Mendadak Gersang...
feature Goresan lingkungan
MELINTASI jalan menuju Ulee Lheue, kita akan meresapi aura yang amat berbeda. Tak ada lagi keteduhan dan kerindangan di sepanjang jalur Iskandar Muda itu. Dia tiba-tiba menjadi gersang akibat ulah mesin bermerek pembangunan.
Kini, 64 batang pohon Asam Jawa di sepanjang jalan itu sudah ditebang. Bagi sebagian warga, pohon tersebut sangat bermakna dan 'bersejarah'. Karena, saat tsunami menerjang Aceh, 26 Desember 2004 lalu, pohon tersebut ikut 'berjasa' menyelamatkan manusia.
Selain itu, ada pula yang menuding pemerintah Kota Banda Aceh lebih mementingkan proyek, ketimbang pelestarian. Dengan proyek, gemercingan fee akan berdenting lagi ke kantong para pejabat.
Kabarnya, pohon-pohon yang ditebassepanjang jalan menuju ke Ulee Lheue itu sudah berusia belasan tahun hingga puluhan tahun. "Bagi saya korban tsunami, pohon itu sangat bersejarah. Kami menyelamatkan diri ke salah satu pohon yang sudah ditebang itu," kata sejumlah warga di Ulee Lheue, Gampong Pie, Deah Geulumpang.
Nama-nama kampung yang disebutkan itu semua dilindas tsunami. Kecuali kawasan itu, kampung lain yang berharap keteduhan Asam Jawa, antara lain Punge Blang Cut, Punge Blang Oi, Lambung dan lain sebagainya.
Sebenarnya, pohon Asam Jawa itu menjadi karakter landskap Kota Banda Aceh. Namun, karena rencana pelebaran jalan menuju Pelabuhan Ulee Lheue, pohon tersebut dengan gampang ditebang.
Jalan yang hendak dibangun itu direncanakan dua jalur. Alasannya untuk mengantisipasi kemacetan bila Ulee Lheue sudah menjadi pelabuhan ekspor impor. "Apanya yang kita ekspor, angin," tukas Tarmizi, warga Punge Blang Cut dengan nada sinis.
Katanya, kalau belum ada industri besar jangan mimpi ekspor mengekspor. "Bukan kah kita selama ini terkenal konsumtif. Untuk kebutuhan lembu saja yang sudah menjadi kebutuhan rutin setiap meugang harus kita impor," sebut dia bertanya.
"Apakah kita harus impor-impor terus. Kalau pun diekspor apanya yang kita andalkan. Dalam dua tahun ini kita hanya bisa ekspor angin," kata korban tsunami ini sinis. Karena itulah, dia amat menyayangkan sikap gegabah pemerintah.
Gegabah, dalam arti tidak ada perencanaan yang matang dalam pembangunan di wilayah tersebut. Fakta ini diperkuat lagi dengan harus dibongkarnya rumah korban tsunami yang terkena jalur pelebaran. Padahal rumah bantuan itu baru dibangun.
Tarmizi mengaku tahu, rencana pelebaran jalan sudah ada sebelum bencana tsunami tiba. Setelah musibah itu realisasinya makin lebih gampang. Apalagi mumpung masih ada talangan dana dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias.
Tapi dari kacamata korban, penebangan itu menjadi dipertanyakan. Karena itulah, dari sudut awam dia melihat, indikasinya lebih kepada proyek yang menguntungkan kantong pejabat.
Bagai senada dengan korban tsunami itu, Yenny Rahmayati dari Aceh Heritage Community Foundation kepada Waspada mengatakan pelebaran jalan Iskandar Muda dirasa belum perlu dan mendesak, kendati Pelabuhan Ule Lheue akan dijadikan pelabuhan terpadu.
Sarjana arsitektur kelahiran Meulaboh itu berdalih masih ada dua jalan alternatif lain yang bisa dipakai. "Selain jalan Iskandar Muda, jalan dari Peukan Bada dan jalan tembus ke Lampaseh, malah jalan Lampaseh menghubungkan langsung ke pusat kota," urai dia.
Lagi pula, sambung dia, jalan itu bukan lokasi kemacetan yang segera butuh pelebaran. "Dulu memang daerah ini kawasan padat penduduk, tapi sejak tsunami, penduduk kawasan ini berkurang dratis, malah jalan cenderung sepi," katanya.
Wanita yang biasa disapa Yeyen ini melihat, pelebaran jalan malah menyebabkan tingginya angka kecelakaan lalu lintas seperti yang terjadi di jalan tembus (ring road) dari Simpang Surabaya ke arah Lambaro.
Karena itulah, Yeyen dan Komunitas Lestari Pusaka Aceh sangat menyayangkan penebangan pohon-pohon 'bersejarah' itu. Kata dia, bersejarah tidak hanya tua umurnya, tapi punya sejarah karena ditanam oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sudah pasti, maksud kaum koloni ketika itu, bukan cuma sekadar sebagai unsur keindahan dan peneduh, tapi juga untuk resapan air serta menjadi salah satu elemen pembentukan ciri khas kota dengan menciptakan 'penegasan sequence' dinding semu yang sangat berkarakter.
