Jejak-Jejak Kompeni Disapu Tsunami

Jejak-Jejak Kompeni Disapu Tsunami

Munawardi Ismail

TAK banyak bangunan monumental peninggalan kolonial di Banda Aceh. Apalagi bangunan berarsitektur Eropa yang sarat historinya. Dalam teritorial Aceh, bangunan bikinan Belanda, boleh dibilang dapat dihitung dengan jari.

Berbeda dengan wilayah lain di Nusantara yang banyak gedung-gedung “berseni” peninggalan kolonial. Sementara di Tanah Rencong, Belanda nyaris tak punya kesempatan menancapkan kukunya. Makanya tak heran, jika bangunan yang berserak pun adalah tangsi-tangsi militer.

Karena itu, bicara bangunan tua peninggalan kafe Belanda di Kutaraja alias Banda Aceh tak ubah bagai mengungkit lagi sejarah kelam kegagalan Belanda di Serambi Makkah. Pasalnya tak cukup waktu buat menir-menir itu untuk “membangun” daerah jajahannya (baca: Aceh) di tengah gempuran pejuang Aceh.

Pejuang-pejuang Aceh tak memberi angin apalagi membiarkan Belanda bernafas lega sejak memulai agresinya pada 26 Maret 1873. Sehigga tidak heran jika kompeni Belanda dibawah komando Mayor Jenderal J.H.R Kohler serta 3.000 serdadunya terkapar merenggang nyawa.

Serangan ini dapat dipatahkan patriot-patriot Aceh yang berujung pada tewasnya Kohler pada 10 April 1873. Bahkan pihak Belanda sendiri mencatat Perang Aceh sebagai perang paling dahsyat. Selain menguras tenaga dan nyawa, juga paling banyak menguras gulden mereka.

Perang kedua, dibawah Jenderal Van Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Untuk memperkuat barisan pertahanannya Belanda mendirikan sejumlah gedung permanen tanda mereka “menguasai” Aceh.

Pun demikian, yang paling dominan dibikin kompeni itu tak lain tangsi-tangsi militer. Ini cukup beralasan mengingat gempuran prajurit Aceh tak pernah surut, sehingga mau tidak mau baik van Swieten hingga van Dallen “wajib” menjaga diri dari tusukan rencong.

Selain tangsi militer, mereka juga membangun gedung-gedung yang dapat menopang usaha-usaha mereka dalam menguasai Aceh. Seperti Gedung Sentral Telepon Militer (kini dipakai untuk Kantor PSSI Aceh), Kantor Atjeh Tram (digunakan untuk Universitas Iskandar Muda), Atjeh Internaat (dipakai untuk kantor Bazis), Gedung Pergadaian, Bioskop Garuda.

Kebanyakan gedung-gedung purba itu tidak banyak berubah. Hanya saja minimnya perawatan, sedangkan fungsinya ada yang dipakai untuk perkantoran namun tidak sedikit yang jadi pajangan seperti Bangunan Instalasi dan Menara Air, Tugu Nege Dach Tenis dan Mercusuar.

Setelah gempa dan tsunami menerjang Aceh 26 Desember lalu, ada sejumlah bangunan yang ikut runtuh dan hancur akibat bencana. Misalnya Kantor Der Nader Land Sche Harrdy Matsschappy yang dipakai untuk kantor PDIA (Pusar Dokumentasi dan Informasi Aceh), Gedung MULO yang bangun tahun 1922 yang dipakai untuk SMP I Banda Aceh, Gedung SMP 4 Peunayong dan Rumah Potong Hewan di Keudah.

Bangunan kuno itu cuma tinggal mimpi setelah dirusak tsunami. Di bekas pertapakannya didirikan bangunan lain untuk maksud senada. Bahkan sebagian pertokoan Belanda di jalan Ahmad Yani Peunayong juga roboh ketika gempa.

