Lelaki Bernama Ucok

Lelaki Bernama Ucok

Muhibuddin Ibrahim dan Teuku Rayuan Sukma

Nama panggilannya Ucok Sibreh. Sejatinya, pria ini periang. Ia energik. Sakit yang membuat geraknya jadi sempit. Ia diserang stroke beberapa waktu lalu. Akibat penyakit ini, ia tak bisa jalan normal. Pita suara menjadi sengau. Tapi semangatnya yang bikin orang terpukau. 


Dalam beberapa bulan terakhir, Ucok sudah bisa berucap banyak kalimat. Tangan kanannya masih sulit diajak salaman. Mau tidak mau, tangan kiri yang mengganti fungsi tangan kanan. Tapi tongkat kaki empat masih menjadi teman setia. Ke mana saja. 


Padahal sebelumnya, Ucok selalu harus di papah. Belum bisa pegang tongkat. Sekarang sudah banyak kemajuan. Bicara pun sudah mulai terdengar jelas, tak lagi sengau. 


Nama aslinya Muhibuddin Ibrahim. Ketua Umum KONI Aceh Besar. Dia politisi muda. Ketua DPD Golkar Aceh Besar cum anggota DPRK setempat. Ia juga aktif dalam organisasi kemasyarakatan. Kiprahnya tak diragukan lagi. Sosok penuh tanggungjawab. Mungkin itu alibi banyak pelaku olahraga memilihnya secara aklamasi pada 2020 lalu guna memimpin KONI Aceh Besar. 


Ia punya tugas gergasi. Karena, Bupati Aceh Besar Ir H Mawardi Ali memberi target tinggi. Mempertahankan juara umum Pekan Olahraga Rakyat Aceh (PORA) di Pidie tahun 2022. Aceh Besar juara umum PORA XIII tahun 2018 saat menjadi tuan rumah.


“Kecuali mempertahankan prestasi, tugas KONI Aceh Besar ke depan adalah melakukan pembinaan kepada para semua cabor dan atlet secara kontinyu," titah Mawardi pada saat suksesi.


Wakil Ketua Teuku Rayuan Sukma yang mewakili Ketua Umum KONI Aceh H Muzakir Manaf yang menjadi 'saksi' ikut melempar pendapat. Kata dia, pengurus KONI Aceh Besar yang lama, sudah terbukti juara umum pada PORA XIII di Kota Jantho nyaris tiga tahun lalu. Saat menjadi tuan rumah Aceh Besar even lokal tersebut.


Karena itu, ia meminta kepada Ucok dan kawan-kawan agar prestasi juara umum yang diraih itu dapat dipertahankan pada PORA XIV di Kabupaten Pidie pada November nanti. "Agar menjadi bukti bahwa Aceh Besar dalam bidang olahraga tidak hanya jago kandang," tukas Rayuan.


Rayuan Sukma itu satu dari banyak tokoh Aceh Besar. Ia mantan Kadispora Aceh. Saat ini Ketua Pengurus Provinsi Persatuan Angkat Besar Seluruh Indonesia alias PABSI Aceh. Di KONI Aceh jabatannya Wakil Ketua KONI.


Senin berapa pekan lalu, Ucok kembali bertemu dengan Rayuan Sukma. Kali ini di Kantor KONI Aceh. Keduanya sudah janjian via teleponan. Bukan pertemuan dadakan. Ucok berjalan masih dibantu tongkat. Assalamualaikum, ucapnya saat melangkah pelan masuk ruangan. "Maaf, saya tidak bisa salam," sela Ucok seketika. 


Ada tiga insan di dalam ruangan, termasuk saya. Karena sudah saling kenal, ada sedikit basa basi di antara kami. Lalu saya persilakan dia duduk di kursi depan meja Pak Rayuan. Keduanya, saling 'poh cakra' alias cerita penuh canda. Meski terlihat bercanda, tapi topiknya serius. 


Tujuan Ucok, ia ingin menyerahkan surat keputusan perombakan kepengurusan KONI Aceh Besar. Kecuali itu, ia ingin juga minta petuah-petuah lain kepada tokoh sepuh olahraga itu. Termasuk tata kelola kesekretariatan KONI Aceh Besar. Sebelum semuanya, tuntas, saya sudah pamit duluan. Tak bisa menemani hingga 'meupakat' itu kelar. 


Namun, sebelum Ucok tiba di ruangan. Saya dan Rayuan sempat menyentil sosok Ucok. Dia ikut memuji motivasi tinggi politisi muda itu. Ia punya tanggung jawab moral. Terhadap semua Cabor di bawah binaan lembaga yang dipimpinnya. Tidak pilih kasih. Tak juga memberi prioritas lebih untuk olahraga yang menjadi hobinya. 


Bukti kongkrit. Salah satu yang dilakukan Ucok adalah saat menonton pertandingan cabang sepakbola Pra-Kualifikasi Pekan Olahraga Rakyat Aceh (PORA) di Stadion Mini Carlos, Lhoknga, awal November lalu. Jaraknya 14 kilometer dari Banda Aceh. Boleh dibilang ia dalam kondisi tak laik nonton. Ucok abaikan rasa sakitnya. Meski ia baru sembuh. 


Saat itu belum seperti sekarang. Ia harus dipapah dua orang. Naik tangga dibantu gendongan. Memang, ia baru bisa berjalan dibantu tongkat. Tapi hasratnya hadir  memberi dukungan langsung kepada tim polesan Wahyu AW dan Sisgiardi patut dipuji. Padahal, jika dia mau, dengan alasan kesehatan, tentu dia bisa rehat di rumah saja.


Tapi, itu bukan tipikal Ucok. "Saya juga ingin mendukung langsung anak-anak di lapangan. Saya tak peduli sedang kurang sehat. Itu komitmen saya," ungkap Ucok kepada saya suatu ketika. 


KONI Aceh Besar berharap banyak pada sepakbola. "Apabila lolos, kita pasang target minimal medali perunggu," ucap dia ketika menghadiri pembukaan rapat kerja (Raker) Askab PSSI Aceh Besar 2020 di Aula Sekretariat KONI Aceh Besar, Lambaro, Sabtu (17/10/2020).


Tekad itu bukan di atas kertas saja. Ia buktikan dengan turun langsung ke lapangan, meski badan tak sehat. Tak cukup itu saja. Ia juga memberi bonus. Hasilnya, tim sepakbola Aceh Besar melaju ke PORA Pidie 2022. Di penyisihan mereka tak terkalahkan. Melaju dengan sempurna. 


