Revita, Kisah Seorang Bidan Desa
REVITA mungkin tak kenal dengan Srikanti. Memang keduanya hidup di zaman yang berbeda. Kini, Srikanti sudah tiada, sedangkan Revita masih mengabdi. Keduanya amat mencintai profesi dan sama-sama punya dedikasi untuk membantu masyarakat.
Lantas siapa Srikanti dan apa hubungan keduanya?
Srikanti adalah bidan keluarga Bung Karno yang menolong kelahiran putra-putri presiden pertama RI itu. Separuh hidup Sri dipakai untuk mengabdikan diri kepada keluarga Soekarno.
Beda dengan Revita, 29 tahun. Wanita asal Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar ini sudah pasti bukan Srikanti. Akan tetapi, dia sangat dekat dengan warga desa setempat yang membutuhkan pertolongannya. Seperti amat dekatnya Srikanti dengan keluarga proklamator itu.
Kisah Revita barangkali lebih dramatis lagi. Perjuangannya tidak ringan. Bagaimana tidak, tatkala tsunami menghancurkan desanya yang berada di bibir Selat Malaka, dia sedang hamil tua. Saat itu pula dia wajib menolong warga yang butuh pengobatan.
“Untuk kebutuhan obat saya suruh warga mengutip di toko saya yang sudah hancur berserak,” katanya ditanya Waspada, 98 hari pasca musibah tsunami.
Revita tidak sendiri. Sedikitnya ada enam wanita lain yang berbadan dua. Hanya menunggu waktu bersalin saja. Sementara di sana cuma ada dua bidan. Dia dan satu lagi Noviyanti, adik kandungnya sendiri.
Tanpa pamrih, dia bekerja seadanya. Tak ada klinik, konon lagi tempat praktek yang memadai. Apalagi saat itu, ratusan warga Lamreh yang selamat dari tsunami mengungsi ke atas gunung. Ada empat gunung yang dijadikan lokasi pengungsian, Bukit Soeharto, Gunung Malahayati, Tanoh Mirah dan Ujong Lancang.
Revita dan keluarga mengungsi ke Gunung Malahayati. Malahayati adalah nama seorang wanita janda (Inong Bale) yang menjadi panglima laut pertama di dunia pada masa Kerajaan Aceh Darussalam.
Nah, tak jauh dari kuburan admiral terkenal itu dia melahirkan akan keduanya. “Jauhnya ratusan meter dari kuburan Malahayati. Di sini kuburan beliau, saya ke naik ke atas lagi. Di situ saya melahirkan,” ceritanya sambil memperagakan pakai tangan.
Kejadiannya, kata dia, tepat 10 hari setelah musibah tsunami menghancurkan Nanggroe Aceh Darussalam. Saat itu, 4 Januari 2005. Sekira pukul 9.30 Wib malam, di bawah sebuah tenda, dia melahirkan adik perempuan buat Askal Fata 4,5 tahun. Anak kedua itu diberi nama Zakira Malahayati.
Setalah Zakira lahir, beberapa hari kemudian Revita harus menolong wanita lain melahirkan. Persalinan itu dia lakukan di bawah tenda yang semuanya berada di atas perbukitan. “Waktu mengeluarkan bayi pun harus pakai lampu teplok,” ujar Revita.
Berapa mendapat bayaran? Mengenai yang satu ini, dia terkadang tak kuasa mengutarakannya. Dia seringkali menolak bayaran dari warga yang tidak mampu. Apalagi ketika musibah itu menerjang, nyaris tak lagi warga ada yang berkantong tebal.
“Saya ikhlaskan saja,” ujarnya lirih.
Keikhlasan itu tak selamanya membuat dia senang. Kadang-kadang, Revita sempat putus asa juga. Apalagi jika mengingat dirinya cuma seorang bidan desa yang berstatus pegawai tidak tetap. “Saya sudah delapan tahun menjadi bidan,” ujar wanita kelahiraan 10 Agustus 1976 ini.
Sewindu memang bukan waktu singkat, terasa amat panjang. Sepanjang harapan Revita yang ingin menjadi pegawai negeri di Dinas Kesehatan setempat. “Sudah delapan kali saya ikut tes, nggak lulus juga,” tuturnya.
Terakhir dia amat sedih, ketika membaca daftar nama-nama mereka yang lulus PNS di sebuah koran akhir bulan lalu. “Sedih sekali, saya sudah lama mengimpikan itu, tapi nggak dapat juga,” ujarnya yang dengan seketika bermata sembab. Bulir bening pun menetes.