Pasca-bencana, bangunan “made in” Belanda yang tersisa dan selamat antara lain Gedung SMU 1 Banda Aceh. Gedung Loge be Boow itu dikenal dengan sebutan Gedung Setan. Pada masa kompeni gedung Teo Sofi ini berfungsi sebagai tempat pertemuan para agamawan Belanda.

Setelah itu bangunan publik yang sempat dibangun Belanda dan selamat dari bencana, De Atjeh Bruk Keri (bekas gedung percetakan) di jalan Diponegoro, Gedung Sentral Telepon Militer, Atjeh Internaat (dipakai untuk kantor Bazis), Gedung Pergadaian dan Bisokop Garuda.

Ada lagi, Kerkoff Poucut Meurah dan Gereja Hati Kudus, Meuligoe (kediaman resmi gubernur NAD), Kompleks Baperis. Dua nama gedung yang disebutkan terakhir jauh dari jangkauan gelombang maut tsunami. Hanya Kerkoff dan beberapa gedung yang sudah disebut tadi juga ikut dibalut lumpur tsunami, namun tak merusak fisiknya.

Jika Kerkoff menjadi bukti sejarah kelam serdadu Belanda di Tanah Aceh, maka De Javasche Bank boleh dibilang sebaliknya. Gedung berarsitektur Eropa itu menjadi satu-satunya bangunan fenomenal yang menjadi bekas jejak Belanda di Aceh yang hingga kini tetap lestari.

Fungsi De Javasche Bank yang terletak di jalan Cut Meutia atau di samping Kantor Polda NAD itu tidak berubah. Kini dijadikan Kantor Bank Indonesia Banda Aceh. “Dulu fungsinya juga tidak jauh beda dengan sekarang. Semacam bank sentralnya Belanda ketika itu,” ujar pemerhati sejarah, Ridwad Aswad, kepada Waspada baru-baru ini.

Menurut dia, peletakan batu pertama Masjid Raya Baiturrahman juga dilakukan pada masa Belanda. Dia menyebutkan sekira Oktober 1979 dan diresmikan pada Desember 1881. Ketika itu Gubenur Belanda Karen van der Heijden.

Ridwan Aswad yang pegawai PDIA itu mengakui, bicara bangunan tua “bersejarah” di Aceh tak ubahnya membuka cakrawala masa lalu Belanda yang bernasib kelabu. Bagaimana tidak, sejarah mereka di Aceh tidak semulus yang mereka idamkan.

Makanya menjadi tidak heran, jika di Kutaraja banyak dibentengi Rumah Opsir militer Belanda. Setidaknya ada tiga kompleks yang dibangun buat perwira-perwira Marsose. Bukan cuma rumah, dalam kompleks ini mereka juga mendirikan Leger Museum (Museum Tentara).

Konon museum ini mengoleksi buku-buku taktik perang yang menjadi bacaan wajib tentara Marsose. Rumah peninggalan Belanda itu hingga kini masih lestari, kendati sudah ada yang keropos di sana-sini.

Akan tetapi, kini fungsinya tidak jauh berbeda ketika semula dibuat Belanda. Rumah Opsir Militer I- III yang terletak di Kuta Alam, Neusu dan Peunayong itu kini sebagian ditempati petinggi Kodam Iskandar Muda dan ada juga yang dijadikan kantor.

Sayangnya, kompleks rumah opsir militer Belanda dan kantornya yang dulunya juga ada dekat Rex Peunayong, kini hilang bak ditelan bumi. Bahkan di atas tanah-tanah yang sudah ruislag itu berdiri kokoh pertokoan di jalan Sri Ratu Safiatuddin.

Namun nasib sederetan pertokoan dibekas tanah itu juga tak jauh beda dengan yang lain. Hancur digoyang gempa dan lebur dirusak tsunami. Lalu apakah nasib bangunan sisa kolonial yang tersisa akan tetap lestari. Kita lihat nanti.