Tim Banda Aceh saja yang walikotanya suka bola malahan dikolongin. Lebih memalukan lagi tim ibukota ini juga tak lolos ke PORA  untuk kedua kali berturut-turut. Sungguh ironis. Tapi, tidak dengan Ucok. Tanggungjawabnya nyata. Bukan pura-pura atau saat kampanye saja. 


Tanggungjawab Ucok bukan saja di sepakbola. Semua cabang olahraga dia kawal. Hasilnya di PORA Pidie, Aceh Besar mengikuti 34 dari 36 cabang olahraga yang dipertandingkan. “Hanya dua cabor yang tidak kita ikuti, layar dan arung jeram,” tukas dia. 


Hasilnya, selama Pra-PORA, kontingen Aceh Besar tampil dominan. Dari data bidang prestasi, ada belasan cabor sukses meraih status juara umum. Karena kepentingan tertentu, maka Ucok tak ingin membeberkan secara terbuka. "Alhamdulillah, kita banyak yang juara umum di Pra-PORA," ujar dia.


Tak dinyana, Rayuan Sukma juga mengakui hal itu. Dia pun salut dengan Ucok. Dalam kondisi kurang sehat tapi tetap bertanggung jawab. Rayuan pun memberi apresiasi atas capaian daerah itu di ajang Pra-PORA. Bahkan, ia tak segan-segan memberi pujian. "Layak dapat penghargaan," sebut dia. 


"Tapi bukan penghargaan abal-abal yang bisa dibarter dengan fulus. Seperti yang diterima orang-orang yang mengaku pegiat olahraga," sambung saya.


Rayuan melempar senyum simpul mendengar ocehan saya. 


Rayuan, sepakat sossok seperti Ucok amat layak diganjar penghargaan sebagai tokoh olahraga. Ia tak mengayomi satu cabor saja. Ucok juga memberi atensi yang sama kepada semua cabang. Tak ada anak emas. Semua anak kandung. ”Mungkin Ucok bukan tipe orang bangga dengan prestasi pribadinya. Ia lebih bangga dan bahagia kalau nama daerahnya terangkat," timpal saya.

Menjenguk Eks Muazin Yang Sakit

Menjenguk Eks Muazin Yang Sakit

Farid saat berbincang dengan Misbahuddin

Foto via Steemit

Sejatinya saya tidak punya agenda lain sepanjang Sabtu pagi sampai siang. Paling di rumah saja. Jadi bapak rumah tangga. Di rumah, dari pagi saya bermain-main dengan trio jantung hati, alias ketiga anak. Ibunya masuk dinas pagi. Baru pulang jam tiga siang.

Pagi tugas saya bersama mereka. Makanya, jadilah saya bapak rumah tangga. Bukan ibu rumah tangga. Pukul 10 pagi, saya pamit ke si sulung. Ingin update berita di warung kopi terdekat. Saya satu jam lebih di sana. Belum tuntas kerja, saya harus bergerak.

Penyebabnya, pesan di satu grup WhatsApp. Tokoh muda Banda Aceh, Farid Nyak Umar ingin berkunjung ke rumah salah seorang kenalannya. Namanya Misbahuddin. Kebetulan, beliau tersebut sudah menetap di kampung kami, Desa Gla Meunasah Baro, Krueng Barona Jaya, Aceh Besar. Saya pun langsung meluncur dengan sepeda.

Saya tidak kenal dengan Bang Misbahuddin. Kabarnya, baru dua bulan menetap di Gla. Bang Mis sakit kencing manis. Bahasa kesehatannya diabetes melitus. Isterinya baru dua bulan lalu meninggal dunia. Dia masih tercatat sebagai warga Gampong Beurawe, Kecamatan Kuta Alam.

Satu kampung dengan Farid. Farid menetap di kampung tersebut. Beliau adalah pengisi tetap ceramah Subuh di Masjid Al Furqan, Beurawe, Kuta Alam, Banda Aceh. Sejak dia sakit-sakitan dan isterinya meninggal, Misbah dirawat putri sulungnya; Rahmi Hayati.

Rahmi masih kelas XI. Dia sekolah di MAN Lamteumen. Di Beurawa, Misbah tinggal di tanah sewa. "Rumoh lon brok that -- rumah saya jelek sekali," katanya kepada saya. "Tidak layak huni, seperti kandang kambing,"

Misbah sudah tinggal di sana selama 35 tahun. "Saya sewa tanah di sana. Kerja saya pengumpul besi bekas. Kadang-kadang jual kacang. Saya antar ke warung-warung kopi," ujar pria asal Aceh Jaya ini.

Lalu, Misbah minta bantuan jamah Subuh BBC pimpinan Tgk. H. Fakhruddin Lahmuddin. Misbah sendiri jmaah tetap BBC. Setelah mencukupi syarat, maka ia pun pindah ke Gla Mns Baro. "Tanah ini pemberian kakak saya. Khusus untuk satu rumah tipe 36," sebut dia bercerita.

Ia baru dua bulan menetap di Gla Mns Baro. "Sakit ini DM mulai parah sejak Maret lalu," Sementara isterinya meninggal sudah lima bulan lewat. "Sakit paru-paru," sambung dalam bahasa Aceh.

Sejak ditinggal isteri, dia dirawat putri sulung dan anak lelaki keduanya, Muhamamd Al Haris. Haris kini terpaksa berhenti sekolah. Seharusnya dia sudah duduk di kelas 10 SMA. Sedangkan tiga putranya yang lain, mondok di Dayah An-Nur Lueng Bata.

Selain DM, Misbah tak sanggup lagi bergerak. Untuk segala urusan butuh bantuan pihak lain. Ke kamar kecil pun harus dipapah. Yang membuatnya sesak nafas, saat hendak buang hadas besar. Terkadang dia minta bantuan adik sepupunya. Kebetulan tak terlalu jauh menetap di sana.

Soal makanan, Misbah tak terlalu ambil pusing. Dia tak lagi makan makanan berat. Takut merepotkan saat hendak ke tandas. Paling banter dia makan buah-buahan.

Apalagi Rahmi juga belum mahir memasak. "Kalau masak daging belum bisa dia. Kalau daging paling dia goreng-goreng saja," kata Misbah. "Kalau masakan yang lain, paling dia lihat resep. Kadang diajarin sama Mak Wa-nya."

Dijenguk Anggota Dewan

Menjelang siang, saat matahari tepat di atas kepala, Farid Nyak Umar bertandang ke kediaman Misbahuddin. Farid bukan sosok yang asing lagi bagi dia. Pria yang akrab disapa Ustadz ini pengisi ceramah di Masjid Beurawe. Masjid yang kian populer sejak viralnya lagu "Wate Ka Sahoe" lewat olah suara Nisfun Nahar.

