Mulyadi Terpaksa Menggantang Mimpi

Mulyadi Terpaksa Menggantang Mimpi

Mulyadi (kanan) | Foto: acehfootball.com/Eko Densa
MENCINTAI sepakbola tak cukup dengan bermodalkan semangat saja. Punya skill mumpuni belum tentu juga bisa unjuk diri, bila tanpa pihak lain. Tentu saja, tanpa sokongan pihak ketiga, semua berantakan.

Contoh yang sudah terbukti adalah bagaimana berantakannya kompetisi sepakbola di Indonesia setelah tanpa izin keramaian dari pihak keamanan. Izin tak keluar, akibat tanpa dukungan --lebih tepat dibekukannya-- PSSI oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Kasus yang nyaris serupa juga dialami seorang pemuda penuh talenta dari Aceh Jaya. Dia adalah pemain bola. Namanya Mulyadi. Umurnya baru 17 tahun. Dia lahir pada 2 Mei 1998 dari pasangan Anzarmi dan Siti Hasanah. Keluarganya korban tsunami.

"Saat tsunami saya masih berumur 7 tahun. Ibu, kakak dan abang-abang saya meninggal saat tsunami. Saya anak terakhir dari lima bersaudara. Kini, kami tinggal bertiga. Ayag, abang dan saya," cerita Mulyadi kepada Waspada, Minggu (6/9/2015).

Mulyadi masih duduk dikelas II SMA Negeri I Lamno. Seharusnya dia sudah kelas III tahun ini. "Saya tinggal kelas satu tahun, karena tidak sekolah akibat memperkuat tim Pra PON Remaja Aceh 2014," ujar dia.

Ceritanya, saat memperkuat tim sepakbola junior itu dia masih duduk dikelas satu. Dia tinggal kelas karena tak dapat dukungan dari sekolahnya, saat bergabung ke tim Pra PON Remaja Aceh pada tahun 2014.

Padahal, di tim Pra PON Remaja yang dilatih Akhyar Ilyas, Mulyadi didapuk sebagai kapten tim. Kerja kerasnya dan kolega nyaris saja berbuah tiket ke PON Remaja I di Surabaya. Namun, langkah itu terganjal di babak play off, setelah dikerjai tuan rumah Lampung.

Pulang membela nama daerah sampai keluar keringat darah, tak ada apresiasi atau pun dukungan dari banyak pihak. "Surat dispensasi dari PSSI setempat tidak diterima pihak sekolah. Karena tak ada dispensasi, saya dianggap absen," kenang dia.

Karena kondisi itulah dia pun dianggap tak sekolah atau mangkir dari kegiatan belajar mengajar. Akibatnya, saat menerima lapor dia divonis tak naik kelas. Praktis, kondisi ini membuat Mulyadi rugi. Karena sepakbola, dua tetap duduk dikelas dua.

Tim Pra PON Remaja bukan kiprah pertama pemuda kelahiran Gampong Krueng Tunong, Aceh Jaya ini. Dia pernah memperkuat tim Aceh U-21 pada 2013 saat menghadapi Timnas U-19 dalam Tur Nusantara Dua di Stadion Harapan Bangsa. Timnya kalah telah 0-4 dari anak asuh Indra Sjafri.

Kecintaan Mulyadi pada sepakbola tetap berlanjut, meski harus tinggal dibidang pendidikan. Kini, nama pemain belia Persijaya Aceh Jaya dan Lamno FC ini masuk dalam daftar 30 pemain yang lolos seleksi skuad tim Pra PON Aceh.

Ditilik dari segi usia, Mulyadi satu-satunya pemain yang masih berstatus siswa yang lolos seleksi. Padahal, pemain lain sebagian para profesional yang sudah kenyang asam garam di Divisi Utama dan Liga Super Indonesia.

Lolos seleksi membuat Mulyadi kembali girang bukan kepalang. Sedangkan ayahnya, Anzarmi tidak. Lantas dia pun memberi opsi. Pilih sepakbola dengan risiki tinggal kelas lagi atau pilih sepakbola? Berada di antara dua pilihan membuat hati pemain yang beroperasi di sayap kanan ini bimbang.
Vonis sang ayah sudah jelas, selesaikan sekolah. Karena memilih pesan orang tua, maka dengan berat hati dia mundur dari tim Pra PON Aceh. "Seleksi sudah lolos, tapi ayah tidak kasih izin lagi, karena kalau bisa bertahan di tim, harus libur sampai tiga bulan," ujar dia.

Karena pengalaman sebelumnya serta takut tinggal kelas lagi dan juga tak mendapat jaminan untuk kelangsungan pendidikan anaknya, maka sang ayah pun meminta anaknya tak ikut bergabung dengan Pelatda Pra PON Aceh 2015.

Mulyadi pun harus mengantung mimpinya untuk bisa memperkuat tim sepakbola Aceh. Pemain yang mengidolai Mesut Oezil dan Arsenal ini merasa sedih, kesempatan yang sudah terbuka membela tim Pra PON Aceh harus kandas.

Pun begitu, dia mengaku tetap mencintai sepakbola. Meski kesempatan sekarang terbuang percuma, dia memilih menuntaskan pendidikan lebih dulu sesuai dengan harapan sang ayah. "Sekarang saya fokus sekolah dulu," kata pemain yang kerap diorder sebagai pemain diklub-klub antar kampung.

Namun yang sangat disayangkan, potensi Mulyadi ini luput dari lirikan pengelola Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar Daerah (PPLPD) Aceh yang dikelola Dinas Pemuda dan Olahraga Aceh. Padahal, talentanya sudah teruji.

Seharusnya, dia bisa belajar di SMA 9 Banda Aceh, tempat para pemain PPLP Aceh bersekolah. Tapi nyatanya, Mulyadi masih tetap korban tsunami di Aceh Jaya yang tak mendapat kesempatan belajar gratis karena bakat sepakbolanya. Barangkali karena bukan anak pejabat ya...? Nasib-nasib. [a]