropa menempatkan empat negara di semifinal, akan tetapi Brasil mewakili benua Amerika, yang masih memegang rekor sebagai pemegang dengan lima gelar juara.
"Sherina" Pun Manggung Di Kampung Mulia

"Sherina" Pun Manggung Di Kampung Mulia

Munawardi Ismail

TEMBANG Indonesia Menangis mengalun sendu di halaman sebuah gedung sekolah baru di Kampung Mulia. Pelantunnya tak lain Sherina. Penonton pun sembab berkaca-kaca.

"Tuhan marahkah KAU padaku, sungguh deras curah murka-MU, Kau hempaskan jari-MU di ujung Banda, tercenganglah seluruh dunia...,"

Nyanyian itu memang amat manis divokali Sherina. Semua hadirin yang hadir tak kuasa menahan haru. Mata pun sembab. Apalagi saat Sherina menutup not terakhir lagunya.

Hari itu, Selasa (4/4) Sherina menghibur ratusan murid dan undangan dari dalam dan luar negeri di Kampung Mulia, Kec Kuta Alam, Banda Aceh. Tentu saja dalam hajatan peresmian SD 20 dan SD 21.

Tapi jangan terkecoh dulu. Kali ini "Sherina" yang manggung di Kampung Mulia itu bukan yang asli. Pun begitu, "Sherina" Aceh ini, suaranya tak kalah merdu dengan yang orisinil.

Dialah Rahmi Amalia, 9 tahun. Siswa kelas 4 SD 20 Kampung Mulia yang memimpin belasan rekannya yang lain menyanyikan lagu Indonesia Menangis. Semua hadirin berdecak kagum.


Tak mengherankan memang, jika lagu itu dibawakan amat persis seperti aslinya. Kalau pun beda, paling-paling beda tipis, setipis kulit bawang. Vokalnya juga jernih. Mimiknya, juga cukup serius bak biduan profesional.

Pasalnya, Rahmi ini adalah jawaranya PMI Idol yang digelar Palang Merah Indonesia di Taman Ratu Safiatuddin beberapa bulan silam. "Suara kamu bagus ya," puji Dean Hirsch.

Presiden World Vision International itu memuji vokal anak pasangan Mahmud Ali dan Nelfi ini di sela-sela makan siang. Dean Hirsch datang ke Kampung Mulia guna menghadiri hajatan organisasinya. World Vision yang membangun sekolah Sherina, eh Rahmi.

Siang itu Rahmi tidak sendiri. Dua temannya, Fira Fudhla, 11, dan Dudi Afrialnaldi, 11, juga diajak ngobrol Hirsch. Mereka adalah anak-anak korban tsunami yang menghempas Banda Aceh dan sekitarnya pada 26 Desember 2004 lalu.

Dengan dibantu transleternya, Presiden World Vision itu mengaku kagum dengan anak-anak Aceh. Makanya tak heran jika Hirsch pun berpesan, "Belajarlah dengan giat, kalian adalah masa depan Aceh dan dunia."

Apa yang beda di antara ketiganya. Bila Rahmi unggul diolah vokal, maka Fira Fudha tampil memukau berorasi. "Setelah peristiwa itu, kami kucar kacir bagaikan ayam kehilangan induknya," tukas murid kelas 6 ini.

Fira mengatakan, masih akibat musibah itu, mereka terpaksa pindah sekolah atau menumpang belajar di luar Aceh bahkan ada yang belajar di bawah tenda.

"Semua kami lakukan agar tidak kehilangan pengetahuan dan masa depan, walau kami hidup dalam keadaan apapun," tutur bungsu dari dua bersaudara ini. Mendengar itu, Dean Hirsch pun mangut-mangut.

"Dua bulan setelah tsunami, barulah kami tahu di mana posisi sekolah sementara kami, yakni SD Negeri 28 Kp Kramat. Tak lama kemudian kami pindah lagi ke SD Negeri 4 Kuta Alam, belajar sore hari. Meski rasa kantuk yang tak tertahankan, Alhamdulillah kami dapat belajar dengan tenang," sambung calon dokter ini.

Kemudian, cerita dia dalam pidatonya, atas bantuan World Vision yang menyewa pertokoan tak jauh dari sekolah asal, mereka dapat belajar dengan tenag. Kendati tetap ada rasa takut yang menghantui, karena belajar di toko berlantai tiga.

Fira juga berterima kasih kepada lembaga donor yang sudah membangun sekolahnya serta memberi berbagai fasilitas belajar berupa buku, sepatu, baju, jilbab dan lain-lain.