Kunjungan muhibah semacam ini sudah rutin dilakoni Farid. Berkunjung ke rekan lamanya, Farid memboyong buah tangan berupa sembako. Ada beras, telur, mie instan, gula, sirup dan lainnya. Ia bahkan ikut membawa sendiri. Sisanya di kami yang boyong.

Kepada Misbah, Farid berpesan untuk rajin shalat meski dalam kondisi seperti ini. Ia meminta agar tidak berburuk sangka kepada Allah SWT. Sebab, sambung Farid, Allah membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Seperti disebutkan dalam QS. Al-Baqarah:286, jelasnya.

"Cobaan itu bisa beragam. Ada sakit, ada pula bentuk lain. Termasuk jabatan," sebut Farid yang tak lain Ketua DPRK Banda Aceh ini. Misbah pun paham. Ia mengangguk kepala. Selanjutnya dialog-dialog nostalgia sesama warga.

Sebelum tepat pukul 12 siang, rombongan Farid pamit. Ia harus melanjutkan silaturrahmi lagi. Kali ke acara pesta penikahan anak mantan Kepala Dinas Badan Dayah, Usamah El Madny. Akhirnya kami pun berpisah. Saya juga kembali ke rumah.

Sambil mendayung sepeda menuju jalan pualng saya berharap bisa kembali menjenguk Misbah. Jika Allah memberikan kemudahan, saya ingin menyumbang sesuatu yang bermanfaat baginya. Saya juga menyesal. Kenapa baru tahu sekarang, setelah pembagian hewan qurban sudah dua hari lewat. Mungkin ini semua ada hikmahnya.

Semoga saya bisa bertamu lagi. Apalagi, kini sudah tinggal satu kampung.

 Inspirasi dari Waroeng Sangkar

Inspirasi dari Waroeng Sangkar

 
Warung sangkar


Waroeng Sangkar menjadi destinasi kuliner baru di Banda Aceh dan Aceh Besar. Berada di kawasan perbukitan, warung ini menjadi inspirasi banyak khalayak. Seperti apa? Berikut ini secuil narasi yang sudah dimuat di Waspada. 


“Assalamualaikum, selamat datang di Waroeng Sangkar, kami mohon tetap mengikuti protokol kesehatan,” tutur ramah seorang sekuriti saat kami masuk ke objek wisata baru di bilangan Beurandeh, Ie Seu-um, Aceh Besar. 


Memakai masker adalah salah satu anjuran di sekuriti yang berkulit legam dan semampai ini. Seketika masker lengket di menutup mulut dan hidung. Lalu kami dipersilahkan mencari tempat parkir yang belum begitu padat. 


“Kalau hari Sabtu dan Minggu, abang harus antre lebih lama. Senin memang tak begitu padat lagi. Paling-paling sisa hari Minggu,” cerita Zamzami (43) kepada saya, Selasa pekan lalu. Dia adalah pemilik Waroeng Sangkar.  


Zami yang lebih karib dipanggil Tami oleh para koleganya adalah seorang pengusaha kuliner sukses. Dia owner Canai Mamak yang cukup tenar di Banda Aceh. Waroeng Sangkar salah satu unit usahanya. 


Memang, menuju Waroeng Sangkar butuh perjuangan. Lokasinya berada di kawasan perbukitan Ie Seu-um, Aceh Besar. Kini daerah itu sudah lebih populer dengan sebutan Barbate. Ya, kawasan Kebun Kurma Barbate, Aceh Besar.


Jaraknya 25 kilometer dari pusat Ibu Kota Provinsi Aceh. Posisi ini cuma berjarak sekira 5 kilometer dari Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Pintu tol Sigli Banda Aceh (Sibanceh) juga memotong jalan kawasan ini. 


Bagi Tami, perbukitan Barbate teramat istimewa. Apalagi titik tempat dia membuka usaha, terlalu gabut untuk berpaling. “Hawanya dingin, pemandangan alam memanja mata. Fokusnya gunung Seulawah, jadi tak akan pernah membosankan” ungkap pria asal Bluek Glee Cut, Indrajaya, Pidie ini. 


Selain pemandangan jejeran bukit dan gunung, dari kejauhan juga terlihat perbukitan yang mulai menghijau dengan pohon kurma. Sejumlah objek wisata keluarga pun muncul di sana, termasuk milik pria yang pernah lima tahun bekerja di Malaysia; mulai dari kuli pasar, hingga pelayan restoran. 


Bukan karena view alam yang apik itu membuat Tami tertarik membuka warung di bawah langit. Tapi ada semangat lain. “Awalnya saya ingin bikin tempat penangkaran burung di sana, murai batu yang populasinya mulai menurun,” cerita Tami. 


Lalu, Tami bercerita cukup detail tentang spesies burung (Aceh: cicem) Murai Batu. Murai yang bahasa ilmiah Copsychus Malabaricus juga dikenal sebagai Kucica Hutan. Ia termasuk ke dalam famili Muscicapidae atau burung cacing.


Kabarnya, Murai Batu mulai berkurang di Aceh, karena pemburuan liar. Akibat permintaan pasar yang juga cukup tinggi, khususnya Pulau Jawa. Harga jualnya juga tidak murah. Melihat kondisi ini, Tami pun miris. Karena itu, ia berusaha memulai “ternak” burung cacing. 


Lokasi yang dipilih sudah pasti kawasan Barbate. Tami pun sudah cukup ahli bin pakar. Boleh dibilang sudah kelas pandit. Pengetahuan akan Murai Buta terbilang mahir. Karena itu, Tami memulai penangkarannya di kawasan tersebut. Ia pun mendidik warga setempat. 


“Awalnya ada tiga orang, tapi gagal. Lalu, saya didik yang lain lagi. Sekarang sudah bisa mengurus. Saat ini ada 25 pasang murai di penangkaran. Jika menentas semua, 50 persen akan saya lepas ke alam bebas untuk berkembang biak lagi,” janji Tami. 


Agar tetap nyaman kerja ke penangkaran, akhirnya Tami membangun rumah kecil “villa” di sana. Arsitekturnya memang bikin adem buat mengusir penat, di tambah lagi view alam yang memanjakan mata. Segar. Sampai di sini belum ada niat Tami buat bikin cafe atau pun restoran. 


Namun nyatanya, jiwa bisnis Tami mencelat dengan sendirinya. Tanpa diminta, cuma dia tinggal kelola saja. “Akhirnya rumah itu saya jadikan warung. Karena di belakangnya ada penangkaran burung, jadilah Warung Sangkar,” urainya. 


