Menggores Damai Di Kanvas Aceh...

Menggores Damai Di Kanvas Aceh...

Masjid Raya Baiturrahman
Ratusan bocah-bocah belasan tahun di Banda Aceh dengan semangat mengikuti lomba melukis. Kali ini bukan melukis tentang tsunami seperti yang marak beberapa bulan silam. Tapi sekarang tentang perdamaian. Menarik memang, ketika damai itu digores anak-anak.

Dulunya, jika anak-anak diajak melukis yang digambar pasti soal senjata, granat dan rumah-rumah yang terbakar. Lalu, ketika musibah dahsyat tsunami menghayak Aceh, giliran gelombang dan orang-orang berlarian ke segala arah yang digambarkan.

Semua itu sudah berlalu, kini mengisi masa damai. Hasil goresan pun berbeda pula. Tidak seperti biasanya. Apik dan menarik. Semua kegiatan tersebut dirangkum guna menyambut 2 tahun perdamaian Aceh pada 15 Agustus nanti. "Bergandeng Tangan, Merenda Damai" itulah tema acara itu.

Tentu saja, hajatan tersebut digelar Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA). Mulai dari Duek Pakat Ulama dan Tokoh Masyarakat Aceh "Pikee Keu Damee" hingga Lomba Lukis dan Menulis Surat Anak untuk Perdamaian Aceh.

Faurizal Moechtar, ST, staf BRA Pusat kepada Waspada, kemarin mengatakan pihaknya juga akan menggelar Tour Perdamaian Keliling Aceh, pada 15 Agustus nanti. Katanya, kegiatan tersebut akan 15 becak yang mulai bergerak dari Banda Aceh.

Untuk tour perdamaian tersebut, para peserta akan mengusung atribut-atribut serta buletin perdamaian ntuk dibagi-bagikan kepada masyarakat. "Kita targetkan 10 hari keliling Aceh itu akan selesai," ujarnya.

Bukan cuma itu, dalam tour tersebut selain abang becak, juga akan ikut puluhan mahasiswa yang akan diawal foreder serta satu unit mobil ambulan. "Setiap masuk kabupaten kota mereka akan disambut dan dilepaskan oleh BRA setempat," sebut Faurizal yang juga Koordinator Bidang Ekonomi BRA.


Menurut mantan aktivis ini, ketika berbicara damai mendengar suara hati anak-anak adalah langkah tidak salah dan bijaksana. Toh, anak-anak paling punya hak menikmati perdamaian ini. Dan itulah yang dilakukan lembaga reintegrasi ini dalam memperingati dua tahun perjanjian damai yang diteken pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

"Saya terharu melihat goresan anak-anak. Apresiasi mereka tentang perdamaian sangat luar biasa," kata Faurizal mengomentari aksi 210 anak-anak di Banda Aceh yang mengikuti lomba lukis dimaksud. Acara yang digelar di kompleks Meuligoe Gubernur Aceh, pada Senin (6/8) petang itu, berlangsung sukses.

Begitu pula dengan Tijana Syarafana, salah satu peserta lomba lukis. Siswa SD Percontohan Lamlagang mengaku senang dengan kondisi Aceh yang sudah damai. "Kemana-mana kita nggak takut lagi, nggak ada suara bom," celotehnya.

Ketua Harian BRA, M Nur Djuli yang menyempatkan diri menengok apresiasi anak-anak di atas kertas menyambut positif kegiatan tersebut. Bukan hanya sebatas itu, dia juga mengaku kagum dan tak menyangka, ketika melihat lukisan karya anak-anak. "Bagus-bagus dan menarik," komentarnya.

Goresan anak-anak yang dilihat Nur Djuli bervariasi, ada yang menggambar orang bersalaman, pos TNI dan GAM, bendera merah putih dan bendera GAM. "Isinya tidak ada lagi unsur-unsur kekerasan dalam pikiran anak-anak serang, semuanya sudah damai. Positif sekali," sebutnya.

Kendati menarik, kita harus menunggu sepekan lagi untuk menunggu siapa pemenangnya. Tapi yang penting damai sudah tersemai.

Dimuat pada: 07/08/07
Bulan Bintang Di Langit Aceh

Bulan Bintang Di Langit Aceh

Alam Peudeng | Foto Istimewa
SABRI memulai pagi dengan secangkir kopi. Seperti biasa dia ditemani sepotong surat kabar terbitan lokal. Pada hari itu, matanya tertuju pada dua buah gambar. Satu berwarna merah, di tengahnya Bulan Bintang yang dibentengi strip hitam putih.

Di sampingnya sebuah gambar lain berupa seekor singa dan burak menggamit rencong. Gambar ini juga berisi gambar lain berupa gliwang, perisai, rangkaian bunga, daun padi, jangkar, huruf ta tulisan Arab, kemudi, dan bulan bintang. Kedua gambar ini cukup akrab di mata Sabri.

Sambil mencampakkan koran dia bilang, "nyoe cukup pas, tapi ek han diproteh le awak laen, ini cukup sesuai, namun apa tidak akan muncul protes dari pihak lain," gumamnya saat menyeruput secangkir kopi plus selai Samahani di sebuah warung kopi di perbatasan Kota Banda Aceh dan Aceh Besar belum lama ini.

Gumamnya Sabri terkait dengan Rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang dipublis untuk masyarakat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). "Kalau saya setuju saja apalagi masih tidak melanggar hukum Indonesia. Asalkan Aceh tetap aman dan damai habis perkara," tukas dia lagi.

Beda dengan Sabri. Mukim Ulee Kareng, Teuku Dahlan malah meminta agar lambang Aceh harus dibuat dengan memperlihatkan ciri khas dan cita-cita Aceh. "Agar saat orang Aceh melihat lambang itu akan teringat kembali terhadap cita-cita Aceh," ujar dia.

Dahlan mengatakan itu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum atau RDPU Rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh di Gedung AAC Dayan Dawood, Darusalam Banda Aceh, pada Senin (19/11) lalu.

Hajatan itu digelar Komisi A DPR Aceh yang membidangi pemerintahan dan hukum. RDPU digelar dengan mengundang masyarakat umum guna memberi masukan tentang isi qanun dimaksud. Yang diundang semua pimpinan partai nasional dan lokal.

Lalu, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pemerintahan, hukum dan politik, tokoh masyarakat Aceh, sejarawan, budayawan, serta Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa perguruan tinggi se-Aceh.

Tak cukup sehari, kegiatan serupa juga digelar esoknya, Selasa (20/11) di gedung serbaguna DPRA. Karena diminta masukan, masa masyarakat pun tak segan-segan membedah raqan tersebut.

"Bendera Aceh itu perlu ditambahkan warna kuning agar sesuai dengan lambang Pancacita Aceh dan sesuai dengan cita-cita Aceh," tambah Dahlan lagi di anggota Komisi A Adnan Beuransyah, Nurzahri, Tengku Harun, Abdullah Saleh, Nur Hakim dan lainnya.

Menyangkut itu, Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Banda Aceh, Firdaus malah meminta agar dimasukkan warna hijau sebagai warna latar belakang bendera. "Warna merah ditukar dengan warna hijau, karena itu warna bendera masa kerajaan dulu," urai dia.

Peserta RDPU lainnya, Mukhtar Syafari, mengatakan mengenai bendera dan lambang Aceh perlu dipahami dulu substansi dari MoU Helsinki sebelum menyatakan setuju atau tidak. "Jika kita pahami pasti tahu hubungan Qanun Wali Nanggroe, bendera dan lambang dengan kesejahteraan Aceh pasti kita dukung. Bendera Aceh adalah pemersatu Aceh," sebut dia.

Peserta RDPU tidak melulu memberi sokongan. Seperti dikatakan Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Riko Ari Pratama. "Rancangan qanun lambang dan bendera Aceh itu terlalu berlebihan untuk disahkan," katanya.

