Inspirasi dari Waroeng Sangkar

Inspirasi dari Waroeng Sangkar

 
Warung sangkar


Waroeng Sangkar menjadi destinasi kuliner baru di Banda Aceh dan Aceh Besar. Berada di kawasan perbukitan, warung ini menjadi inspirasi banyak khalayak. Seperti apa? Berikut ini secuil narasi yang sudah dimuat di Waspada. 


“Assalamualaikum, selamat datang di Waroeng Sangkar, kami mohon tetap mengikuti protokol kesehatan,” tutur ramah seorang sekuriti saat kami masuk ke objek wisata baru di bilangan Beurandeh, Ie Seu-um, Aceh Besar. 


Memakai masker adalah salah satu anjuran di sekuriti yang berkulit legam dan semampai ini. Seketika masker lengket di menutup mulut dan hidung. Lalu kami dipersilahkan mencari tempat parkir yang belum begitu padat. 


“Kalau hari Sabtu dan Minggu, abang harus antre lebih lama. Senin memang tak begitu padat lagi. Paling-paling sisa hari Minggu,” cerita Zamzami (43) kepada saya, Selasa pekan lalu. Dia adalah pemilik Waroeng Sangkar.  


Zami yang lebih karib dipanggil Tami oleh para koleganya adalah seorang pengusaha kuliner sukses. Dia owner Canai Mamak yang cukup tenar di Banda Aceh. Waroeng Sangkar salah satu unit usahanya. 


Memang, menuju Waroeng Sangkar butuh perjuangan. Lokasinya berada di kawasan perbukitan Ie Seu-um, Aceh Besar. Kini daerah itu sudah lebih populer dengan sebutan Barbate. Ya, kawasan Kebun Kurma Barbate, Aceh Besar.


Jaraknya 25 kilometer dari pusat Ibu Kota Provinsi Aceh. Posisi ini cuma berjarak sekira 5 kilometer dari Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Pintu tol Sigli Banda Aceh (Sibanceh) juga memotong jalan kawasan ini. 


Bagi Tami, perbukitan Barbate teramat istimewa. Apalagi titik tempat dia membuka usaha, terlalu gabut untuk berpaling. “Hawanya dingin, pemandangan alam memanja mata. Fokusnya gunung Seulawah, jadi tak akan pernah membosankan” ungkap pria asal Bluek Glee Cut, Indrajaya, Pidie ini. 


Selain pemandangan jejeran bukit dan gunung, dari kejauhan juga terlihat perbukitan yang mulai menghijau dengan pohon kurma. Sejumlah objek wisata keluarga pun muncul di sana, termasuk milik pria yang pernah lima tahun bekerja di Malaysia; mulai dari kuli pasar, hingga pelayan restoran. 


Bukan karena view alam yang apik itu membuat Tami tertarik membuka warung di bawah langit. Tapi ada semangat lain. “Awalnya saya ingin bikin tempat penangkaran burung di sana, murai batu yang populasinya mulai menurun,” cerita Tami. 


Lalu, Tami bercerita cukup detail tentang spesies burung (Aceh: cicem) Murai Batu. Murai yang bahasa ilmiah Copsychus Malabaricus juga dikenal sebagai Kucica Hutan. Ia termasuk ke dalam famili Muscicapidae atau burung cacing.


Kabarnya, Murai Batu mulai berkurang di Aceh, karena pemburuan liar. Akibat permintaan pasar yang juga cukup tinggi, khususnya Pulau Jawa. Harga jualnya juga tidak murah. Melihat kondisi ini, Tami pun miris. Karena itu, ia berusaha memulai “ternak” burung cacing. 


Lokasi yang dipilih sudah pasti kawasan Barbate. Tami pun sudah cukup ahli bin pakar. Boleh dibilang sudah kelas pandit. Pengetahuan akan Murai Buta terbilang mahir. Karena itu, Tami memulai penangkarannya di kawasan tersebut. Ia pun mendidik warga setempat. 


“Awalnya ada tiga orang, tapi gagal. Lalu, saya didik yang lain lagi. Sekarang sudah bisa mengurus. Saat ini ada 25 pasang murai di penangkaran. Jika menentas semua, 50 persen akan saya lepas ke alam bebas untuk berkembang biak lagi,” janji Tami. 


Agar tetap nyaman kerja ke penangkaran, akhirnya Tami membangun rumah kecil “villa” di sana. Arsitekturnya memang bikin adem buat mengusir penat, di tambah lagi view alam yang memanjakan mata. Segar. Sampai di sini belum ada niat Tami buat bikin cafe atau pun restoran. 


Namun nyatanya, jiwa bisnis Tami mencelat dengan sendirinya. Tanpa diminta, cuma dia tinggal kelola saja. “Akhirnya rumah itu saya jadikan warung. Karena di belakangnya ada penangkaran burung, jadilah Warung Sangkar,” urainya. 


Pada prinsipnya, Tami ingin membuat kesan beda buat setiap pengunjung ke warungnya. Konsumen yang datang akan tenang, nyaman dan benar-benar bisa rileks. Menyaksikan panorama alam. Kecuali itu, juga bisa mendapat spot foto yang Instagramable dengan konsep wisata keluarga bernuansa Islami. 


Karena itu, Tami memberi yang terbaik untuk pengunjungnya, mulai dari kualitas menu yang disajikan tergolong bintang lima, hingga sajiannya yang berkelas. “Biasanya, kalau yang pernah datang ke sini, Insya Allah akan balik lagi.” 


Bahkan, sambung dia, akhir pekan itu antrean mengular hingga ke pinggiran jalan. Calon konsumen pun disambut hangat oleh sekuriti dari pintu masuk, seperti lakon pria di awal tulisan ini. “Alhamdullih dari berbagai kalangan sudah pernah singgah,” sebut Tami. 


Bahkan Gubernur Sumatera Utara, Eddy Rahmayadi pernah meudiwana (wisata) ke warung di atas bukit milik Tami. Ia menikmati panorama alam plus rimbunnya pohon kurma yang selalu melambai langit. Anda suka?