Pada prinsipnya, Tami ingin membuat kesan beda buat setiap pengunjung ke warungnya. Konsumen yang datang akan tenang, nyaman dan benar-benar bisa rileks. Menyaksikan panorama alam. Kecuali itu, juga bisa mendapat spot foto yang Instagramable dengan konsep wisata keluarga bernuansa Islami. 


Karena itu, Tami memberi yang terbaik untuk pengunjungnya, mulai dari kualitas menu yang disajikan tergolong bintang lima, hingga sajiannya yang berkelas. “Biasanya, kalau yang pernah datang ke sini, Insya Allah akan balik lagi.” 


Bahkan, sambung dia, akhir pekan itu antrean mengular hingga ke pinggiran jalan. Calon konsumen pun disambut hangat oleh sekuriti dari pintu masuk, seperti lakon pria di awal tulisan ini. “Alhamdullih dari berbagai kalangan sudah pernah singgah,” sebut Tami. 


Bahkan Gubernur Sumatera Utara, Eddy Rahmayadi pernah meudiwana (wisata) ke warung di atas bukit milik Tami. Ia menikmati panorama alam plus rimbunnya pohon kurma yang selalu melambai langit. Anda suka? 

Kali Nyoe Itek Gadoh Aleh Ho...

Kali Nyoe Itek Gadoh Aleh Ho...

Zulhadi alias Adi Bergek | Foto via Habadaily.com
Ketenaran Bergek dengan lagu Indianya cukup menghenyak para seniman dan orang-orang kaget. Booming Bergek yang bernama asli Zulhadi itu melanda anak-anak ban sigom Aceh.

Lagu yang liriknya diambil dari penyanyi Bollywood ini membuat seniman lain membuat parodi. Salah satu parodi musik itu ada di bawah ini.
Lihat video di bawah ini:



 Khuwailid, Talenta Aceh Yang Bersinar di Qatar

Khuwailid, Talenta Aceh Yang Bersinar di Qatar

Khuwailid Mustafa
TALENTA sepakbola turunan Aceh kembali bikin cerita menarik di negeri orang. Kali ini, dari bumi Qatar, nama Aceh kembali bergetar melalui sosok pemain bola. Dia adalah Khuwailid Mustafa (15), pemain berdarah Pidie yang lahir di Lhokseumawe.

Ayah Khuwailid, Mustafa Ibrahim ketika dihubungi Waspada melalui jejaring sosial belum lama ini mengatakan, kini anaknya bermain di salah satu klub terkenal Qatar, Lekhwiya Sport Club.

Disebutkannya, cerita Khuwailid masuk Qatar karena, Mustafa dan keluarga hijrah ke negara itu pada akhir Juni 2000. "Saat itu Khuwailid masih berumur lima bulan," ujar Mustafa yang menyebutkan, sang anak lahir pada 29 Januari 2000 itu.

Mustafa Ibrahim yang beristrikan Yulidar Syasuddin berasal dari Pidie, Sigli. Dia bekerja di salah satu perusahan di daerah setempat. Di Qatar, Mustafa dan keluarganya tinggal di komplek perumahan perusahaan Al Khor Housing Community-Qatar.

Di komplek inilah Khuwailid bersekolah dan mulai menyalurkan hobinya sebagai pemain bola. Disebutkan, pada tahun 2007, Khuwailid yang sudah telah berusia tujuh tahun mulai ikut latihan sepakbola bersama pelatih Muhammad Yunus Bani di komplek perumahan tempat di mana dia tinggal.

Karena sejak kecil prestasi Khuwailid kelihatan cukup menonjol maka ada beberapa club di Qatar menawarkan untuk ikut bergabung dengan klub mereka. Pada Januari 2008 Khuwailid ikut bergabung dengan Al Khor Sport Club.

Usai beberapa bulan latihan bersama klub, ia merasa tidak nyaman dengan klub tersebut, akhirnya Khuwailid Mustafa memutuskan untuk keluar dan kembali berlatih di komplek tempat dia tinggal.

Pada 31 Desember 2010 Khuwailid bersama timnya meraih juara satu 1st AKC Interclub di Qatar dan ia mendapatkan penghargaan sebagai pemain terbaik. Pada saat itulah dua klub ternama di Qatar yaitu Lekhwiya Sport Club dan Al Gharafa Sport Club menawarkan kembali kepada Khuwailid Mustafa untuk segera bergabung dengan klub mereka.

Kata Mustafa, setelah penuh pertimbangan, akhirnya Khuwailid memutuskan untuk bergabung dengan Lekhwiya Sport Club. Setelah ikut bergabung dengan Lekhwiya Sport Club, Khuwailid di percaya sebagai kapten tim.

Pada Maret 2011, Khuwailid mulai mengikuti Qatar Star League yang diikuti 14 klub. Di Liga Qatar U-11 ini lagi-lagi Khuwailid menunjukkan bakatnya. "Itu Liga perdana Khuwailid," ujar sang ayah.

Dan Alhamdulillah, sambung Mustafa, tim yang dibela Khuwailid menduduki peringkat kedua diakhir kompetisi. Ternyata, prestasi apik ini mencuri perhatian dari pengurus Qatar Football Association (QFA).

Sejak tahun 2011 Khuwailid, bergabung dengan Lekhwiya Sport Club dan training di Aspire Academy seminggu lima kali. Masuknya Khuwailid ke Aspire Academy Qatar setelah mendapat rekom dari manajer klub yang menyarankan dia bergabung dan mengikuti training di lembaga itu.

Sebelum Khuwailid, pemain berdarah Aceh lainnya yang lebih dulu berkiprah di negara Timur Tengah itu adalah Syahrizal Mursalin Agri. Dia tercatat bermain di klub asal Qatar, Al-Khor Sports Club.

Syahrizal Mursalin Agri yang kelahiran Lhokseumawe, 8 Agustus 1992 tersebut, sudah berkiprah di tim junior Al-Khor sejak 2009. Ia kini jadi salah satu pemain tim senior klub yang merupakan salah satu kontestan kompetisi kasta tertinggi, Qatar Stars League.

Ayah dari pemain yang akrab disapa Farri ini, Agri Sumara sudah bertahun-tahun tinggal di Qatar. Ia bekerja di sebuah perusahaan minyak di negara tersebut. Talenta Farri ditempa di ASPIRE Academy for Sports Excellence di Doha, sebuah sekolah olahraga milik pemerintah Qatar yang membina atlet-atlet berbakat.