Dia menangkap kesan, dari banyak qanun yang sudah disahkan lembaga wakil rakyat, kenapa Qanun Lambang dan Bendera Aceh seperti untuk kepentingan satu kelompok saja. "Semua elemen masyarakat berhak memberikan pendapat mengenai qanun ini," kata Riko.

Mahasiswa Unsyiah ini berharap rancangan qanun mengenai bendera dan lambang Aceh direncanakan dengan matang. "Kalau rancangan itu memang sudah diatur dalam UU Pemerintahan Aceh, mudah-mudahan bisa menjadi yang terbaik buat Aceh ke depannya," tukas dia.

Pendapat lain diungkapkan Ketua Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh atau KMPA, Hendra Fauzi. Katanya, lambang dan bendera Aceh sebagaimana tercantum dalam rancangan qanun tidak perlu diperdebatkan lagi.

Rancangan qanun yang diusulkan eksekutif, bendera Aceh yang akan dipakai sebagai bendera daerah adalah bendera Bulan Bintang strip hitam putih dengan latar belakang berwarna merah. Memang gambar ini terlihat sama seperti atribun Gerakan Aceh Merdeka atau GAM.

Namun, dari berbagai literatur menyebutkan Aceh punya banyak bendera pada masa kerajaan dulu. Dan ini bisa kita temukan dalam hadih maja Aceh yang berbunyi: "Di Aceh na Alam Peudeung//Cap sikureung bak jaroe raja//dari Aceh sampoe u Pahang// Hana soe teuntang Iskandar Muda// Iskandar Tsani duk keu geulanto// Lako Putro Tajul Mulia."

Bendera yang dimaksud adalah bendera Alam Peudeung atau pada masa kejayaannya kerap disebut Alam Zulfikar. Bendera ini bermotif pedang tunggal yang melintang di tambah bulan bintang yang dibuat oleh Ali Mughayat Syah, Sultan Aceh pertama yang memimpin Aceh dari tahun 916-936 H atau sekitar tahun 1511-1530 M.

Disebutkan juga, Alam Peudeung memiliki dua warna, merah dan hijau. Alam Peudeung hijau dipakai saat kondisi kerajaan aman. Sebaliknya, bendera yang berwarna merah akan dikibarkan ke udara jika kondisi daerah dalam kacau balau atau darurat berperang.

"Bila meninjau dari sejarah kejayaan Aceh yang lebih layak dijadikan Bendera Aceh adalah bendera Alam Peudeung," kata Caesar Maswardi, seorang mahasiswa Unsyiah dalam diskusi di dunia maya.

Kata dia, Alam Peudeung adalah bendera yang telah dipakai sejak awal Kerajaan Aceh diperintah oleh sultan pertama Ali Mughayat Syah sampai dengan Sultan Muhammad Daud Syah terakhir. Kita tunggu saja, siapa yang berkibar di langit Aceh.
  Magrib Mengaji, Kearifan Yang Terabai

Magrib Mengaji, Kearifan Yang Terabai

Ilustrasi
ACEH memasuki babak baru dalam khasanah menjaga kearifan lokal. Mengaji magrib itu sudah turun temurun berlangsung di tanoh Aceh. Hanya saja dalam tiga dekade terakhir, kebiasaan itu luntur dalam kehidupan warga Serambi Makkah. Kenapa?

Jika dulu, mengaji magrib atas inisiatif keluarga, kini diambil alih pemerintah. Maka umara pun melalui Menteri Agama Republik Indonesia Suryadharma Ali, Minggu (24/7) malam, di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, meresmikan Gerakan Masyarakat Magrib Mengaji.

Pencanangan Gemmar Mengaji, kata Suryadharma bertujuan untuk menghidupkan kembali kebiasaan mengaji selepas magrib. “Gerakan ini untuk menghindari generasi muda agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang menyesatkan,” ujar dia.

Gerakan itu mengacu pada kondisi generasi muda yang kian tak terurus. "Generasi sekarang lumayan banyak yang terjerumus dalam perbuatan tidak terpuji misalnya melawan orang tua dan gurunya di sekolah," kata Suryadharma.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengakui, kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun itu makin merosot. "Akibatnya, kita harus bayar mahal dengan munculnya generasi muda Aceh, baik asli Aceh maupun yang datang dari luar, buta huruf al-Quran,” katanya.

Bicara Magrib mengaji, Tgk H Faisal Aly, seorang ulama dayah di Aceh Besar menilai, langkah pemerintah itu diharapkan bisa mengoptimalkan kembali kebiasaan masyarakat Aceh, yang mulai luntur.

"Bagi Aceh bukan pencananganan, kebiasaan magrib mengaji itu sudah lama hidup di tengah masyarakat. Memang ada beberapa kampung tak optimal lagi," sebut pimpinan dayah ini.

Kata dia, dengan semangat pemerintah itu, dia mengharapkan bisa optimal kembali. "Tapi yang paling penting, bagaimana Pemerintah Aceh mendorong aparat desa untuk membuat langkah strategis," ujar H Faisal Aly.

Menurut Ketua PW NU Aceh ini, langkah jitu itu tak tak cukup dengan pencanangan, jika tak dibuat hal-hal yang mendukung. "Pemerintah Aceh perlu membuat Peraturan Gubernur soal pengaturan waktu kegiatan hiburan, termasuk tivi tidak boleh hidup dari jam enam 6 hingga 8 malam," jelas dia.

Faisal Aly tak menyalahkan konflik, akibat lunturnya kearifan lokal itu. Tapi lebih pada kemauan dan kepedulian orang tua dan anak Aceh yang menipis rasa tanggung jawabnya. "Konflik tak mengganggu balai-balai pengajian, ini lebih pada keluarga yang abai," papar dia.

Tak salah konflik


Pegiat kebudayaan, Sulaiman Tripa menilai kemerosotan itu tidak bisa digolongkan sebab konflik. "Di sini peran orang tua, yang mungkin abai terhadap kehidupan anak, sehingga banyak anak justru tidak mampu baca al-Qur’an," jelas dia.

Lalu, katanya, untuk kehidupan kolektif, mungkin konflik bisa jadi salah satu sebab, dalam hal, khususnya tidak bisa lagi anak-anak mengaji waktu malam karena kondisi waktu itu demikian.

Menurut dia, hal ini seharusnya bisa diantisipasi orangtua secara personal. "Dulu orang tidak malu bila tidak mampu, mereka akan menyerahkan anaknya kepada teungku-teungku untuk dibina secara santun," tuturnya.

Sedangkan orang yang mampu, akan mengajarkan sendiri di rumah. "Sekarang kondisi itu berbeda, karena banyak orang tua tidak peduli dengan ilmu agama anaknya," ungkap Pengajar Hukum dan Masyarakat pada FH Unsyiah ini.

Menyikapi Gemmar Mengaji, Sulaiman melihat gerakan baca al-Qur’an sehabis magrib, penting bagi upaya membangkitkan kembali meunasah sebagai cultural center. "Ini akan menjadi fondasi untuk membangun sistem pendidikan yang menyatu dengan Islam," ujarnya.

Lebih jauh, dosen yang aktif menulis ini menguraikan, bila membuka sejarah Aceh, maka ada hubungan yang erat antara kejayaan Islam dengan upaya-upaya yang dilakukan. "Dulu ada kesadaran menguatkan fondasi terlebih dahulu, baru kemudian memetik kejayaannya," tukasnya.

Dari kacamata Sulaiman, apa yang dilakukan generasi terdahulu, hingga empat abad lebih kejayaannya, patut dihidupkan kembali. "Konon, Belanda sekalipun yang sudah pernah berhasil menduduki Aceh, tapi tidak bisa mengoyahkan kejayaan Islam tersebut," urainya.

Mengulik Magrib mengaji, Sulaiman melihat sebagai sarana pendidikan agama bagi anak-anak. Kata dia, pendidikan tersebut, kemudian dipisahkan menurut fase-fase tertentu. Misalnya anak-anak yang belum siap merantau, ia akan belajar mengaji di meunasah.

