Penyesalan Di Atu Lintang
feature GoresanFoto Istimewa |
Rasa penyesalan terhadap kabar duka dari dataran tinggi Gayo itu datang dari Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aceh Tgk. H. Ghufran Zainal Abidin, MA. Dia mengaku sangat prihatin dan menyesalkan atas terjadinya insiden pembakaran Sabtu pagi buta. "Insiden itu, seakan menyeret Aceh ke dalam konflik kembali," lirih dia.
Menurutnya, insiden tersebut tidak perlu terjadi bila semua pihak dapat menyelesaikan permasalahan dengan hati yang dingin dan jernih. Insiden ini merupakan salah satu kejadian terakhir yang dapat menggganggu proses perdamaian yang saat ini sedang dinikmati oleh masyarakat Aceh.
Makanya, dia mengharapkan semua pihak untuk selalu menjaga kedamaian dan jangan memperkeruh suasana damai di Aceh. Untuk itu Ghufran meminta kepada Pemerintah Aceh dan aparat penegak hukum untuk mengusut kasus ini sampai tuntas, dan menyeret pelaku ke pengadilan dan menuntaskan kasus ini secepatnya. "Semua pelaku harus dituntut seadil-adilnya tanpa padang bulu," tukas Ghufran.
Sama halnya seperti harapan Gubernur Irwandi Yusuf dan Kapolda Aceh Irjen Pol Drs Rismawan. Politisi PKS ini juga mengimbau seluruh elemen masyarakat Aceh, supaya tidak terpancing untuk melakukan aksi balas dendam.
Dia berharap juga agar tidak mudah terpancing atau terprovokasi dengan isu-isu yang dikembangkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggunggjawab. Kepada semua kelompok, baik kelompok sipil, sosial, dan media informasi untuk tidak memberitakan isu-isu miring yang dapat membuat rasa ketakutan yang berlebihan terhadap masyarakat setempat.
Kepada pemerintah khususnya, Ghufran meminta untuk menjembatani pertikaian yang terjadi di tingkat bawah. "Karena kalau ini tidak segera diselesaikan maka bukan tidak mungkin konflik ini akan semakin melebar hingga pada aksi saling balas dendam," katanya.
Bagi Hendra Budian, Ketua Badan Pengurus Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), kasus Alu Lintang itu, dapat mengulang sejarah hitam perdamaian Aceh. "Ini sangat 'mengerikan' ketika semua orang di Aceh sedang mendambakan perdamaian yang abadi," tukas dia.
Dia mengingatkan, masih segar dalam ingatan, ketika tragedi pembakaran kantor JSC (joint security committee) dan pemukulan terhadap personel JSC di Aceh Tengah pada tahun 2003 yang lalu telah menjadi faktor pemicu gagalnya proses perdamaian saat itu (CoHA).
Oleh karena itulah, AJMI meminta kepada elite politik yang ada di wilayah Aceh Tengah untuk dapat berfikir jernih dan bijaksana dengan cara menenangkan anggotanya untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum serta mencederai semangat MoU Helsinki yang telah ditandatangani oleh perwakilan Pemerintah RI dan GAM.
Tak jauh beda dengan Ghufran, Hendra juga berharap dan meminta dengan tegas kepada pihak Kepolisian untuk melakukan pengusutan hukum secara tuntas dengan mengedepankan asas kebenaran dan keadilan. "Polisi merupakan institusi negara yang harus bersikap netral atau a politis sehingga mampu menyelesaikan persoalan secara objektif," katanya.
Seakan tak mau ketinggalan, juru bicara KPA Ibrahim Syamsuddin pun mengeluhkan kegundahan hatinya. Dia mengecam aksi anarkis itu dan juga menuntut polisi menyelesaikan kasus tersebut hingga tuntas. KPA adalah organisasi sipil tempat menampung mantan kombatan.
"Kerusuhan ini patut diduga sebagai sekenario merusak perdamaian Aceh. Sepertinya ada aktor intelektual di belakangnya. Dulu saat masa jeda kemanusian, gagalnya kesepakatan para pihak juga di mulai di Aceh Tengah dan ada indikasi ini merupakan pembangkit konflik kembali di Aceh," paparnya.
Apapun itu, kita berharap agar situasinya kembali terkendali dan perdamaian abdi itu bersemi seperti yang diharapkan Kapolda Aceh, Irjen Pol Rismawan; "Kita komit bahwa perdamaian Aceh ini berlangsung abadi." Semoga... [a]
Foto: panoramio