Yang tak kalah penting, pohon-pohon tersebut menjadi saksi musibah tsunami. Bahkan pohon-pohon tersebut menyimpan banyak cerita dan telah menyelamatkan manusia dari musibah dahsyat akhir tahun 2004 lalu.
Argumen Yeyen, dikuatkan lagi oleh rekannya, Michael Kruezberg, salah seorang ahli lingkungan dari German yang sudah melakukan survei ke lokasi. Dia memberikan impresi bahwa rencana pelebaran jalan tersebut kurang perlu mengingat tingkat kepadatan lalu lintas yang rendah.
Dia juga menganggap bahwa deretan pohon-pohon Asam Jawa tersebut tidak hanya memiliki nilai sejarah tinggi tapi juga bermanfaat bagi lingkungan yang berfungsi sebagai paru-paru kota serta nilai estetika yang tinggi.
Dari pengamatan Kruezberg, sekitar 70 persen dari pohon-pohon yang sudah diberangus itu masih dalam kondisi bagus. Kalaupun ada yang kondisinya memprihatikan namun masih bisa dirawat. "Ada banyak model perawatan untuk hal tersebut," ujar dia seperti dikutip Yenny.
Sementara 30 persen sisanya yang sudah tidak mungkin dirawat bisa dilakukan regenerasi dengan menanan jenis pohon yang sama. Tapi yang amat disayangkan, kota Banda Aceh yang sudah porak poranda karena kehendak alam juga harus rusak akibat manusia salah mengambil keputusan.
Sejatinya kita bisa belajar dari pohon-pohon yang jadi korban seperti di jalan Sudirman. Dan sangat disayangkan jika kini muncul korban-korban lain. "Bukankah Pohon juga makhluk yang mempunyai hak untuk hidup," tanya Yeyen.
Puluhan pohon Asam Jaya dilintasan Ulee Lheue itu kini cuma tinggal kenangan. Padahal bagi sebagaian korban tsunami itu amat bermakna dan berjasa. Tapi, yang sudah ditebang tak mungkin besok bisa tegak lagi. Paling tidak butuh puluhan tahun lagi untuk merindangkan kembali.
Memang nasi sudah menjadi bubur. Jadi, tak ada kata keramat yang bisa mengingati mereka lagi. Paling, hanya ungkapan Haji Uma, tokoh sentral dalam film komedi lokal yang bisa dikutip. "Peu taupeugah bak gata, awak hana sekolahan...," [a]
Foto: internet
Kini, 64 batang pohon Asam Jawa di sepanjang jalan itu sudah ditebang. Bagi sebagian warga, pohon tersebut sangat bermakna dan 'bersejarah'. Karena, saat tsunami menerjang Aceh, 26 Desember 2004 lalu, pohon tersebut ikut 'berjasa' menyelamatkan manusia.
Selain itu, ada pula yang menuding pemerintah Kota Banda Aceh lebih mementingkan proyek, ketimbang pelestarian. Dengan proyek, gemercingan fee akan berdenting lagi ke kantong para pejabat.
Kabarnya, pohon-pohon yang ditebassepanjang jalan menuju ke Ulee Lheue itu sudah berusia belasan tahun hingga puluhan tahun. "Bagi saya korban tsunami, pohon itu sangat bersejarah. Kami menyelamatkan diri ke salah satu pohon yang sudah ditebang itu," kata sejumlah warga di Ulee Lheue, Gampong Pie, Deah Geulumpang.
Nama-nama kampung yang disebutkan itu semua dilindas tsunami. Kecuali kawasan itu, kampung lain yang berharap keteduhan Asam Jawa, antara lain Punge Blang Cut, Punge Blang Oi, Lambung dan lain sebagainya.
Sebenarnya, pohon Asam Jawa itu menjadi karakter landskap Kota Banda Aceh. Namun, karena rencana pelebaran jalan menuju Pelabuhan Ulee Lheue, pohon tersebut dengan gampang ditebang.
Jalan yang hendak dibangun itu direncanakan dua jalur. Alasannya untuk mengantisipasi kemacetan bila Ulee Lheue sudah menjadi pelabuhan ekspor impor. "Apanya yang kita ekspor, angin," tukas Tarmizi, warga Punge Blang Cut dengan nada sinis.
Katanya, kalau belum ada industri besar jangan mimpi ekspor mengekspor. "Bukan kah kita selama ini terkenal konsumtif. Untuk kebutuhan lembu saja yang sudah menjadi kebutuhan rutin setiap meugang harus kita impor," sebut dia bertanya.
"Apakah kita harus impor-impor terus. Kalau pun diekspor apanya yang kita andalkan. Dalam dua tahun ini kita hanya bisa ekspor angin," kata korban tsunami ini sinis. Karena itulah, dia amat menyayangkan sikap gegabah pemerintah.