Lalu, anak yang lebih kecil lagi, dididik di rumah. Sedangkan yang menanjak remaja, akan memilih meudagang (mencari ilmu di dayah). "Pada intinya orang tua perlu berperan aktif, jangan mengabaikan masalah itu," katanya.

Hal senada diutarakan, Muhammad Yakub Yahya, Direktur TPQ Plus Baiturrahman Banda Aceh. "Fungsi orang tua yang paling penting. Orang tua juga harus menjadi teladan bagi anaknya. Bagaimana anak mau mengaji, kalau orang tuanya masih di depan tivi," urainya.

Yakob menyambut baik Program Gemmar Mengaji tapi baginya yang tak kalah penting juga adalah gerakan moral mematikan televisi saat dan usai magrib. "Ini memang program nasional, tapi di Aceh sudah turun temurun, hanya saja banyak yang mengabaikan," katanya.

Lalu, sarannya, mendidik anak itu harus dimulai sejak dia dalam kandungan. Katanya, selama hamil, sebagian calon ayah dan ibu, sering mendatangi mini market, pusat perbelanjaan, atau café dan lainnya.

Disebutnya, selama mengandung anak, sebagian calon ibu dan ayah, cuma ahli mengotak-atik ponsel dan remot televisi. "Bukan semestinya yang banyak melangkah dan menetap dalam masjid, semestinya harus rajin membuka buku atau kitab yang dianjurkan agama suci," papar Yakob. [a]

Foto: bimasislam.kemenag.go.id

 Yang Bertanding Membela Perempuan

Yang Bertanding Membela Perempuan

Logo Partai Politik Nasional dan Lokal
RAIHAN DIANI terkenal jago orasi. Saat demontrasi semangatnya berapi-api. Suaranya lantang. Diani mantan aktivis mahasiswa. Setelah lama turun ke jalan, ia kini berangan-angan bisa berorasi di parlemen. Jalur yang ditempuh: bertanding dalam pemilu 9 April ini. Namanya sudah terdaftar sebagai calon legislator perempuan di DPR Aceh yang dimajukan oleh Partai Rakyat Aceh (PRA).

Partai lokal itu dibentuk berdasarkan amanat kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Selain PRA, ada lima lagi parlok yang bersaing dalam Pemilu 2009 ini, antara lain Partai Daulat Aceh, Partai Suara Independen Rakyat Aceh, Partai Aceh, dan Partai Bersatu Aceh.

Selain harus bertanding dengan sesama parlok, di Aceh mereka juga harus bersaing dengan 37 Partai Nasional, minus Partai Persatuan Indonesia Baru. Karena, PPIB tidak memiliki pengurus di tanah rencong.

Tekad Diani merebut satu kursi di parlemen sudah bulat. Bekalnya pun cukup kuat. Ia juga sudah kenyang asam garam dalam membela kaum perempuan. Tak heran jika dia paham betul kendala yang bakal menjerat langkah. Jika kelak angannya membentur tembok, ia mengaku sudah siap.

"Siapa pun pemenangnya, perjuangan mempertahankan hak-hak perempuan harus ditegakkan," kata dia kepada saya saat menemuinya seusai diskusi publik "Memilih Calon Legislatif Perempuan untuk Perubahan", Selasa (31/3) di Banda Aceh.

Diskusi yang digelar Beujroh-- sebuah LSM Perempuan di Banda Aceh- itu juga menghadirkan enam caleg perempuan dari partai lokal. Mereka adalah Raihan Diani (PRA), Liza Fitri (Partai SIRA), Unsuri Imani (Partai Aceh), Ir Lismaini (PBA), Hj Yusniar (PDA), dan Siti Maisarah (PAAS).

Bicara peluang di parlemen, gadis berusia 27 tahun ini melihat peluang kaum hawa meraup kursi legislatif sangat terbuka. Apalagi setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak. "Karena itu, caleg perempuan harus gencar mempublikasikan diri dan misi yang diusung untuk mendulang kepercayaan rakyat," sebut Diani.

Guna menerobos itu, ia menyarankan agar caleg perempuan menggali ide brilian untuk melekatkan pelbagai program pendekatan kepada pemilih perempuan. Pasalnya, jumlah pemilih perempuan jauh lebih besar dibandingkan laki-laki. Ini bisa dilihat dari data pemilih yang dilansir Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Dari 3.003.222 pemilih tetap, jumlah pemilih laki-laki sebanyak 1.491.321 dan pemilih perempuan 1.511.901.

Belakangan KPU Pusat membuat revisi data ini lewat surat keputusan KPU Nomor 164/Kpts/KPU/2009 tentang Penetapan Badan Pelaksana dan Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilihan Umum tahun 2009 bagi anggota DPRD Provinsi. Akibat keputusan tersebut, jumlah pemilih di Aceh bertambah sebanyak 6.743 orang. Dan secara keseluruhan berjumlah 3.009.965 orang.

Sayangnya, data tambahan ini tak merinci secara detail suara laki-laki dan perempuan. Pun, demikian, jika yang menjadi acuan data sebelum, jumlah pemilih perempuan tetap dominan di Aceh. Mengingat itu, Raihan dan para caleg lainnya tak segan-segan mengajak kaumnya untuk mencontreng mencontreng caleg perempuan pada pemilu 9 April ini.

“Persoalan diskriminasi kaum perempuan oleh laki-laki memang bukan perkara yang baru. (Karena itu) Marilah kita mencontreng caleg perempuan untuk menyuarakan perempuan. Suara kaum perempuan tak bisa diwakilkan,” ujar Diani.

Sampai kini, ia menilai, kaum perempuan masih saja dimarjinalkan dalam berbagai hal. "Untuk itu, perempuan harus bangkit dengan memilih kaumnya sendiri sebagai wakilnya dalam Pemilu yang tinggal beberapa hari lagi ini," tambahnya.

Posisi sebagai kaum marjinal itu seakan menjadi cemeti bagi kaum perempuan dalam pesta demokrasi nanti. Meski cukup banyak perempuan yang unjuk diri menjadi caleg pada pemilu kali ini, masyarakat mengharapkan agar jumlah itu bukan sekadar memenuhi kuota 30 persen.

"Di sinilah peran perempuan Aceh dalam menatap memperjuangkan aspirasinya. Tentu akan penuh tantangannya," timpal Marini, ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Aceh kepada saya.

Katanya, perempuan harus memenangkan pertarungan, menandingi pesaing laki-laki dan bekompetisi di parlemen, "bukan untuk membicarakan suasana rumah tangga, suami atau tingkah laku anak," tukas mantan Koordinator Provinsi Aceh, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang juga caleg untuk DPR-RI itu.

Dia mengharapkan agar peran perempuan dalam merumuskan kebijakan mampu diimplementasikan di lapangan. "Ini harus menjadi realita, bahwa perempuan mampu berbuat, mampu berdebat, mampu menghasilkan kebijakan anggaran dan melaksanakan peraturan dan perencanaan dengan menjauhi segala bentuk korupsi dan kolusi oleh dirinya atau sang suami," jelasnya.

Perempuan harus mengambil kembali hak-haknya itu. Sebab, lanjut Marini, hak itu sudah digariskan dalam Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik dan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak tersebut juga sudah digariskan dalam Konstitusi Negara dengan tanpa mengkhususkan hak laki-laki dan perempuan dalam berbagai undang-undang.

Lantas seberapa besar kaum perempuan Aceh mengambil haknya itu dalam Pemilu kali ini?
Syarifah Rahmatillah, Direktur Eksekutif Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MISPI) sudah mengantongi data khusus caleg perempuan. "Ada 304 caleg perempuan dari 1.054 calon untuk DPR Aceh," ungkapnya.