"Terima kasih kepada Presiden World Vision atas bantuannya, semoga kami tak pernah melupakan ini sepanjang hidup kami sebagai generasi penerus bangsa kelak. I hope you successfull for yours job next times," tukas Fira yang disambut tepuk tangan meriah.

Sementara Dudi Afrialnaldi lain lagi. Bak WS Rendra, bocah hitam manis, kelas 6 ini pun membaca puisi. "Hanya Kami yang Tersisa," ujar Dudi memulai membaca judul puisi karya salah seorang gurunya.

Menarik lagi, isi puisi Dudi ditulis dalam bahasa Inggeris. Dia menceritakan kehidupannya yang hidup sebatang kara. Usai membaca puisi, Dudi disambut peluk haru para guru sekolahnya.
Ternyata Dudi memang hidup sendiri. "Sekarang saya tinggal di rumah bibi. Ayah, ibu dan adik-adik jadi korban tsunami," ucapnya terbata-bata saat menjawab Waspada.

Memahami psikologisnya, tak banyak yang harus ditanya ke Dudi. Apalagi jika sesuatu itu tentang masa lalu. Kita cuma bisa menggantung asa, seperti harapan Dean Hirsch,"Belajarlah dengan giat, kalian adalah masa depan Aceh dan dunia." Semoga!

Goresan Dari Negeri Tak Bertuan

Goresan Dari Negeri Tak Bertuan

Munawardi Ismail

SITI Zainon Ismail dikenal sebagai penyair wanita ternama dari Malaysia. Hampir semua seniman di Tanoh Aceh akrab dengannya. D Kemalawati salah satu di antaranya. "Kita bisa mengutip sejarah dari batin penyair ini," tulis Zainon Ismail tentang penyair Aceh ini.

Menurut Zainon, puisi-puisi D Kemalawati meredah batin para inong, membawa amanat kasih sayang, sedih atas petaka alam, antara citra api, gemuruh bedil senjata, hingga air mata ibu, adalah cinta bumi ibunda.

Begitulah goresan penyair serta Dosen Universitas Kebanggsaan Malaysia itu pada cover belakang antologi puisi D Kemalawati yang berjudul,"Surat Dari Negeri Tak Bertuan".

Memang, tak berlebihan goresan Zainon. "Puisi-puisi D.Kemalawati seperti merepresentasikan gebalau kegelisahan rakyat Aceh; menyusuri masa lalu dengan luka akibat konflik berdarah dan bencana alam dan memandang masa depan dengan optimisme yang menyisakan kepedihan," timpal Maman S Mahayana, seniman dari Jakarta.

Surat Dari Negeri Tak Bertuan adalah satu dari 70 judul puisi D Kemalawati yang dirangkum dalam sebuah antologi puisi dengan titel sama. Antologi tersebut, Minggu (2/4) diluncurkan di Taman Budaya Banda Aceh.

Kehadiran karya penyair Aceh yang akrab dengan nama Deknong ini tak terlepas dari gebrakan Lapena (Institute for Culture and Society) Banda Aceh. Lapena, tak lain sebuah lembaga "kecil" yang tidak main-main dalam goresan seniman Aceh.

Direktur Lapena, Helmi Hass kepada Waspada mengatakan, ada alasan kuat mereka menerbitkan buku penyair Aceh. "Selain mendokumentasikan karya penyair yang sudah puluhan tahun di laci, juga ingin mempublikasikan kepada masyarakat dunia, supaya mereka tahu apa yang direkam para sastrawan pada zamannya," sebut Helmi.

Alasan lain, tambah dia, agar generasi penerus di Aceh nanti tahu dan kenal penyair yang sudah melahirkan karya tak kalah dengan penyair dari belahan dunia lain.

Masih dalam wahana itu pula, pada medio Mei nanti, Lapena juga akan meluncurkan buku puisi Mohd. Harun Al Rasyid berjudul ”Nyanyian Manusia”. Harun, kini sedang menunggu ujian disertasi doktoralnya di Universitas Negeri Malang.

Makanya menjadi tak heran bila Lapena yang berkarya minim dana ini sudah meluncurkan tiga buku pascatsunami. Sebelumnya ada antologi puisi Aceh, Indonesia dan Malaysia, ”Ziarah Ombak” (2005). Pada sore menunggu setahun tsunami, 25 Desember 2005, diluncurkan buku cerpen tiga bahasa Sulaiman Tripa, ”Menunggu Pagi Datang”.