Mengingat itu, Revita uring-uringan. Bahkan sempat terlintas dibenaknya untuk berhenti menjadi bidan. Sampai-sampai sang suami, Saufin Har, 31, turun tangan. “Kalau tidak ingin membantu, sebaiknya dari dulu, bukan berhenti sekarang saat warga membutuhkan,” ungkap Ravita menirukan ucapan suaminya.
Ucapan itu kembali melecut semangat Revita. Akhirnya dia cuma bisa tabah dan hanya mengharap pahala dari Allah. Pun demikian, dia amat menyayangkan sikap instansi terkait yang bagaikan tak peduli dengan kesehatan masyarakat.
Selain tak ada bantuan yang diberikan, dokter di puskesmas setempat pun menghilang saat dibutuhkan warga, terutama beberapa hari pasca tsunami. Begitu pula dengan bidan tetap, malah tak menginap di desa tempat tugasnya.
Untuk mengobati warga, selama ini dia mendapat bantuan obat-obatan dari Unicef, termasuk tenda tempat dia merawat banyak pasien. “Semua warga yang butuh bantuan lari ke Kak Ita. Biarpun tengah malam dia mau membantu kami,” ujar Saifullah seorang warga Lamreh kepada Waspada di tempat terpisah.
Begitulah warga menilai sosok Revita. Ternyata balada bidan desa yang tinggal 35 km dari Banda Aceh itu belum berakhir. Sama seperti belum berakhirnya harapan dia untuk menjadi seorang pegawai, konon lagi menjadi seperti Srikanti.
Srikanti pernah menjadi "Bidan Teladan Nasional Tahun 1991". Wanita yang dilahirkan di Majenang Kulon, Kediri 7 Januari 1928 tersebut dikenal sebagai bidan kesayangan Bung Karno. Dia meninggal Selasa 4 Mei 2004 sekira pukul 9.30 Wib dalam usia 76 tahun.
Revita tidak berharap menjadi bidan teladan, apalagi bidan kepresidenan. Anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan Alm Muhammad Ibrahim dan Rohani ini cuma ingin menjadi bidan kesayangan warga Lamreh.
Lalu, wanita sederhana lulusan Bidan C Kesdam Bukit Barisan itu tak punya hasrat yang muluk-muluk dan tak berharap seperti Srikanti. Atau mungkin karena Revita sadar, sebab Srikanti hidup di era Soekarno, sedangkan dirinya di masa tsunami. Benarkah, Entahlah! [Munawardi Ismail]
Lantas siapa Srikanti dan apa hubungan keduanya?
Srikanti adalah bidan keluarga Bung Karno yang menolong kelahiran putra-putri presiden pertama RI itu. Separuh hidup Sri dipakai untuk mengabdikan diri kepada keluarga Soekarno.
Beda dengan Revita, 29 tahun. Wanita asal Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar ini sudah pasti bukan Srikanti. Akan tetapi, dia sangat dekat dengan warga desa setempat yang membutuhkan pertolongannya. Seperti amat dekatnya Srikanti dengan keluarga proklamator itu.
Kisah Revita barangkali lebih dramatis lagi. Perjuangannya tidak ringan. Bagaimana tidak, tatkala tsunami menghancurkan desanya yang berada di bibir Selat Malaka, dia sedang hamil tua. Saat itu pula dia wajib menolong warga yang butuh pengobatan.
“Untuk kebutuhan obat saya suruh warga mengutip di toko saya yang sudah hancur berserak,” katanya ditanya Waspada, 98 hari pasca musibah tsunami.
Revita tidak sendiri. Sedikitnya ada enam wanita lain yang berbadan dua. Hanya menunggu waktu bersalin saja. Sementara di sana cuma ada dua bidan. Dia dan satu lagi Noviyanti, adik kandungnya sendiri.
Tanpa pamrih, dia bekerja seadanya. Tak ada klinik, konon lagi tempat praktek yang memadai. Apalagi saat itu, ratusan warga Lamreh yang selamat dari tsunami mengungsi ke atas gunung. Ada empat gunung yang dijadikan lokasi pengungsian, Bukit Soeharto, Gunung Malahayati, Tanoh Mirah dan Ujong Lancang.
Revita dan keluarga mengungsi ke Gunung Malahayati. Malahayati adalah nama seorang wanita janda (Inong Bale) yang menjadi panglima laut pertama di dunia pada masa Kerajaan Aceh Darussalam.
Nah, tak jauh dari kuburan admiral terkenal itu dia melahirkan akan keduanya. “Jauhnya ratusan meter dari kuburan Malahayati. Di sini kuburan beliau, saya ke naik ke atas lagi. Di situ saya melahirkan,” ceritanya sambil memperagakan pakai tangan.