Lebih rinci, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Aceh ini menyebutkan, dari jumlah 304 caleg perempuan, ada 34 caleg yang berada di nomor urut 1. Lalu, 61 orang pada urutan 2, dan 74 orang pada urutan di bawahnya. "Dengan sistem suara terbanyak, mungkin saja peluang perempuan terpilih lebih terbuka," kata Syarifah.

Ketua Kelompok Kerja Pencalonan Anggota DPRA, DPRK, KIP Aceh, Yarwin Adi Dharma merinci lebih detail lagi, jumlah caleg perempuan di seantero Aceh. Jumlah caleg perempuan seluruh Aceh sebanyak 2.693 orang. Sedangkan laki-laki 6.093 orang. Dari jumlah 8.786 caleg ini, mereka memperebutkan 645 kursi legislatif yang tersebar di 23 kabupaten kota.

Sementara untuk DPR-RI dari 270 orang jumlah caleg, hanya 81 perempuan, sedangkan laki-laki 189 orang. Khusus untuk caleg DPRA atau DPRK, jika kampanye 'perempuan pilih perempuan' tentu akan lebih menjanjikan.

Namun, bagaimana kualitas para caleg perempuan itu?
Ada nada pesimis yang muncul soal ini. Paling tidak inilah yang dikeluhkan Ketua Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan, Azriana, dalam diskusi di Banda Aceh, Sabtu, 28 Maret lalu. "Mereka tidak semuanya mengerti dan jeli melihat masalah yang dihadapi oleh perempuan saat ini," ia berkomentar.

Jika para caleg perempuan tidak memahami masalah yang dihadapi oleh perempuan, lanjutnya, bagaimana mereka bisa membuat aturan terkait penanganan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Sebelum maju sebagai caleg, para kaum perempuan harus benar-benar memahami persoalan yang terjadi. Paling tidak, begitu  duduk di DPR RI, DPRA atau DPRK, mereka bisa memperjuangkan nasib kaumnya.

“Ini belum lagi saat mereka juga harus memperjuangkan isu yang diusung oleh partai tempat mereka bernaung. Praktis sedikit demi sedikit mereka akan meninggalkan tujuan mereka sebenarnya. Apalagi jika mereka tak memiliki pemahaman dasar tentang nasib perempuan saat ini,” katanya.

Sri Walny Rahayu, ketua Pusat Study Gender Universitas Syiah Kuala, malah mengingatkan agar caleg perempuan mampu mencium berbagai isu. “Caleg perempuan seharusnya punya sense of issue, harus mengetahui masalah–masalah yang berkembang di masyarakat, karena hal tersebut mempengaruhi secara langsung atau tak langsung perempuan itu sendiri,” ujar aktivis Komnas Perempuan yang juga mengajar di Fakultas Hukum Unsyiah ini.

Ia memberi contoh kecil soal air bersih. Jika air bersih tidak diperhatikan, kata dia, itu akan berefek bagi rahim perempuan. Padahal air bersih memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan reproduksi perempuan dan seringkali memicu timbulnya penyakit reproduksi seperti kanker rahim, keputihan dan lain sebagainya.

"Jika caleg perempuan tidak punya sensitifitas terhadap isu ini maka akan berefek negatif bagi perempuan sendiri," tegasnya.

Saifuddin Bantasyam ikut mengkritik para caleg perempuan ini. Menurut sosiolog dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala ini, iklan pada baliho, spanduk dan poster caleg perempuan tidak memiliki keunikan dan karakter yang mewakili suara perempuan. Padahal, jumlah alat-alat peraga para caleg ini sudah jelas kalah jauh dibanding caleg laki-laki.

"Isi pesan-pesan dalam berbagai media kampanye itu, caleg perempuan ternyata sama saja dengan laki-laki," komentarnya.

Tapi soal kualitas caleg, ia menilai sama saja. Caleg laki-laki juga belum tentu lebih baik dari caleg perempuan. Karena itu, dia setuju caleg perempuan harus mempersiapkan diri baik pada masa kampanye maupun jika terpilih nanti. Peluang untuk memperoleh kursi juga tak terlalu berbeda setelah terbit keputusan suara terbanyak.

"Jangan terlalu pusing dengan terhadap sistem itu. Lebih baik konsentrasi kepada kampanye dan komunikasi. Sebab popularitas sangat menentukan. Berkampanye dengan pesan yang jelas dan daya jangkau yang luas juga berpengaruh. Caleg perempuan harus dapat meyakinkan pemilih baik laki-laki maupun perempuan, bahwa perempuan memang layak dipilih," tandasnya. [a]
Aceh Memilih Siapa..?

Aceh Memilih Siapa..?

Bendera Parpol di Aceh | Foto Antara
KETIKA tahapan kampanye kelar, tinggal rakyat yang menyisakan bimbang. Bagaimana tidak, mereka harus bisa menentukan pilihan di antara kepungan partai. Khusus bagi Aceh, persoalan pilihan ini makin sulit, pilih partai nasional atau mencontreng partai lokal?

Ternyata ragu itu ikut menyatu dengan Rahmad. Dia bersandar dengan gundah di dalam bus yang membawa tubuhnya. Pagi itu, pria hitam manis ini berniat kembali ke Banda Aceh. Dia mengaku pulang dari Medan, Sumatera Utara mengunjungi keluarganya.

Katanya, dia amat menikmati perjalanannya kali ini. Tak jelas kenapa. Rahmad hanya mengaku gembira saja menengok 'pameran' foto sepanjang jalan. Poster-poster itu menghiasi beragam tempat, mulai dari tiang listrik, batang pohon sampai koridor jalan. "Saya belum tahu harus pilih siapa," gumamnya.

Sebelum kampanye berakhir poster dan baliho dalam beragam ukuran memang bertebaran. Para pemilik poster adalah calon-calon anggota legislatif. Ini bagian dari promosi diri sebelum dicontreng rakyat menjadi wakilnya di tingkat kabupaten, kota maupun provinsi. Kini, semua poster itu hilang, tatkala masa tenang mampir.

Khusus untuk Aceh, semaraknya Pemilu 2009 lebih terasa. Pasalnya, kecuali diikuti oleh 43 Partai, yang terdiri dari 37 Partai Nasional (minus Partai Persatuan Indonesia Baru), juga ada enam Partai Lokal. Parlok yang dimaksud adalah--sesuai nomor urut--, Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh (PA) dan Partai Bersatu Aceh (PBA).

Keterlibatan partai lokal di Aceh dalam pemilu kali ini adalah amanat dari perdamaian yang telah lahir di Aceh, 15 Agustus 2005 silam. Undang Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, juga mengatur tentang keberadaan partai lokal tersebut.

Politisi kawakan yang mendirikan Partai Bersatu Aceh, Ahmad Farhan Hamid mengatakan, kehadiran Parlok tak perlu ditakuti. "Partai politik lokal di Aceh adalah sejarah baru sistem politik Indonesia setelah lebih dari 50 tahun lalu," ujarnya.

Katanya, dalam kerjanya, kedua motor demokrasi itu bisa berbagi peran. Menurut anggota DPR-RI dari Partai Amanat Nasional itu, partai politik nasional bisa menjaga kepentingan Aceh, khususnya di tingkat nasional, sementara partai politik lokal selain menjaga dan melestarikan nilai, karakter dan ciri lokal dalam kebijakan pemerintahan, juga menjaga kepentingan nasional di Aceh.

Apa yang diungkapkan ahli farmasi itu, tentu beda yang dimengerti Rahmad. Bagi pria kelahiran Lamlo, Kec Sakti, Kab Pidie itui, banyak partai makin membuat dia bimbang alias ragu. "Bukan ragu untuk mencontreng. Saya bingung menentukan pilihan, siapa yang harus kita pilih. Sebagai orang Aceh, tentu kita harus pilih parlok," tutur dia.

Kebingungan Rahmad, bukan semata-mata karena ada parnas atau parlok. Yang membingungkan dia, tak lain banyak kerabat dekat, sanak famili yang menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 ini. "Kawom saya semua ada yang menjadi caleg," sambungnya dalam bahasa Aceh.

