Mengkritisi 'Jurnalisme Mesum' Media
feature GoresanIlustrasi |
Kedua aktivis perempuan itu mengeluhkan ini dalam acara Pelatihan Sosialisasi CEDAW untuk Jurnalis dan Aktivis Media di Banda Aceh pada 18-20 Juni lalu. Acara tersebut digelar Yayasan Insan Cita Madani bekerja sama dengan badan dunia yang mengurus persoalan perempuan (UNIFEM).
CEDAW adalah konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Kepanjangannya Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women.
Direktur Eksekutif YICM, Roys Vahlevi M, ST dan Manager Program Marleini Hasbi, kepada Waspada mengatakan pelatihan ini yang diharapkan dapat menyuarakan keadilan melalui perantaan media, sehingga perwujudan kesetaraan dan keadilan semakin menjadi kenyataan.
"Partisipasinya bisa mensosialisasikan wacana keadilan dan kesetaraan gender ke publik melalui tulisan di media-media publik," kata Roys Vahlevi. Apalagi selama ini, dia melihat liputan yang diekspos di media-media massa sudah menjadikan para perempuan di posisi tergugat atau terhina.
Rasyidah, Dosen Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, yang menjadi fasilitator dalam kegiatan itu menyebutkan, upaya untuk menghambat terjadinya diskriminasi terhadap perempuan sudah berkoar di majelis umum PBB pada 18 Desember 1979 yang menyetujui rancangan konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Sementara Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi konvensi CEDAW dengan disahkannya Undang-Undang No.7/1984. Kata dia, CEDAW memiliki tiga prinsip utama. Pertama, prinsip persamaan yang bersifat substantif yakni memandang persamaan hak lelaki dan perempuan.
Lalu kedua, prinsip non diskriminasi terutama diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam pemenuhan kebebasan-kebebasan dasar dan hak asasi manusia. Dan ketiga, prinsip kewajiban negara bahwa negara peserta adalah aktor utama yang memiliki tanggungjawab untuk memastikan terwujudnya persamaan hak lelaki dan perempuan dalam menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.
Fasilitator lain, Linda Cristanty dalam paparannya mengatakan bentuk diskriminasi media terhadap perempuan bisa bermacam-macam. "Ada dalam bentuk tulisan, gambar, iklan dan fokus berita di media cetak," sebut Chief Editor Pantau Aceh feature service itu.
Di media elektronik, kata Linda bentuk diskriminasinya digambarkan melalui sinetron yang mengasosiasikan perempuan itu jahat dan matre. Tidak hanya sebatas itum kalimat dan dialog yang dibangun pun mengandung bias gender. "Gambaran atau imej ini sangat merugikan perempuan dalam bentuk diskriminasi," ujar penulis cerpen Kuda Tebang Maria Pinto ini.
Kecuali itu, pada sisi lain, Linda melihat negara juga menjadi pelaku diskriminasi terhadap kaum hawa. "Memang pelaku itu ada juga di masyarakat, tapi paling bahaya adalah apa yang dilakukan oleh negara dengan memperkuat image terhadap pendiskriminasian perempuan," ungkapnya.
Menyangkut korporasi bisnis, Linda melihat ada sebuah trend yang dibentuk sehingga mempengaruhi pendiskriminasian perempuan. "Harus ada landasan pikir yang besar dan prinsip penting untuk perempuan yang dihadapkan pada propaganda korporasi bisnis," tukas dia.
'Jurnalisme Mesum'?
Mengkritisi pola pemberitaan media di Aceh, Linda melihat ada semacam genre baru yang dikembangkan media lokal. Genre itu adalah jurnalisme mesum. Kenapa begitu, menurut wanita kelahiran 13 Maret di Bangka Belitung ini, karena berita yang paling banyak diproduksi adalah soal khalwat dan yang diekspose sisi perempuan dengan berlebihan.
"Di Aceh berita yang paling banyak ditulis adalah soal penerapan syariat Islam dan rehab-rekon. Media juga punya persoalan dengan dengan etika mempublikasi berita di samping ketidaksetaraan juga," ujar pemenang Khatulistiwa Literary Award 2004 ini.
Aktivis perempuan yang ikut membedah sejumlah tulisan yang dipublikasi mengatakan media lokal terlalu berlebihan dalam mengekspose sisi perempuan. "Kenapa dalam pemberitaan soal perempuan selalu ditonjolkan miris. Kenapa dalam pemberitaan tidak mengajak pembacanya berpikir positif," ungkap Raihal, aktivis perempuan dari Katahati Institute.
Oleh karena itu, dia menganjurkan agar ada sebuah media alternatif yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender serta penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. "Lalu memberi pemahaman dan perubahan berarti," ujar dia.
Sementara Manager Program YICM, Marleini Hasbi menambahka, perjuangan itu masih terbatas dan dilakukan oleh beberapa kalangan tertentu termasuk melalui perantaraan media. Katanya, tidak sedikit perjuangan itu kemudian tercekal oleh pemberitaan-pemberitaan di media tertentu yang sangat menyudutkan perempuan.
"Hal ini semakin memberi peluang bagi terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Dari beberapa kasus yang kami temui, respon kaum perempuan sendiri terhadap permasalahan ini relatif dingin, dan kadangkala menjadi daya tarik konsumen media dan bisa mendongkrak oplah produksi," katanya.
Menurut Marleini, pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan gender telah banyak dikampanyekan oleh berbagai elemen yang bertujuan untuk menghilangkan praktik-praktik diskriminasi gender dalam kehidupan bermasyarakat terutama pasca musibah gempa dan tsunami.
Kata dia, secara historis, Aceh telah melahirkan banyak tokoh perempuan yang berperan penting dalam perubahan kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Namun katanya, fenomena ini, belum bisa dijadikan justifikasi bahwa masyarakat Aceh telah menjadikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender sebagai paradigma yang berpengaruh di kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budayanya.
Disebutkannya, pola relasi hidup yang didominasi oleh kaum lelaki cenderung menimbulkan diskriminasi yang disadari maupun tidak telah membuat perempuan dalam posisi lemah, tentu saja termasuk dalam pola pemberitaan. [a]