Kejadiannya, kata dia, tepat 10 hari setelah musibah tsunami menghancurkan Nanggroe Aceh Darussalam. Saat itu, 4 Januari 2005. Sekira pukul 9.30 Wib malam, di bawah sebuah tenda, dia melahirkan adik perempuan buat Askal Fata 4,5 tahun. Anak kedua itu diberi nama Zakira Malahayati.
Setalah Zakira lahir, beberapa hari kemudian Revita harus menolong wanita lain melahirkan. Persalinan itu dia lakukan di bawah tenda yang semuanya berada di atas perbukitan. “Waktu mengeluarkan bayi pun harus pakai lampu teplok,” ujar Revita.
Berapa mendapat bayaran? Mengenai yang satu ini, dia terkadang tak kuasa mengutarakannya. Dia seringkali menolak bayaran dari warga yang tidak mampu. Apalagi ketika musibah itu menerjang, nyaris tak lagi warga ada yang berkantong tebal.
“Saya ikhlaskan saja,” ujarnya lirih.
Keikhlasan itu tak selamanya membuat dia senang. Kadang-kadang, Revita sempat putus asa juga. Apalagi jika mengingat dirinya cuma seorang bidan desa yang berstatus pegawai tidak tetap. “Saya sudah delapan tahun menjadi bidan,” ujar wanita kelahiraan 10 Agustus 1976 ini.
Sewindu memang bukan waktu singkat, terasa amat panjang. Sepanjang harapan Revita yang ingin menjadi pegawai negeri di Dinas Kesehatan setempat. “Sudah delapan kali saya ikut tes, nggak lulus juga,” tuturnya.
Terakhir dia amat sedih, ketika membaca daftar nama-nama mereka yang lulus PNS di sebuah koran akhir bulan lalu. “Sedih sekali, saya sudah lama mengimpikan itu, tapi nggak dapat juga,” ujarnya yang dengan seketika bermata sembab. Bulir bening pun menetes.
Mengingat itu, Revita uring-uringan. Bahkan sempat terlintas dibenaknya untuk berhenti menjadi bidan. Sampai-sampai sang suami, Saufin Har, 31, turun tangan. “Kalau tidak ingin membantu, sebaiknya dari dulu, bukan berhenti sekarang saat warga membutuhkan,” ungkap Ravita menirukan ucapan suaminya.
Ucapan itu kembali melecut semangat Revita. Akhirnya dia cuma bisa tabah dan hanya mengharap pahala dari Allah. Pun demikian, dia amat menyayangkan sikap instansi terkait yang bagaikan tak peduli dengan kesehatan masyarakat.
Selain tak ada bantuan yang diberikan, dokter di puskesmas setempat pun menghilang saat dibutuhkan warga, terutama beberapa hari pasca tsunami. Begitu pula dengan bidan tetap, malah tak menginap di desa tempat tugasnya.
Untuk mengobati warga, selama ini dia mendapat bantuan obat-obatan dari Unicef, termasuk tenda tempat dia merawat banyak pasien. “Semua warga yang butuh bantuan lari ke Kak Ita. Biarpun tengah malam dia mau membantu kami,” ujar Saifullah seorang warga Lamreh kepada Waspada di tempat terpisah.
Begitulah warga menilai sosok Revita. Ternyata balada bidan desa yang tinggal 35 km dari Banda Aceh itu belum berakhir. Sama seperti belum berakhirnya harapan dia untuk menjadi seorang pegawai, konon lagi menjadi seperti Srikanti.
Srikanti pernah menjadi "Bidan Teladan Nasional Tahun 1991". Wanita yang dilahirkan di Majenang Kulon, Kediri 7 Januari 1928 tersebut dikenal sebagai bidan kesayangan Bung Karno. Dia meninggal Selasa 4 Mei 2004 sekira pukul 9.30 Wib dalam usia 76 tahun.
Revita tidak berharap menjadi bidan teladan, apalagi bidan kepresidenan. Anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan Alm Muhammad Ibrahim dan Rohani ini cuma ingin menjadi bidan kesayangan warga Lamreh.
Lalu, wanita sederhana lulusan Bidan C Kesdam Bukit Barisan itu tak punya hasrat yang muluk-muluk dan tak berharap seperti Srikanti. Atau mungkin karena Revita sadar, sebab Srikanti hidup di era Soekarno, sedangkan dirinya di masa tsunami. Benarkah, Entahlah! [Munawardi Ismail]