Kawom bisa diartikankan kaum kerabat. Secara singkat dapat dijelaskan, kekerabatan dalam masyarakat di Aceh yang masih punya hubungan persaudaraan dan juga ikatan emosional. "Mereka semua menjadi caleg, jadi pasti saya harus memilih salah satunya," sebut dia.

Kebimbangan itu juga dirasakan Basyirun, seorang tukang parkir di ibukota Provinsi Aceh. "Soe teuma tapilih, -siapa memangnya yang harus kita pilih," tanya dia kepada saya karena ragu. Sebab, pada satu sisi dia ingin partai lokal yang menang di Aceh.

Keinginan agar partai lokal menang, bukan cuma harapan Basyirun saja. Hasil jajak pendapat Kompas beberapa waktu silam menyebutkan, dari survei terhadap 400 responden di 15 kabupaten kota di Aceh, sebanyak 44,82 persen menyatakan akan memilih partai lokal pada pemilihan caleg di tingkat daerah.

Sebaliknya, 22,54 persen lebih memilih partai nasional. Sedangkan pemilih ragu yang dengan kata lain bimbang ada 32,64 persen. "Saya sampai sekarang masih ragu, tapi belum tahu jika sudah berada dibilik suara, siapa yang teringat itu yang akan saya contreng," timpal Basyirun lagi.

"Kali ini kita harus beri kesempatan untuk caleg lain, syukur-syukur jika mampu menghadirkan perubahan," sambung Mahyuddin, seorang pengusaha binatu di Banda Aceh. Kata dia, sama seperti pada pemilu sebelumnya, kita pilih caleg parnas juga nasib rakyat tak berubah. "Kali ini kita coba saja orang kampung," ucap seraya terkekeh.

Diakuinya, meski belum ada jaminan para caleg 'produk' parlok bisa memberi garansi kesejahteraan kepada rakyat, namun masyarakat kadung berhasrat mencontreng orang lokal. "Paling tidak kita kasih kesempatan dulu kepada parlok untuk berbuat," sebut Husaini, seorang petani di Aceh Besar.

Memang harus diakui, seperti disebutkan, koran bertiras besar di Indonesia tadi, pertarungan kekuatan politik di Aceh lebih berwarna dibandingkan daerah lain di Indonesia. Kemudian, boleh jadi antusiasme pemilih di Aceh akan terdongkrak oleh hadirnya partai lokal.

Antusiasme ini barangkali bisa dilihat dari bertambahnya jumlah pemilih di Aceh. Jika sebelumnya 3.003.222 pemilih tetap, belakangan KPU Pusat membuat revisi data ini lewat surat keputusan KPU Nomor 164/Kpts/KPU/2009 tentang Penetapan Badan Pelaksana dan Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilihan Umum tahun 2009 bagi anggota DPRD Provinsi.

Akibat keputusan tersebut, jumlah pemilih di Aceh bertambah sebanyak 6.743 orang, sehingga secara keseluruhan menjadi 3.009.965 orang. Tiga juta lebih pemilih itu akan mencontreng caleg dari parnas dan parlok di Aceh yang berjumlah 8.786 orang.

Mereka memperebutkan 645 kursi legislatif yang tersebar di 23 kabupaten kota, termasuk untuk tingkat provinsi atau DPRA, dengan jumlah tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 10.271 tempat. Lantas, bagaimana hasilnya? Tunggu saja besok, Aceh memilih siapa, parlok atau parnas? [a]

Foto: Ampelsa/Antara

 Kabar Duka Menyambut Hasan Tiro

Kabar Duka Menyambut Hasan Tiro

Hasan Tiro Kembali ke Nanggroe
KABAR meninggalnya Teuku Muhammad Usman Lampoh Awe (73) pada Jumat, (3/10) lalu bukan saja duka bagi keluarga. Jajaran Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga merasa ikut kehilangan tokoh panutan. Apalagi kepergian mantan Menteri Keuangan GAM itu sepekan sebelum Hasan Tiro menginjak Aceh.

Kedukaan itu amat terasa juga bagi Zakaria Saman, 63, rekannya di organisasi itu. "Dia senior saya," kata mantan Menteri Pertahanan GAM ini, kepada Waspada, Sabtu lalu di sela-sela menunggu dishalatkannya jenazah suami Pocut Sariwati binti Teuku Pakeh Mahmud itu.

Zakaria tak kuasa menahan haru. Raut mukanya sembab. Kepergian Muhammad kehilangan besar bagi dia. Katanya, pria yang akrab disapa Meuntroe Muhammad itu, bukan cuma sebatas rekan seperjuangan, tapi juga menjadi panutan bagi pribadi dia dan para anggota KPA.

"Bagi saya dan GAM, dia orang hanya salah seorang penggagas Aceh Merdeka bersama Wali Nanggroe Tgk Hasan Muhammad Ditiro. Dia juga cah rot uh (pembuka jalan) dalam perjuangan kami dulu," ungkap Zakaria Saman. "Sebagian hidupnya dia habiskan dalam penjara," sambung dia lagi.

Rasa duka yang mendalam juga terlihat di wajah Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA), Muzakkir Manaf. Menurut mantan Panglima GAM ini, Mentroe Muhammad juga sangat peduli dengan para mantan pasukan TNA. "Beliau panutan kami," sebut lelaki yang sering disapa Muallim ini.

Sepak terjang Muhammad tergolong besar dalam proses perdamaian di Aceh. Dia pernah menjadi perunding GAM dengan pemerintah, ketika proses peace building ini difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC). Bersama perunding lainnya seperti Almarhum Sofyan Tiba, Meuntroe Muhammad ikut dalam berbagai sidang CoHA-JSC ketika itu.

Setelah perundingan Cesstation of Hostilities Agreement (CoHA) yang gagal ketika hendak sidang Joint Council di Tokyo pada 17-18 Mei 2003, almarhum bersama tim perunding GAM lainnya kembali diseret ke hotel prodeo Keudah, Banda Aceh.

Ketika Darurat Militer berlaku di Aceh, dia serta para juru runding lainnya, seperti Teuku Kamaruzzaman–mantan Sekretaris BRR– Tgk Amni bin Ahmad Marzuki, Tgk Nasruddin bin Ahmed--kemudian dipindahkan ke Lembaga Permasyarakatan Suka Miskin Bandung.

Setelah penandatanganan MoU Helsinki di Finlandia yang difasilitasi Crisis Management Initiative (CMI) yang diketuai mantan Presiden Martti Ahtisaari, Teungku Muhammad mendapat mandat sebagai Ketua Majelis Pusat GAM. Dia juga tim sembilan dalam KPA dan Partai Aceh, partai yang didirikan mantan kombatan.

Menurut mantan jurubicara Majelis Pusat GAM, Adi Laweung, meninggalnya Meuntroe Peng merupakan duka menanti kepulangan Wali Neugara Tgk Muhammad Hasan Di Tiro. "Untuk menyambut Wali, beliau sudah menyiapkan jas khusus. Tapi Allah berkehendak lain, sehingga beliau tidak bisa menemani Wali saweu gampong," urai Adi.

Seperti diakui Zakaria Saman, menurut Adi, hidup Teuku Muhammad Lampoh Awe banyak dihabiskan dalam penjara sejak dia gabung bersama Hasan Tiro memproklamirkan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Dalam perjalanan GAM, almarhum dipercayakan sebagai Meuntroe Peng dan Ketua Damai Melalui Dialog dalam perundingan HDC.

Disebutkannya, sejak lima bulan terakhir, anak mantan pejuang Aceh Teuku Usman Lampoh Awe ini sudah terdeteksi menderita Leukemia atau kanker darah. "Selama sakit almarhum sudah berobat dua kali ke Penang, Malaysia," ujar dia.