Yang tak kalah menariknya, buku antologi puisi “Surat dari Negeri Tak Bertuan” yang ditulis seorang penyair perempuan produktif, diterbitkan dalam dua bahasa, Inggeris dan Indonesia.
Penulis buku, Kemalawati, kepada pers mengungkapkan, puisi yang terkumpul dalam antologi ini berjumlah 70 puisi. ”Puisi-puisi ini berasal dari karya tahun 1985 sampai sekarang (2006),” kata Deknong Kemalawati, yang tak lain isteri Helmi Hass, mantan Ketua Dewan Kesenian Aceh (DKA).

Deknong alias Kemalawati yang lahir di di pantai Barat, Meulaboh, 2 April 1965 cukup akrab di telinga seniman Aceh. Ia juga sering diundang untuk membaca puisi di berbagai tempat, di Indonesia dan Malaysia.Dia juga menulis puisi, esai, opini, juga beberapa cerpen.

Konon, cerpennya, Lelaki Berbahasa Ibu, menjadi nominasi Lomba Penulisan Cerpen Guru se-Indonesia (2004). Selain sebagai seniman, penyair wanita ini dikenal sebagai guru Matematika di SMK 2 Banda Aceh. Guru Matematika jadi penyair? Ini bukan aneh tapi nyata!
Tahun Mulai Berganti Di Kampung Kami

Tahun Mulai Berganti Di Kampung Kami

Munawardi Ismail

SETAHUN lalu kota ini gelap. Bencana bukan saja menguburkan kota kami, tapi juga waktu seakan berhenti. Banda Aceh 365 hari lalu adalah kota mati. Hari-hari lainnya adalah buram.

Seluruh sudut kota adalah kelam dengan ribuan mayat-mayat yang bergelimpangan. Tak ada yang berdenyut. Kecuali ringkih kodok sahut-menyahut. Hanya Krueng Aceh yang bergerak mengangkut mayat-mayat yang berserak.

Bau bangkai menyengat di setiap gang dan jalanan. Banyak graffiti yang berbunyi; Di Sini Ada Mayat. Masih syukur bukan "Di Sini Ada Setan". Orang pada lari, bukan karena melihat setan, tapi karena getaran bumi yang tak pernah lekang.

Kemarin sudah 370 hari Banda Aceh dalam duka. Duka maha dahsyat itu ikut menghilangkan banyak jasad. "Dia" juga meng-stipo peta-peta kampung di pesisir. Tsunami juga menenggelamkan tawa dan canda para balita. Bencana itu menguburkan keangkuhan manusia.

Tak heran jika kemudian dalam hitungan menit gelombang raksasa itu membuat 280.000 manusia kehilangan nyawa. Di Aceh dan Nias 160.000 korban wafat. Belum lagi di Sri Lanka, 31.000 orang tewas, dan 4.000 lainnya hilang.

Pantai selatan India kehilangan 8.000 jiwa, dan kepulauan Andaman dan Nicobar menelan korban lebih dari 2.000 jiwa. Kematian di Thailand mencapai 5.300 orang, 2.800 jiwa lainnya hilang.

Satu tahun kemudian, pemimpin negeri ini mengajak kita untuk mengingat jasad-jasad beku. Menghormati mereka, sekali lagi, untuk mereka orang-orang baik, perempuan, laki-laki, anak-anak kita, orang dewasa, yang hilang dibawa gelombang.

Lalu, kita tundukkan kepala, memanjatkan doa khusuk, agar arwah mereka yang kita cintai, baik yang ditemukan maupun yang tidak kita temukan, yang dinisankan di perut bumi, maupun terkubur didasar laut, kesemuanya memperoleh tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tak terasa tahun sudah berganti. Suasana tak lagi lengang. Tidak diam dalam amis mayat. Kini dia mulai bergerak dengan gairah muda-muda mengumbar dosa. Seakan mereka tak ingat peringatan setahun silam.

Seharusnya mereka mengisi shaf-shaf di dalam masjid. Bertafakkur dan merenungi apa yang sudah kita lakoni selama ini. Bukan malah “menari-nari” dengan suara terompet.

Sayang tak ada larang di sana. Penguasa bisanya diam. Mungkin juga ikut larut. Melihat itu, seakan-akan setahun yang lalu kota ini tak pernah kelam. Tidak sunyi dalam keheningan ketika lidah hitam menjilat tubuh-tubuh yang tak berlumur dosa.