Saat di Aspire, Farri sempat menjalani trial di klub Inggris, Bolton Wanderers pada usia 17 tahun. Selain sebagai pemain bola, Farri juga kuliah di Universitas Stenden, Doha, Qatar. Fans Lionel Messi itu mengambil jurusan International Business Management di sana. [a]
Mulyadi Terpaksa Menggantang Mimpi

Mulyadi Terpaksa Menggantang Mimpi

Mulyadi (kanan) | Foto: acehfootball.com/Eko Densa
MENCINTAI sepakbola tak cukup dengan bermodalkan semangat saja. Punya skill mumpuni belum tentu juga bisa unjuk diri, bila tanpa pihak lain. Tentu saja, tanpa sokongan pihak ketiga, semua berantakan.

Contoh yang sudah terbukti adalah bagaimana berantakannya kompetisi sepakbola di Indonesia setelah tanpa izin keramaian dari pihak keamanan. Izin tak keluar, akibat tanpa dukungan --lebih tepat dibekukannya-- PSSI oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Kasus yang nyaris serupa juga dialami seorang pemuda penuh talenta dari Aceh Jaya. Dia adalah pemain bola. Namanya Mulyadi. Umurnya baru 17 tahun. Dia lahir pada 2 Mei 1998 dari pasangan Anzarmi dan Siti Hasanah. Keluarganya korban tsunami.

"Saat tsunami saya masih berumur 7 tahun. Ibu, kakak dan abang-abang saya meninggal saat tsunami. Saya anak terakhir dari lima bersaudara. Kini, kami tinggal bertiga. Ayag, abang dan saya," cerita Mulyadi kepada Waspada, Minggu (6/9/2015).

Mulyadi masih duduk dikelas II SMA Negeri I Lamno. Seharusnya dia sudah kelas III tahun ini. "Saya tinggal kelas satu tahun, karena tidak sekolah akibat memperkuat tim Pra PON Remaja Aceh 2014," ujar dia.

Ceritanya, saat memperkuat tim sepakbola junior itu dia masih duduk dikelas satu. Dia tinggal kelas karena tak dapat dukungan dari sekolahnya, saat bergabung ke tim Pra PON Remaja Aceh pada tahun 2014.

Padahal, di tim Pra PON Remaja yang dilatih Akhyar Ilyas, Mulyadi didapuk sebagai kapten tim. Kerja kerasnya dan kolega nyaris saja berbuah tiket ke PON Remaja I di Surabaya. Namun, langkah itu terganjal di babak play off, setelah dikerjai tuan rumah Lampung.

Pulang membela nama daerah sampai keluar keringat darah, tak ada apresiasi atau pun dukungan dari banyak pihak. "Surat dispensasi dari PSSI setempat tidak diterima pihak sekolah. Karena tak ada dispensasi, saya dianggap absen," kenang dia.

Karena kondisi itulah dia pun dianggap tak sekolah atau mangkir dari kegiatan belajar mengajar. Akibatnya, saat menerima lapor dia divonis tak naik kelas. Praktis, kondisi ini membuat Mulyadi rugi. Karena sepakbola, dua tetap duduk dikelas dua.

Tim Pra PON Remaja bukan kiprah pertama pemuda kelahiran Gampong Krueng Tunong, Aceh Jaya ini. Dia pernah memperkuat tim Aceh U-21 pada 2013 saat menghadapi Timnas U-19 dalam Tur Nusantara Dua di Stadion Harapan Bangsa. Timnya kalah telah 0-4 dari anak asuh Indra Sjafri.

Kecintaan Mulyadi pada sepakbola tetap berlanjut, meski harus tinggal dibidang pendidikan. Kini, nama pemain belia Persijaya Aceh Jaya dan Lamno FC ini masuk dalam daftar 30 pemain yang lolos seleksi skuad tim Pra PON Aceh.

Ditilik dari segi usia, Mulyadi satu-satunya pemain yang masih berstatus siswa yang lolos seleksi. Padahal, pemain lain sebagian para profesional yang sudah kenyang asam garam di Divisi Utama dan Liga Super Indonesia.

Lolos seleksi membuat Mulyadi kembali girang bukan kepalang. Sedangkan ayahnya, Anzarmi tidak. Lantas dia pun memberi opsi. Pilih sepakbola dengan risiki tinggal kelas lagi atau pilih sepakbola? Berada di antara dua pilihan membuat hati pemain yang beroperasi di sayap kanan ini bimbang.
Vonis sang ayah sudah jelas, selesaikan sekolah. Karena memilih pesan orang tua, maka dengan berat hati dia mundur dari tim Pra PON Aceh. "Seleksi sudah lolos, tapi ayah tidak kasih izin lagi, karena kalau bisa bertahan di tim, harus libur sampai tiga bulan," ujar dia.

Karena pengalaman sebelumnya serta takut tinggal kelas lagi dan juga tak mendapat jaminan untuk kelangsungan pendidikan anaknya, maka sang ayah pun meminta anaknya tak ikut bergabung dengan Pelatda Pra PON Aceh 2015.

Mulyadi pun harus mengantung mimpinya untuk bisa memperkuat tim sepakbola Aceh. Pemain yang mengidolai Mesut Oezil dan Arsenal ini merasa sedih, kesempatan yang sudah terbuka membela tim Pra PON Aceh harus kandas.

Pun begitu, dia mengaku tetap mencintai sepakbola. Meski kesempatan sekarang terbuang percuma, dia memilih menuntaskan pendidikan lebih dulu sesuai dengan harapan sang ayah. "Sekarang saya fokus sekolah dulu," kata pemain yang kerap diorder sebagai pemain diklub-klub antar kampung.

Namun yang sangat disayangkan, potensi Mulyadi ini luput dari lirikan pengelola Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar Daerah (PPLPD) Aceh yang dikelola Dinas Pemuda dan Olahraga Aceh. Padahal, talentanya sudah teruji.

Seharusnya, dia bisa belajar di SMA 9 Banda Aceh, tempat para pemain PPLP Aceh bersekolah. Tapi nyatanya, Mulyadi masih tetap korban tsunami di Aceh Jaya yang tak mendapat kesempatan belajar gratis karena bakat sepakbolanya. Barangkali karena bukan anak pejabat ya...? Nasib-nasib. [a]
 Menggores Damai Di Kanvas Aceh...

Menggores Damai Di Kanvas Aceh...

Masjid Raya Baiturrahman
Ratusan bocah-bocah belasan tahun di Banda Aceh dengan semangat mengikuti lomba melukis. Kali ini bukan melukis tentang tsunami seperti yang marak beberapa bulan silam. Tapi sekarang tentang perdamaian. Menarik memang, ketika damai itu digores anak-anak.

Dulunya, jika anak-anak diajak melukis yang digambar pasti soal senjata, granat dan rumah-rumah yang terbakar. Lalu, ketika musibah dahsyat tsunami menghayak Aceh, giliran gelombang dan orang-orang berlarian ke segala arah yang digambarkan.