Pria yang lahir 73 tahun silam itu menghembuskan nafas terakhir sekira pukul 22.00 WIB di Rumah Sakit Umum Sigli, Kabupaten Pidie, setelah menderita Leukemia (kanker darah) dan dimakamkan di Gampong Lampoh Awe Kec. Simpang Tiga. Dia meninggalkan seorang istri, Pocut Sariwati binti Teuku Pakeh Mahmud, dan lima orang anak serta belasan cucu. Salah satu putranya, Teuku Mahfud menetap Amerika Serikat. [a]

Foto: internet
Baiturrahman Sepi Pada Malam Nisfu Sya'ban

Baiturrahman Sepi Pada Malam Nisfu Sya'ban

Masjid Raya Baiturrahman
INI kejadian yang memalukan. Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, secara halus 'mengusir' jamaah yang ingin beribadah pada malam Nisfu Sya'ban, Sabtu (16/8) malam. Kebetulan, malam Nisfu Sya'ban bertepatan dengan malam 17 Agustus. Tradisinya, kaum muslim menggelar berbagai ibadah pada malam pergantian buku amal manusia, itu, tapi Baiturrahman tidak.

Novia Liza, Rika Fitri adalah dua warga yang harus memendam kecewa. Sejak petang, kedua gadis ini sudah mengagendakan shalat Magrib dan Isya di masjid kebanggaan rakyat Aceh itu. Kemudian, akan dilanjutkan dengan shalat sunat Nisfu Sya'ban yang berarti jauh pada 15 Sya'ban.

Sayang sekali, keinginan dua muslimah ini untuk beribadah pada malam pertengahan (nisfu) itu tak kesampaian. Pasalnya, ba'da Isya, bilal masjid langsung melipat sajadah, mematikan mikropon. Melihat gelagat tidak 'agamis' itu, sekelompok ibu-ibu lebih dulu maju ke depan. Merengsek ke shaf terdepan menanyakan.

"Maaf, kita tidak mengadakan shalat nisfu sya'ban, tak ada imam," ujar Novia mengutip ucapan seorang bilal yang tak sempat ditanyakan namanya.

Tak terima dengan itu, sejumlah ibu-ibu pun debat kusir. "Kalau mau shalat, cari masjid lain saja." semprot si petugas masjid enteng seolah tak berdosa. Akibatnya ibu-ibu itu pun hanya bisa mengurut dada sembari melempar kata. "Jadi kalian cuma bisanya razia orang yang tak pake jilbab di masjid ini."

Menurut Novia, dengan perasaan 'geram', mereka meninggalkan masjid yang didirikan Sultan Alauddin Mahmudsyah I, pada 1234-1267 Masehi ini. 'Kegeraman' Novia dan ibu-ibu itu mungkin hampir setara dengan kemarahan Rakyat Aceh pada 1873 lalu, saat tentara Belanda membakar masjid ini.

Sekretaris Masjid Baiturrahman, H Ridwan Djohan ketika dihubungi Waspada mengatakan, para malam itu, memang dia yang menjadi imam di Shalat Isya. "Selesai Shalat, saya langsung pulang, tidak ada amanah imam besar untuk Shalat Tasbih," katanya.

Biasanya, lanjut dia, jika ada, mereka akan memberi pengumuman kepada jamaah saat Shalat Subuh atawa, Shalat Isya sebelumnya. Tapi, komplain sejumlah jamaah, malam Nisfu Sya'ban itu sudah di luar pantau dia. "Saya tidak tahu, sudah pulang," sebut dia.

Dari berbagai literatur yang dikumpulkan Waspada menyebutkan, merayakan malam Nisfu Sya'ban adalah dengan memperbanyak ibadah dan shalat malam dan dengan puasa. Sebagian umat Islam juga mengenang malam ini sebagai malam diubahnya kiblat dari masjidil Aqsa ke arah Ka'bah.

Shalat malam Nisfu Sya'ban itu sebanyak 100 rakaat. Malam tersebut diisi dengan do'a-do'a yang pernah dilakukan Rasulullah. Sangat dianjurkan untuk meramaikan malam Nisfu Sya'ban dengan cara memperbanyak ibadah, salat, zikir membaca al-Qur'an, berdo'a dan amal-amal salih lainnya.

Seorang ulama Aceh yang juga penceramah, Drs H Ameer Hamzah menjelaskan, malam Nisfu Sya'ban disebut juga bulan Baraah. Malam itu memiliki makna tersendiri dalam spiritual Islam. Kata dia, kaum Muslimin di Aceh dan negeri-negeri Islam berkumpul di masjid-masjid atau di meunasah- meunasah untuk berzikir, bertasbih dan bertahmid memuji Allah SWT.

"Ada shalat sunat berjamaah. Oh betapa syahdunya pada malam yang setengah penuh itu," ungkap Ameer Hamzah penuh semangat.
Menurut dia, dalam tradisi Aceh dan Melayu Islam, pada malam Nisfu Sya'ban juga diadakan sedikit kenduri bagi orang-orang yang hadir ke masjid, surau, langgar dan meunasah. "Ada sebagian orang kaya yang mengundang anak yatim dan fakir miskin ke rumahnya untuk makan malam," ujar Ustazd Ameer.

Dia menjelaskan, pertengahan (nisfu) tersebut adalah malam pergantian buku amal manusia. Buku amal setahun yang lalu akan disimpan di dalam Kitabum Marqum, dan buku amal baru akan diisi oleh malaikat Kiraman Katibin, Raqib dan Atid yang memang ditugaskan oleh Allah SWT untuk merekam dan mencatat amal Bani Adam.

"Apakah amal baik atau amal buruk, semuanya dicatat dalam buku tersebut," urai mantan mahasiswa IAIN Ar-Raniry Darussalam ini.

Teungku Ameer menambahkan, pembukaan buku baru tersebut berlangsung sejak mata hari terbenam (Maghrib) dan seterusnya. Orang beriman selalu menginginkan lembaran-lembaran buku baru tersebut ditulis dengan amal baiknya.

"Maka malam tersebut mereka isi dengan berbagai ubudiyah. Sebaliknya, orang-orang pasik, dungu, munafik, dan zindiq tidak peduli dengan malam yang bersejarah itu. Mereka tetap pada kebiasaannya berbuat maksiat pada malam nisfu Sya'ban," paparnya lagi.

Kata Ameer yang juga anggota DPRAini, di dayah-dayah seluruh Aceh malam nisfu Sya'ban sangat bermakna. Begitu juga di desa-desa Aceh. "Tradisi ini sangat baik dipertahankan. Mengadakan tabligh juga bagus," sebut dia.

Soal jeramah, lanjut Ameer, tema yang tepat diperbincangkan pada malam berkah ini adalah tentang keharusan kaum Muslimin menyambut bulan suci Ramadhan yang tinggal separuh bulan lagi. "Kaum Muslimin jangan lagi lalai dengan hal-hal yang tidak berguna," ujarnya mengingatkan. [a]

Foto: Wikipedia
   Mengkritisi 'Jurnalisme Mesum' Media

Mengkritisi 'Jurnalisme Mesum' Media

Ilustrasi
LIDYA dan Raihal mengkritik habis gaya pemberitaan media Aceh. Selain tidak ramah dan bias gender, berita-berita koran pun dinilainya acap 'menghina' perempuan. Kedua mengaku secara tersirat merasa terhina dengan tulisan dan opini yang bertebar di media massa. Apalagi banyak media yang mempraktikkan jurnalisme mesum.

Kedua aktivis perempuan itu mengeluhkan ini dalam acara Pelatihan Sosialisasi CEDAW untuk Jurnalis dan Aktivis Media di Banda Aceh pada 18-20 Juni lalu. Acara tersebut digelar Yayasan Insan Cita Madani bekerja sama dengan badan dunia yang mengurus persoalan perempuan (UNIFEM).

CEDAW adalah konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Kepanjangannya Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women.