Apakah ini budaya kita? Sebelum saya menjawab, seorang senior alumni Lembaga Pers Dr Soetomo menghentak pikiran saya. Tentang tahun baru dia memberi secuil surah. “Penanggalan Masehi ternyata diambil dari lahirnya Jesus Kristus 1 Januari tahun masehi. Sebuah aqidah bisa terbelah jika kita memberi ruang toleransi.”

Tahun Masehi adalah ciptaan Julio Caesar, tulisnya. Islam punya penanggalan 1 Muharram. Hijrah, simbol peradaban Islam. Pemaknaan tahun baru Masehi sering bias.

Perenungan berubah menjadi hura-hura. Remaja muslim tak mau kalah. Ingin dibilang keren, gaul, ngetren dan sebagainya. Mereka lupa, itu bukan punya kita. Memang tak jelas! Sepeti belum jelasnya nasib ribuan “manusia tenda”.

Tahun ini Banda Aceh memang tak lagi kelam. Krueng Aceh juga sudah mulai bergerak. Tak ada lagi mayat bergelimpangan. Ternyata bencana “ikut” menata wajah kota, setelah waktu kembali berdetak ke 2006.
Jejak-Jejak Kompeni Disapu Tsunami

Jejak-Jejak Kompeni Disapu Tsunami

Munawardi Ismail

TAK banyak bangunan monumental peninggalan kolonial di Banda Aceh. Apalagi bangunan berarsitektur Eropa yang sarat historinya. Dalam teritorial Aceh, bangunan bikinan Belanda, boleh dibilang dapat dihitung dengan jari.

Berbeda dengan wilayah lain di Nusantara yang banyak gedung-gedung “berseni” peninggalan kolonial. Sementara di Tanah Rencong, Belanda nyaris tak punya kesempatan menancapkan kukunya. Makanya tak heran, jika bangunan yang berserak pun adalah tangsi-tangsi militer.

Karena itu, bicara bangunan tua peninggalan kafe Belanda di Kutaraja alias Banda Aceh tak ubah bagai mengungkit lagi sejarah kelam kegagalan Belanda di Serambi Makkah. Pasalnya tak cukup waktu buat menir-menir itu untuk “membangun” daerah jajahannya (baca: Aceh) di tengah gempuran pejuang Aceh.

Pejuang-pejuang Aceh tak memberi angin apalagi membiarkan Belanda bernafas lega sejak memulai agresinya pada 26 Maret 1873. Sehigga tidak heran jika kompeni Belanda dibawah komando Mayor Jenderal J.H.R Kohler serta 3.000 serdadunya terkapar merenggang nyawa.

Serangan ini dapat dipatahkan patriot-patriot Aceh yang berujung pada tewasnya Kohler pada 10 April 1873. Bahkan pihak Belanda sendiri mencatat Perang Aceh sebagai perang paling dahsyat. Selain menguras tenaga dan nyawa, juga paling banyak menguras gulden mereka.

Perang kedua, dibawah Jenderal Van Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Untuk memperkuat barisan pertahanannya Belanda mendirikan sejumlah gedung permanen tanda mereka “menguasai” Aceh.

Pun demikian, yang paling dominan dibikin kompeni itu tak lain tangsi-tangsi militer. Ini cukup beralasan mengingat gempuran prajurit Aceh tak pernah surut, sehingga mau tidak mau baik van Swieten hingga van Dallen “wajib” menjaga diri dari tusukan rencong.

Selain tangsi militer, mereka juga membangun gedung-gedung yang dapat menopang usaha-usaha mereka dalam menguasai Aceh. Seperti Gedung Sentral Telepon Militer (kini dipakai untuk Kantor PSSI Aceh), Kantor Atjeh Tram (digunakan untuk Universitas Iskandar Muda), Atjeh Internaat (dipakai untuk kantor Bazis), Gedung Pergadaian, Bioskop Garuda.

Kebanyakan gedung-gedung purba itu tidak banyak berubah. Hanya saja minimnya perawatan, sedangkan fungsinya ada yang dipakai untuk perkantoran namun tidak sedikit yang jadi pajangan seperti Bangunan Instalasi dan Menara Air, Tugu Nege Dach Tenis dan Mercusuar.