Semua itu sudah berlalu, kini mengisi masa damai. Hasil goresan pun berbeda pula. Tidak seperti biasanya. Apik dan menarik. Semua kegiatan tersebut dirangkum guna menyambut 2 tahun perdamaian Aceh pada 15 Agustus nanti. "Bergandeng Tangan, Merenda Damai" itulah tema acara itu.

Tentu saja, hajatan tersebut digelar Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA). Mulai dari Duek Pakat Ulama dan Tokoh Masyarakat Aceh "Pikee Keu Damee" hingga Lomba Lukis dan Menulis Surat Anak untuk Perdamaian Aceh.

Faurizal Moechtar, ST, staf BRA Pusat kepada Waspada, kemarin mengatakan pihaknya juga akan menggelar Tour Perdamaian Keliling Aceh, pada 15 Agustus nanti. Katanya, kegiatan tersebut akan 15 becak yang mulai bergerak dari Banda Aceh.

Untuk tour perdamaian tersebut, para peserta akan mengusung atribut-atribut serta buletin perdamaian ntuk dibagi-bagikan kepada masyarakat. "Kita targetkan 10 hari keliling Aceh itu akan selesai," ujarnya.

Bukan cuma itu, dalam tour tersebut selain abang becak, juga akan ikut puluhan mahasiswa yang akan diawal foreder serta satu unit mobil ambulan. "Setiap masuk kabupaten kota mereka akan disambut dan dilepaskan oleh BRA setempat," sebut Faurizal yang juga Koordinator Bidang Ekonomi BRA.


Menurut mantan aktivis ini, ketika berbicara damai mendengar suara hati anak-anak adalah langkah tidak salah dan bijaksana. Toh, anak-anak paling punya hak menikmati perdamaian ini. Dan itulah yang dilakukan lembaga reintegrasi ini dalam memperingati dua tahun perjanjian damai yang diteken pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

"Saya terharu melihat goresan anak-anak. Apresiasi mereka tentang perdamaian sangat luar biasa," kata Faurizal mengomentari aksi 210 anak-anak di Banda Aceh yang mengikuti lomba lukis dimaksud. Acara yang digelar di kompleks Meuligoe Gubernur Aceh, pada Senin (6/8) petang itu, berlangsung sukses.

Begitu pula dengan Tijana Syarafana, salah satu peserta lomba lukis. Siswa SD Percontohan Lamlagang mengaku senang dengan kondisi Aceh yang sudah damai. "Kemana-mana kita nggak takut lagi, nggak ada suara bom," celotehnya.

Ketua Harian BRA, M Nur Djuli yang menyempatkan diri menengok apresiasi anak-anak di atas kertas menyambut positif kegiatan tersebut. Bukan hanya sebatas itu, dia juga mengaku kagum dan tak menyangka, ketika melihat lukisan karya anak-anak. "Bagus-bagus dan menarik," komentarnya.

Goresan anak-anak yang dilihat Nur Djuli bervariasi, ada yang menggambar orang bersalaman, pos TNI dan GAM, bendera merah putih dan bendera GAM. "Isinya tidak ada lagi unsur-unsur kekerasan dalam pikiran anak-anak serang, semuanya sudah damai. Positif sekali," sebutnya.

Kendati menarik, kita harus menunggu sepekan lagi untuk menunggu siapa pemenangnya. Tapi yang penting damai sudah tersemai.

Dimuat pada: 07/08/07
 Yang Mengalir Seperti Air Di Tanoh Aceh

Yang Mengalir Seperti Air Di Tanoh Aceh

Ilustrasi: Taman Putroe Phang
MINAT remaja Aceh untuk menulis terbilang tinggi. Menyimak dari hasrat, terlihat menggebu-gebu. Membaca contoh tulisan, tersimpan banyak potensi. Jelas ada bakat yang terpendam. Mereka tak ubahnya bak mutiara berkubang lumpur. Lantas, Seuramoe Teumuleh pun mengangkat "mutiara" dalam lumpur itu.

Cukup beralasan ketika Seuramoe Tumuleh II kembali dimulai. Apalagi putra-putri tanoh Aceh itu punya potensi, ide-ide mereka juga apik. Makanya, bila sedikit saja dipoles, mutiara itupun akan berkilau. Mereka punya segudang ide yang terkadang liar. "Saya tak tahu harus memulai dari mana kalau menulis, sementara ide itu banyak sekali," tukas Aida Yunita, kepada saya ketika itu.

Aida adalah satu dari 100 peserta sekolah menulis; Seuramoe Teumuleh II yang digelar Katahati Institute bekerja sama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Pendidikan untuk "tukang tulis" yang gratis itu akan berlangsung selama dua bulan. Desember 2006 lalu, kegiatan serupa juga sudah pernah digelar.

Saya yang mendapat "tugas" menyeleksi hampir 200-an calon peserta pada saat wawancara beberapa waktu lalu, menangkap kesan itu. Paling tidak inspirasi calon-calon "tukang tulis" ini cukup cemerlang. Dan yang tak kalah penting adalah mereka kritis.

Daya kritiknya kuat juga. Tapi dari seratusan remaja, mereka malah tertarik untuk mengkritisi penerapan syariat Islam dan perilaku remaja di Serambi Makkah. Ada apa dengan syariat? Salahkah dia? "Saya tertarik menulis syariat Islam yang lagi susah payahnya diterapkan di Aceh," komentar Nurlaila AR, calon peserta yang saya wawancarai.

Dia tertarik bukan disebabkan alasan klasik, karena Islam sudah membumi di tanoh rencong. Nurlaila mengaku melihat syariat Islam itu sudah seperti "benda" asing di Aceh. Ditambah lagi dengan tingkah aparatur pemerintah yang dianggap tebang pilih dalam menerapkan hukum agama itu.

"Kalau rakyat biasa yang salah, langsung diproses dan dipersulit. Tapi coba kalau kelas menengah ke atas, pasti berlarut-larut. Sungguh itu bukan cara terbaik untuk masyarakat. Kalo begini caranya, rakyat akan mengamuk," ulas Nirna Yanti, mahasiswa sebuah lembaga pendidikan di Banda Aceh ini.

Menyimak komentar warga Keutapang ini, saya teringat Taqwaddin, SH, MS, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Ketua Pemuda Muhammadiyah Aceh ini bilang, syariat Islam di Aceh itu mengandung sifat-sifat air; mencari tempat yang rendah.