Direktur Eksekutif YICM, Roys Vahlevi M, ST dan Manager Program Marleini Hasbi, kepada Waspada mengatakan pelatihan ini yang diharapkan dapat menyuarakan keadilan melalui perantaan media, sehingga perwujudan kesetaraan dan keadilan semakin menjadi kenyataan.

"Partisipasinya bisa mensosialisasikan wacana keadilan dan kesetaraan gender ke publik melalui tulisan di media-media publik," kata Roys Vahlevi. Apalagi selama ini, dia melihat liputan yang diekspos di media-media massa sudah menjadikan para perempuan di posisi tergugat atau terhina.

Rasyidah, Dosen Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, yang menjadi fasilitator dalam kegiatan itu menyebutkan, upaya untuk menghambat terjadinya diskriminasi terhadap perempuan sudah berkoar di majelis umum PBB pada 18 Desember 1979 yang menyetujui rancangan konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Sementara Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi konvensi CEDAW dengan disahkannya Undang-Undang  No.7/1984. Kata dia, CEDAW memiliki tiga prinsip utama. Pertama, prinsip persamaan yang bersifat substantif yakni memandang persamaan hak lelaki dan perempuan.

Lalu kedua, prinsip non diskriminasi terutama diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam pemenuhan kebebasan-kebebasan dasar dan hak asasi manusia. Dan ketiga, prinsip kewajiban negara bahwa negara peserta adalah aktor utama yang memiliki tanggungjawab untuk memastikan terwujudnya persamaan hak lelaki dan perempuan dalam menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.

Fasilitator lain, Linda Cristanty dalam paparannya mengatakan bentuk diskriminasi media terhadap perempuan bisa bermacam-macam. "Ada dalam bentuk tulisan, gambar, iklan dan fokus berita di media cetak," sebut Chief Editor Pantau Aceh feature service itu.

Di media elektronik, kata Linda bentuk diskriminasinya digambarkan melalui sinetron yang mengasosiasikan perempuan itu jahat dan matre. Tidak hanya sebatas itum kalimat dan dialog yang dibangun pun mengandung bias gender. "Gambaran atau imej ini sangat merugikan perempuan dalam bentuk diskriminasi," ujar penulis cerpen Kuda Tebang Maria Pinto ini.

Kecuali itu, pada sisi lain, Linda melihat negara juga menjadi pelaku diskriminasi terhadap kaum hawa. "Memang pelaku itu ada juga di masyarakat, tapi paling bahaya adalah apa yang dilakukan oleh negara dengan memperkuat image terhadap pendiskriminasian perempuan," ungkapnya.

Menyangkut korporasi bisnis, Linda melihat ada sebuah trend yang dibentuk sehingga mempengaruhi pendiskriminasian perempuan. "Harus ada landasan pikir yang besar dan prinsip penting untuk perempuan yang dihadapkan pada propaganda korporasi bisnis," tukas dia.

'Jurnalisme Mesum'?


Mengkritisi pola pemberitaan media di Aceh, Linda melihat ada semacam genre baru yang dikembangkan media lokal. Genre itu adalah jurnalisme mesum. Kenapa begitu, menurut wanita kelahiran 13 Maret di Bangka Belitung ini, karena berita yang paling banyak diproduksi adalah soal khalwat dan yang diekspose sisi perempuan dengan berlebihan.

"Di Aceh berita yang paling banyak ditulis adalah soal penerapan syariat Islam dan rehab-rekon. Media juga punya persoalan dengan dengan etika mempublikasi berita di samping ketidaksetaraan juga," ujar pemenang Khatulistiwa Literary Award 2004 ini.

Aktivis perempuan yang ikut membedah sejumlah tulisan yang dipublikasi mengatakan media lokal terlalu berlebihan dalam mengekspose sisi perempuan. "Kenapa dalam pemberitaan soal perempuan selalu ditonjolkan miris. Kenapa dalam pemberitaan tidak mengajak pembacanya berpikir positif," ungkap Raihal, aktivis perempuan dari Katahati Institute.

Oleh karena itu, dia menganjurkan agar ada sebuah media alternatif yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender serta penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. "Lalu memberi pemahaman dan perubahan berarti," ujar dia.

Sementara Manager Program YICM, Marleini Hasbi menambahka, perjuangan itu masih terbatas dan dilakukan oleh beberapa kalangan tertentu termasuk melalui perantaraan media. Katanya, tidak sedikit perjuangan itu kemudian tercekal oleh pemberitaan-pemberitaan di media tertentu yang sangat menyudutkan perempuan.

"Hal ini semakin memberi peluang bagi terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Dari beberapa kasus yang kami temui, respon kaum perempuan sendiri terhadap permasalahan ini relatif dingin, dan kadangkala menjadi daya tarik konsumen media dan bisa mendongkrak oplah produksi," katanya.

Menurut Marleini, pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan gender telah banyak dikampanyekan oleh berbagai elemen yang bertujuan untuk menghilangkan praktik-praktik diskriminasi gender dalam kehidupan bermasyarakat terutama pasca musibah gempa dan tsunami.

Kata dia, secara historis, Aceh telah melahirkan banyak tokoh perempuan yang berperan penting dalam perubahan kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Namun katanya, fenomena ini, belum bisa dijadikan justifikasi bahwa masyarakat Aceh telah menjadikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender sebagai paradigma yang berpengaruh di kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budayanya.

Disebutkannya, pola relasi hidup yang didominasi oleh kaum lelaki cenderung menimbulkan diskriminasi yang disadari maupun tidak telah membuat perempuan dalam posisi lemah, tentu saja termasuk dalam pola pemberitaan. [a]

 To Be Creative With Mading

To Be Creative With Mading

Ilustrasi
Media publisitas gratis seperti blog dan website di internet semakin diminati. Namun, media konvensional semacam majalah dinding (mading) rupanya tetap menjadi sarana pilihan pelajar untuk menyalurkan kreativitas dan aspirasinya. Ini dibuktikan oleh sejumlah sekolah menengah di Banda Aceh.

Ternyata, potensi yang terpendam di sekolah selama ini amat luar biasa. Hanya saja belum ada wadah yang menampung talenta-talenta tersebut. Lewat Madinglah, para siswa bisa menunjukkan kreatifitas dan minatnya dalam menulis. Mading pun, bisa menjadi sarana yang sangat efektif dan efesien untuk menampung aspirasi siswa dalam proses belajat mengajar di sekolah.

Bukan tidak mungkin, dengan Mading bisa membentuk karakter siswa di sekolah. "Selama ini ruang itu belum ada bagi siswa di sekolah untuk mengekspresikan pikiran, keinganan, prestasi dan keunikan-keunikan lainnya," tukas Mujiburrahman, kepada saya dalam pelatihan jurnalistik (Petik) kepada siswa SMA/MAN di Banda Aceh Senin pekan lalu.

Mujib adalah ketua panitia kegiatan Petik tersebut. Petik ini diprakarsai Sampoerna Foundation Scholars Club (SFSC) bekerja sama dengan SMU Negeri 2 Banda Aceh, pada Senin pekan lalu. Pesertanya adalah siswa SMA yang tergabung dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).

Petik yang bertema To Be Creative With Mading ini diikuti sekitar 20-an siswa SMA/MA dari masing-masing sekolah yang ada di Banda Aceh. Untuk membahani peserta, SFSC Aceh dibantu dua jurnalis setempat, Adi warsidi, Redaktur Pelaksana Harian Aceh Independent) dan saya sendiri.

Pihak SFSC Banda Aceh berharap, dengan pelatihan yang sudah mereka terima, masing-masing sekolah memiliki Mading yang dikelola dengan menjunjung etika jurnalistik. Akhir cerita, mereka ingin menggagas sebuah media pelajar, baik itu majalah, buletin yang dikelola seluruh OSIS di Banda Aceh.

"Ini menarik, karena belum ada media di Banda Aceh yang memberi ruang kepada pelajar untuk mengekspos dunia mereka. Lalu, kita berharap akan terbentuk media sekolah yang bisa menjadi ajang sharing antar sekolah," papar Mujib.