Setelah gempa dan tsunami menerjang Aceh 26 Desember lalu, ada sejumlah bangunan yang ikut runtuh dan hancur akibat bencana. Misalnya Kantor Der Nader Land Sche Harrdy Matsschappy yang dipakai untuk kantor PDIA (Pusar Dokumentasi dan Informasi Aceh), Gedung MULO yang bangun tahun 1922 yang dipakai untuk SMP I Banda Aceh, Gedung SMP 4 Peunayong dan Rumah Potong Hewan di Keudah.

Bangunan kuno itu cuma tinggal mimpi setelah dirusak tsunami. Di bekas pertapakannya didirikan bangunan lain untuk maksud senada. Bahkan sebagian pertokoan Belanda di jalan Ahmad Yani Peunayong juga roboh ketika gempa.

Pasca-bencana, bangunan “made in” Belanda yang tersisa dan selamat antara lain Gedung SMU 1 Banda Aceh. Gedung Loge be Boow itu dikenal dengan sebutan Gedung Setan. Pada masa kompeni gedung Teo Sofi ini berfungsi sebagai tempat pertemuan para agamawan Belanda.

Setelah itu bangunan publik yang sempat dibangun Belanda dan selamat dari bencana, De Atjeh Bruk Keri (bekas gedung percetakan) di jalan Diponegoro, Gedung Sentral Telepon Militer, Atjeh Internaat (dipakai untuk kantor Bazis), Gedung Pergadaian dan Bisokop Garuda.

Ada lagi, Kerkoff Poucut Meurah dan Gereja Hati Kudus, Meuligoe (kediaman resmi gubernur NAD), Kompleks Baperis. Dua nama gedung yang disebutkan terakhir jauh dari jangkauan gelombang maut tsunami. Hanya Kerkoff dan beberapa gedung yang sudah disebut tadi juga ikut dibalut lumpur tsunami, namun tak merusak fisiknya.

Jika Kerkoff menjadi bukti sejarah kelam serdadu Belanda di Tanah Aceh, maka De Javasche Bank boleh dibilang sebaliknya. Gedung berarsitektur Eropa itu menjadi satu-satunya bangunan fenomenal yang menjadi bekas jejak Belanda di Aceh yang hingga kini tetap lestari.

Fungsi De Javasche Bank yang terletak di jalan Cut Meutia atau di samping Kantor Polda NAD itu tidak berubah. Kini dijadikan Kantor Bank Indonesia Banda Aceh. “Dulu fungsinya juga tidak jauh beda dengan sekarang. Semacam bank sentralnya Belanda ketika itu,” ujar pemerhati sejarah, Ridwad Aswad, kepada Waspada baru-baru ini.

Menurut dia, peletakan batu pertama Masjid Raya Baiturrahman juga dilakukan pada masa Belanda. Dia menyebutkan sekira Oktober 1979 dan diresmikan pada Desember 1881. Ketika itu Gubenur Belanda Karen van der Heijden.

Ridwan Aswad yang pegawai PDIA itu mengakui, bicara bangunan tua “bersejarah” di Aceh tak ubahnya membuka cakrawala masa lalu Belanda yang bernasib kelabu. Bagaimana tidak, sejarah mereka di Aceh tidak semulus yang mereka idamkan.

Makanya menjadi tidak heran, jika di Kutaraja banyak dibentengi Rumah Opsir militer Belanda. Setidaknya ada tiga kompleks yang dibangun buat perwira-perwira Marsose. Bukan cuma rumah, dalam kompleks ini mereka juga mendirikan Leger Museum (Museum Tentara).

Konon museum ini mengoleksi buku-buku taktik perang yang menjadi bacaan wajib tentara Marsose. Rumah peninggalan Belanda itu hingga kini masih lestari, kendati sudah ada yang keropos di sana-sini.

Akan tetapi, kini fungsinya tidak jauh berbeda ketika semula dibuat Belanda. Rumah Opsir Militer I- III yang terletak di Kuta Alam, Neusu dan Peunayong itu kini sebagian ditempati petinggi Kodam Iskandar Muda dan ada juga yang dijadikan kantor.

Sayangnya, kompleks rumah opsir militer Belanda dan kantornya yang dulunya juga ada dekat Rex Peunayong, kini hilang bak ditelan bumi. Bahkan di atas tanah-tanah yang sudah ruislag itu berdiri kokoh pertokoan di jalan Sri Ratu Safiatuddin.

Namun nasib sederetan pertokoan dibekas tanah itu juga tak jauh beda dengan yang lain. Hancur digoyang gempa dan lebur dirusak tsunami. Lalu apakah nasib bangunan sisa kolonial yang tersisa akan tetap lestari. Kita lihat nanti.