"Hukum bagaikan air. Mengalir ke tempat paling rendah, sehingga pada orang rendahan sajalah hukum itu menumpuk," tamsil pria yang juga menamatkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Unsyiah itu. Ironis memang, sejatinya hukum itu berlaku untuk siapa saja, tak peduli dia pejabat atau penjahat.

Tapi, seperti kata Taqwaddin, sebaliknya, hukum itu tidak berlaku bagi orang yang lebih tinggi kedudukan dan jabatannya. "Dengan berbagai dalil, hukum itu seperti menjauh dari yang bersangkutan," urai dia.

Taqwaddin benar. Karena itu pulalah, Safrina, calon peserta lainnya, merasa "tidak bisa" menerima pelaksanaan syariat Islam itu. "Sejak saat diterapkan, saya malah merasa tertantang untuk kucing-kucingan dengan petugas," aku gadis asal Aceh Timur itu.

Akibat "pemaksaan" itulah, Safrina tak pernah merasa peraturan itu menjadi sebuah kewajiban bagi dia, tapi sebaliknya, cuma sebatas formalitas semata. "Kenapa perempuan terus yang disorot," tanya gadis hitam manis ini.

Lain lagi dengan Alvi Chairiah, siswa SMU 3 Banda Aceh yang juga mengikuti kegiatan serupa. Gadis manis ini mengatakan syariat Islam bukan rintangan bagi dia. "Kalau kita berbusana dengan sopan tak perlu takut dengan WH. Kita hanya takut kepada Allah SWT," urai Alvi. WH akronim dari Wilayatul Hisbah yang menjadi semacam polisi syariah.

Nindy Silvie, siswi SMU I Banda Aceh juga tak jauh beda. Sebagai muslimah dia melihat syariah itu kebutuhan. "Tanpa dipaksa pun, kita selalu memakai jilbab kok," ujar siswi yang aktif di OSIS sekolahnya.

Pro kontra masalah syariat Islam, seakan mengalir seperti air juga. Di bendung sana-sini, sesuai dengan kondrat air, dia juga tetap mencari dataran rendah. Meski yang sangat disayangkan adalah penerapannya yang "mengadopsi" gaya air. "Seharusnya semua orang di mata hukum sama," sambung Mu'arif, juga calon peserta yang saya tanyai.

Pada kesempatan yang lain, kalangan ulama mengharapkan penerapan syariat Islam di Aceh tidak boleh gagal, kendati dalam implementasinya banyak kendala yang dihadapi. "Tidak ada istilah gagal syariat Islam di Aceh, ini tanggung jawab kita bersama," kata Tgk. H. Nuruzzahri Yahya, seorang ulama Aceh baru-baru ini.

Kata Wakil I Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) ini, komitmen pemerintah dalam menjalankan syariat Islam di Aceh sudah merupakan sebuah kemajuan. "Di sinilah perlunya dijaga kekompakan agar semua pihak bersatu dalam mengawal jalannya syariat Islam," ujar pria yang kerap disapa Waled Nu itu.

Atas nama bersatu untuk pengawalan, seperti diutarakan ulama dayah ini, tentu kita juga akan menunggu kritikan remaja Aceh yang sedang belajar menjadi "tukang tulis"
di Seuramoe Tumuleh. Akankah mereka juga mengkritik seperti air yang mengalir.

Dipublikasi pada: 29/06/07
 Pesan Moral Rumah Tanpa Jendela

Pesan Moral Rumah Tanpa Jendela

Ilustrasi
RATUSAN pelajar di Banda Aceh mendapat kesempatan menyaksikan Film Rumah Tanpa Jendela. Mereka juga berdiskusi langsung dengan sutradaranya. Film bergenre drama musikal ini mengangkat kisah tentang kehidupan anak jalanan.

"Rumah Tanpa Jendela" yang disutradarai Aditya Gumay dirilis pada 24 Februari lalu. Film ini diangkat dari cerita pendek karya Asma Nadia berjudul Jendela Rara. Film ini dibintangi Raffi Ahmad dan Yuni Shara.

Pemutaran dan Diskusi Film tersebut digelar Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh ini berlangsung di Gedung Sultan Selim II, Kamis (10/11). "Film ini sangat ringan dan penuh pesan moral," kata sang sutradara Aditya Gumay kepada Waspada, kemarin di Banda Aceh.

Kata dia, "Rumah Tanpa Jendela" memotret fenomena sosial nasib tragis anak–anak jalanan yang kurang kasih sayang dan perhatian orang tua sehingga anak berusaha untuk menemukan jati diri dan kehidupannya melawan kerasnya kehidupan di jalanan.

Aditya menjelaskan, setting dan pengambilan gambar dilakukan di daerah Jembatan Merah yang merupakan tempat kumuh dengan populasi anak jalanan terbanyak didaerah tersebut.

Kata Aditya, Banda Aceh adalah kota ke-11 di Indonesia yang melakukan pemutaran film "Rumah Tanpa Jendela". Kecuali itu, film tersebut juga sudah diputar di Hongkong dan Melbroune, Australia.

"Pelajar Australia sangat antusias sekali. Beberapa di antara mereka, katanya, jika sudah selesai pendidikan ingin berkunjung ke daerah kumuh tersebut untuk mengajarkan bahasa Inggris," kata pria kelahiran Jambi, 4 Oktober 1966.

"Rumah Tanpa Jendela", digarap cuma 10 bulan, ini berbeda dengan film-film sejenis yang penggarapannya bisa sampai bertahun-tahun. Meski sesingkat itu, akurasi pemeranan cukup detil digarap, terlebih harus memanfaatkan anak-anak sanggar yang dipimpin Aditya sendiri.

"Saya berharap kondisi dengan banyaknya film ber-genre horor komedi seks yang  ada di tengah-tengah kita, akan sedikit berkurang, dengan film anak-anak seperti ini," katanya.

Sementara, Kepala BPSNT, Djuniat kepada Waspada menyebutkan, film yang mengetengahkan tema sosial secara ringan dan menyenangkan. "Film ini mengandung pesan moral yang sangat sederhana namun perlu ditanamakan kepada generasi muda," ujar dia.

Pada sisi lain, dia menyebutkan, lewat film tersebut, BPSNT menjadikannya sebagai salah satu upaya untuk menjawab isu degradasi moral anak bangsa. "Kita bisa memanfaatkan ini sebagai media informatif dan pendidikan," kata dia.

Dia berharap, agar kegiatan tersebut mampu membuka wawasan bahwa, filam tidak selamanya memuat pesan miring dan negatif. "Film juga dapat dijadikan media untuk menanamkan pemahaman nilai-nilai moral, budi pekerti kepada generasi muda," sebut Djuniat. [a]

Foto: kompasiana
  Magrib Mengaji, Kearifan Yang Terabai

Magrib Mengaji, Kearifan Yang Terabai

Ilustrasi
ACEH memasuki babak baru dalam khasanah menjaga kearifan lokal. Mengaji magrib itu sudah turun temurun berlangsung di tanoh Aceh. Hanya saja dalam tiga dekade terakhir, kebiasaan itu luntur dalam kehidupan warga Serambi Makkah. Kenapa?