Gegabah, dalam arti tidak ada perencanaan yang matang dalam pembangunan di wilayah tersebut. Fakta ini diperkuat lagi dengan harus dibongkarnya rumah korban tsunami yang terkena jalur pelebaran. Padahal rumah bantuan itu baru dibangun.
Tarmizi mengaku tahu, rencana pelebaran jalan sudah ada sebelum bencana tsunami tiba. Setelah musibah itu realisasinya makin lebih gampang. Apalagi mumpung masih ada talangan dana dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias.
Tapi dari kacamata korban, penebangan itu menjadi dipertanyakan. Karena itulah, dari sudut awam dia melihat, indikasinya lebih kepada proyek yang menguntungkan kantong pejabat.
Bagai senada dengan korban tsunami itu, Yenny Rahmayati dari Aceh Heritage Community Foundation kepada Waspada mengatakan pelebaran jalan Iskandar Muda dirasa belum perlu dan mendesak, kendati Pelabuhan Ule Lheue akan dijadikan pelabuhan terpadu.
Sarjana arsitektur kelahiran Meulaboh itu berdalih masih ada dua jalan alternatif lain yang bisa dipakai. "Selain jalan Iskandar Muda, jalan dari Peukan Bada dan jalan tembus ke Lampaseh, malah jalan Lampaseh menghubungkan langsung ke pusat kota," urai dia.
Lagi pula, sambung dia, jalan itu bukan lokasi kemacetan yang segera butuh pelebaran. "Dulu memang daerah ini kawasan padat penduduk, tapi sejak tsunami, penduduk kawasan ini berkurang dratis, malah jalan cenderung sepi," katanya.
Wanita yang biasa disapa Yeyen ini melihat, pelebaran jalan malah menyebabkan tingginya angka kecelakaan lalu lintas seperti yang terjadi di jalan tembus (ring road) dari Simpang Surabaya ke arah Lambaro.
Karena itulah, Yeyen dan Komunitas Lestari Pusaka Aceh sangat menyayangkan penebangan pohon-pohon 'bersejarah' itu. Kata dia, bersejarah tidak hanya tua umurnya, tapi punya sejarah karena ditanam oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sudah pasti, maksud kaum koloni ketika itu, bukan cuma sekadar sebagai unsur keindahan dan peneduh, tapi juga untuk resapan air serta menjadi salah satu elemen pembentukan ciri khas kota dengan menciptakan 'penegasan sequence' dinding semu yang sangat berkarakter.
Yang tak kalah penting, pohon-pohon tersebut menjadi saksi musibah tsunami. Bahkan pohon-pohon tersebut menyimpan banyak cerita dan telah menyelamatkan manusia dari musibah dahsyat akhir tahun 2004 lalu.
Argumen Yeyen, dikuatkan lagi oleh rekannya, Michael Kruezberg, salah seorang ahli lingkungan dari German yang sudah melakukan survei ke lokasi. Dia memberikan impresi bahwa rencana pelebaran jalan tersebut kurang perlu mengingat tingkat kepadatan lalu lintas yang rendah.
Dia juga menganggap bahwa deretan pohon-pohon Asam Jawa tersebut tidak hanya memiliki nilai sejarah tinggi tapi juga bermanfaat bagi lingkungan yang berfungsi sebagai paru-paru kota serta nilai estetika yang tinggi.
Dari pengamatan Kruezberg, sekitar 70 persen dari pohon-pohon yang sudah diberangus itu masih dalam kondisi bagus. Kalaupun ada yang kondisinya memprihatikan namun masih bisa dirawat. "Ada banyak model perawatan untuk hal tersebut," ujar dia seperti dikutip Yenny.
Sementara 30 persen sisanya yang sudah tidak mungkin dirawat bisa dilakukan regenerasi dengan menanan jenis pohon yang sama. Tapi yang amat disayangkan, kota Banda Aceh yang sudah porak poranda karena kehendak alam juga harus rusak akibat manusia salah mengambil keputusan.
Sejatinya kita bisa belajar dari pohon-pohon yang jadi korban seperti di jalan Sudirman. Dan sangat disayangkan jika kini muncul korban-korban lain. "Bukankah Pohon juga makhluk yang mempunyai hak untuk hidup," tanya Yeyen.
Puluhan pohon Asam Jaya dilintasan Ulee Lheue itu kini cuma tinggal kenangan. Padahal bagi sebagaian korban tsunami itu amat bermakna dan berjasa. Tapi, yang sudah ditebang tak mungkin besok bisa tegak lagi. Paling tidak butuh puluhan tahun lagi untuk merindangkan kembali.
Memang nasi sudah menjadi bubur. Jadi, tak ada kata keramat yang bisa mengingati mereka lagi. Paling, hanya ungkapan Haji Uma, tokoh sentral dalam film komedi lokal yang bisa dikutip. "Peu taupeugah bak gata, awak hana sekolahan...," [a]
Foto: internet