Bagi SFSC Aceh sendiri, kegiatan itu diselenggarakan sebagai ajang membentuk kreativitas siswa yang dalam perkembangannya mengalami proses dinamisasi, sehingga perlu diberi ruang untuk menyuarakan ekspresi dalam suatu wadah yang bernama media.

Wizar Putri, Presiden Sampoerna Foundation Scholars Club Aceh menyebutkan, acara itu sangat penting bagi proses pendidikan, terutama dalam pembentukan proses kreatif. "Proses kreatif seringkali diabaikan oleh banyak pihak karena dianggap tidak memiliki peran yang strategis untuk peningkatan kualitas pendidikan formal," sebut dia.

Padahal, sambung dia, proses kreatif merupakan bekal yang sangat berharga untuk masa depan untuk membiasakan kita mengekspresikan kemampuan berpikir dan menganalisa sehingga pemikiran kita dalam dunia bisnis, sosial, ekonomi, dan yang lain-lain dapat terimplementasi dengan baik," ujar Mahasiswi Unsyiah ini.

Pelatihan yang berlangsung selama satu hari di SMU 2 Banda Aceh ini diselenggarakan sebagai bentuk kegiatan sosial para penerima beasiswa SF untuk jenjang S1. Mereka tergabung dalam SFSC dan aktif menyelenggarakan kegiatan sosial setiap tiga bulan. "Ini program kerja SFSC Aceh yang diwujudkan dalam Social Activity tiga bulanan," kata Wizar.

Dia berharap dengan pelatihan itu, siswa dapat memvisualisasikan creative thinking-nya ke dalam sebuah media nantinya yang dikelola oleh OSIS SMA/MA se Banda Aceh. "Sehingga kreatifitas generasi muda di Aceh terus berkembang," ujarnya.

Para pelajar yang mendapat bimbingan dari pegiat media berujar, "Selama ini, kami sudah rutin menerbitkan Mading, bahkan dalam satu bulan, empat kali kami terbit," kata Yuni, dari SMU Darul Ulum Banda Aceh. Dia mengaku sudah merasakan manfaat dari Mading yang menjadi cikal bakal lahirnya jurnalis profesional.

Dari penuturan para siswa seperti Yuni dan Raudah dari SMU Darul Ulum, Fitriyani dan Reza Rezeki (SMA 4)  Nursavela dan Novia, (SMA Fajar Harapan), Agam, Syahrul (SMU 2) dan siswa lainnya, ternyata Mading memberi pengetahuan tersendiri bagi mereka. "Awalnya memang jurnalis sekolah, lalu menjadi jurnalis kampus, baru kemudian masuk ke gerbang jurnalis profesional," papar Reza Rezeki.

Hanya saja, selama ini jarang ada media atau lembaga yang membuat Lomba Mading SMA se-kota Banda Aceh, misalnya. Tentu saja ini bertujuan untuk merangsang kreatifitas siswa di sekolah. Padalah, dengan adanya ajang perlombaan seperti itu setidaknya akan terjaring bibit-bibit baru calon jurnalis baru. Betul, yang penting kreatif. [a]
 Penyesalan Di Atu Lintang

Penyesalan Di Atu Lintang

Foto Istimewa
INSIDEN memilukan yang 'kembali' menggiris wilayah tengah Aceh, amat disesali semua kalangan. Seakan-akan itu menjadi kabar buruk bagi perdamaian. Tapi semua orang berharap tidak demikian. Apalagi saat kondisi sudah mulai normal, semua berharap, khilaf itu termaafkan. Dan, kita kembali tanpa dendam.

Rasa penyesalan terhadap kabar duka dari dataran tinggi Gayo itu datang dari Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aceh Tgk. H. Ghufran Zainal Abidin, MA. Dia mengaku sangat prihatin dan menyesalkan atas terjadinya insiden pembakaran Sabtu pagi buta. "Insiden itu, seakan menyeret Aceh ke dalam konflik kembali," lirih dia.

Menurutnya, insiden tersebut tidak perlu terjadi bila semua pihak dapat menyelesaikan permasalahan dengan hati yang dingin dan jernih. Insiden ini merupakan salah satu kejadian terakhir yang dapat menggganggu proses perdamaian yang saat ini sedang dinikmati oleh masyarakat Aceh.

Makanya, dia mengharapkan semua pihak untuk selalu menjaga kedamaian dan jangan memperkeruh suasana damai di Aceh. Untuk itu Ghufran meminta kepada Pemerintah Aceh dan aparat penegak hukum untuk mengusut kasus ini sampai tuntas, dan menyeret pelaku ke pengadilan dan menuntaskan kasus ini secepatnya. "Semua pelaku harus dituntut seadil-adilnya tanpa padang bulu," tukas Ghufran.

Sama halnya seperti harapan Gubernur Irwandi Yusuf dan Kapolda Aceh Irjen Pol Drs Rismawan. Politisi PKS ini juga mengimbau seluruh elemen masyarakat Aceh, supaya tidak terpancing untuk melakukan aksi balas dendam.

Dia berharap juga agar tidak mudah terpancing atau terprovokasi dengan isu-isu yang dikembangkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggunggjawab. Kepada semua kelompok, baik kelompok sipil, sosial, dan media informasi untuk tidak memberitakan isu-isu  miring yang dapat membuat rasa ketakutan yang berlebihan terhadap masyarakat setempat.

Kepada pemerintah khususnya, Ghufran meminta untuk menjembatani pertikaian yang terjadi di tingkat bawah. "Karena kalau ini tidak segera diselesaikan maka bukan tidak mungkin konflik ini akan semakin melebar hingga pada aksi saling balas dendam," katanya.

Bagi Hendra Budian, Ketua Badan Pengurus Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), kasus Alu Lintang itu, dapat mengulang sejarah hitam perdamaian Aceh. "Ini sangat 'mengerikan' ketika semua orang di Aceh sedang mendambakan perdamaian yang abadi," tukas dia.

Dia mengingatkan, masih segar dalam ingatan, ketika tragedi pembakaran kantor JSC (joint security committee) dan pemukulan terhadap personel JSC di Aceh Tengah pada tahun 2003 yang lalu telah menjadi faktor pemicu gagalnya proses perdamaian saat itu (CoHA).

Oleh karena itulah, AJMI meminta kepada elite politik yang ada di wilayah Aceh Tengah untuk dapat berfikir jernih dan bijaksana dengan cara menenangkan anggotanya untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum serta mencederai semangat MoU Helsinki yang telah ditandatangani oleh perwakilan Pemerintah RI dan GAM.

Tak jauh beda dengan Ghufran, Hendra juga berharap dan meminta dengan tegas kepada pihak Kepolisian untuk melakukan pengusutan hukum secara tuntas dengan mengedepankan asas kebenaran dan keadilan. "Polisi merupakan institusi negara yang harus bersikap netral atau a politis sehingga mampu menyelesaikan persoalan secara objektif," katanya.

Seakan tak mau ketinggalan, juru bicara KPA Ibrahim Syamsuddin pun mengeluhkan kegundahan hatinya. Dia mengecam aksi anarkis itu dan juga menuntut polisi menyelesaikan kasus tersebut hingga tuntas. KPA adalah organisasi sipil tempat menampung mantan kombatan.

"Kerusuhan ini patut diduga sebagai sekenario merusak perdamaian Aceh. Sepertinya ada aktor intelektual di belakangnya. Dulu saat masa jeda kemanusian, gagalnya kesepakatan para pihak juga di mulai di Aceh Tengah dan ada indikasi ini merupakan pembangkit konflik kembali di Aceh," paparnya.

Apapun itu, kita berharap agar situasinya kembali terkendali dan perdamaian abdi itu bersemi seperti yang diharapkan Kapolda Aceh, Irjen Pol Rismawan; "Kita komit bahwa perdamaian Aceh ini berlangsung abadi." Semoga... [a]

Foto: panoramio