Jika dulu, mengaji magrib atas inisiatif keluarga, kini diambil alih pemerintah. Maka umara pun melalui Menteri Agama Republik Indonesia Suryadharma Ali, Minggu (24/7) malam, di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, meresmikan Gerakan Masyarakat Magrib Mengaji.

Pencanangan Gemmar Mengaji, kata Suryadharma bertujuan untuk menghidupkan kembali kebiasaan mengaji selepas magrib. “Gerakan ini untuk menghindari generasi muda agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang menyesatkan,” ujar dia.

Gerakan itu mengacu pada kondisi generasi muda yang kian tak terurus. "Generasi sekarang lumayan banyak yang terjerumus dalam perbuatan tidak terpuji misalnya melawan orang tua dan gurunya di sekolah," kata Suryadharma.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengakui, kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun itu makin merosot. "Akibatnya, kita harus bayar mahal dengan munculnya generasi muda Aceh, baik asli Aceh maupun yang datang dari luar, buta huruf al-Quran,” katanya.

Bicara Magrib mengaji, Tgk H Faisal Aly, seorang ulama dayah di Aceh Besar menilai, langkah pemerintah itu diharapkan bisa mengoptimalkan kembali kebiasaan masyarakat Aceh, yang mulai luntur.

"Bagi Aceh bukan pencananganan, kebiasaan magrib mengaji itu sudah lama hidup di tengah masyarakat. Memang ada beberapa kampung tak optimal lagi," sebut pimpinan dayah ini.

Kata dia, dengan semangat pemerintah itu, dia mengharapkan bisa optimal kembali. "Tapi yang paling penting, bagaimana Pemerintah Aceh mendorong aparat desa untuk membuat langkah strategis," ujar H Faisal Aly.

Menurut Ketua PW NU Aceh ini, langkah jitu itu tak tak cukup dengan pencanangan, jika tak dibuat hal-hal yang mendukung. "Pemerintah Aceh perlu membuat Peraturan Gubernur soal pengaturan waktu kegiatan hiburan, termasuk tivi tidak boleh hidup dari jam enam 6 hingga 8 malam," jelas dia.

Faisal Aly tak menyalahkan konflik, akibat lunturnya kearifan lokal itu. Tapi lebih pada kemauan dan kepedulian orang tua dan anak Aceh yang menipis rasa tanggung jawabnya. "Konflik tak mengganggu balai-balai pengajian, ini lebih pada keluarga yang abai," papar dia.

Tak salah konflik


Pegiat kebudayaan, Sulaiman Tripa menilai kemerosotan itu tidak bisa digolongkan sebab konflik. "Di sini peran orang tua, yang mungkin abai terhadap kehidupan anak, sehingga banyak anak justru tidak mampu baca al-Qur’an," jelas dia.

Lalu, katanya, untuk kehidupan kolektif, mungkin konflik bisa jadi salah satu sebab, dalam hal, khususnya tidak bisa lagi anak-anak mengaji waktu malam karena kondisi waktu itu demikian.

Menurut dia, hal ini seharusnya bisa diantisipasi orangtua secara personal. "Dulu orang tidak malu bila tidak mampu, mereka akan menyerahkan anaknya kepada teungku-teungku untuk dibina secara santun," tuturnya.

Sedangkan orang yang mampu, akan mengajarkan sendiri di rumah. "Sekarang kondisi itu berbeda, karena banyak orang tua tidak peduli dengan ilmu agama anaknya," ungkap Pengajar Hukum dan Masyarakat pada FH Unsyiah ini.

Menyikapi Gemmar Mengaji, Sulaiman melihat gerakan baca al-Qur’an sehabis magrib, penting bagi upaya membangkitkan kembali meunasah sebagai cultural center. "Ini akan menjadi fondasi untuk membangun sistem pendidikan yang menyatu dengan Islam," ujarnya.

Lebih jauh, dosen yang aktif menulis ini menguraikan, bila membuka sejarah Aceh, maka ada hubungan yang erat antara kejayaan Islam dengan upaya-upaya yang dilakukan. "Dulu ada kesadaran menguatkan fondasi terlebih dahulu, baru kemudian memetik kejayaannya," tukasnya.

Dari kacamata Sulaiman, apa yang dilakukan generasi terdahulu, hingga empat abad lebih kejayaannya, patut dihidupkan kembali. "Konon, Belanda sekalipun yang sudah pernah berhasil menduduki Aceh, tapi tidak bisa mengoyahkan kejayaan Islam tersebut," urainya.

Mengulik Magrib mengaji, Sulaiman melihat sebagai sarana pendidikan agama bagi anak-anak. Kata dia, pendidikan tersebut, kemudian dipisahkan menurut fase-fase tertentu. Misalnya anak-anak yang belum siap merantau, ia akan belajar mengaji di meunasah.

Lalu, anak yang lebih kecil lagi, dididik di rumah. Sedangkan yang menanjak remaja, akan memilih meudagang (mencari ilmu di dayah). "Pada intinya orang tua perlu berperan aktif, jangan mengabaikan masalah itu," katanya.

Hal senada diutarakan, Muhammad Yakub Yahya, Direktur TPQ Plus Baiturrahman Banda Aceh. "Fungsi orang tua yang paling penting. Orang tua juga harus menjadi teladan bagi anaknya. Bagaimana anak mau mengaji, kalau orang tuanya masih di depan tivi," urainya.

Yakob menyambut baik Program Gemmar Mengaji tapi baginya yang tak kalah penting juga adalah gerakan moral mematikan televisi saat dan usai magrib. "Ini memang program nasional, tapi di Aceh sudah turun temurun, hanya saja banyak yang mengabaikan," katanya.

Lalu, sarannya, mendidik anak itu harus dimulai sejak dia dalam kandungan. Katanya, selama hamil, sebagian calon ayah dan ibu, sering mendatangi mini market, pusat perbelanjaan, atau café dan lainnya.

Disebutnya, selama mengandung anak, sebagian calon ibu dan ayah, cuma ahli mengotak-atik ponsel dan remot televisi. "Bukan semestinya yang banyak melangkah dan menetap dalam masjid, semestinya harus rajin membuka buku atau kitab yang dianjurkan agama suci," papar Yakob. [a]

Foto: bimasislam.kemenag.go.id