Balada 24 Menit Mantan Idola

Balada 24 Menit Mantan Idola



ADA nyanyian lantang yang menghilang dari fans setia Persiraja. Nyaris sepanjang musim ini, “Fahrizal Dilla… Fahrizal Dilla… kami haus golmu…, apa yang kau tunggu,” menjadi senyap. Padahal, chant itu acap terdengar beberapa tahun lalu. Kini, bunyi chant itu benar-benar padam.
 

Pria bertubuh jangkung ini adalah bomber mumpuni dalam beberapa tahun belakangan. Dia menjadi penggawa yahud di depan kotak penalti. Sepakannya deras dan keras. Lantas, lakab bintang tersemat pada sosok yang akrab dengan jersey 27 itu. 

Tapi, sial baginya, sejak penggantian pelatih, menit tampilnya pun menipis. Ya, musim ini menjadi semacam “puncak” karier baginya. Klimaks. Tak ada gol yang menghujam jala lawan seperti musim lalu. Sebab dia lebih banyak menjadi penghangat bangku cadangan. 

Sinyal kariernya bakal berakhir, tercium pada laga melawan Blitar Bandung United. Bermain di pekan ketujuh Liga 2 musim 2019, Persiraja Banda Aceh sukses mengeksekusi tamunya dengan skor 2-1. 

Selasa Malam 23 Juli 2019, seakan menjadi malam “permaluan” Fahrizal Dillah di depan publik Lampineung yang memadati Stadion H. Dimurthala. Pasalnya, dalam laga itu, sang bintang hanya tampil 24 menit saja. 

Suami dari Kartika Maharani ini baru dimasukkan pada menit 61. Ia menggantikan Irvan Yunus Movu. Masuknya mantan tandem Cristian Bekatal saat Persiraja dibesut Herry Kiswanto itu guna menambah intensitas serangan Lantak Laju. Makanya, saat itu, Nakata dkk bermain dengan dua striker sekaligus di lini depan; 4-4-2.

Nyatanya, perjudian yang dilakukan Hendri tidak berjalan sesuai rencana dan justru membuat Blitar berhasil menyamakan kedudukan. Gol itu pada menit 70, dan itu bukan kesalahan Dillah. 

Lalu, Persiraja kembali unggul di menit 78. Lantas tim pelatih sepakat untuk kembali menarik Dillah guna mengamankan kemenangan.  “Makanya kita sepakat, kita bikin taktik ganti lagi Dillah, masukin (Fery) Komul,” jelas dia. 

Alasannya, di beberapa menit akhir, Persiraja memakai dua gelandang bertahan sehingga hasilnya memang tidak ada lagi peluang-peluang berbahaya dari lawan. 

Memang, Hendri Susilo tak layak disalahkan. Dia memilih pemain yang siap sesuai dengan taktik yang sudah dia racik. “Saya harap Dillah (Fahrizal) bermain seperti di latihan. Ternyata tidak seperti yang saya harapkan,” tukas Hendri kepada awak media. 

“Malam ini secara tim (permainan) terburuk Persiraja menurut saya. Tapi dalam sepakbola yang penting hasilnya, yang penting kita menang,” ujar Pelatih Persiraja, Hendri Susilo, usai pertandingan.

Namun Hendri tidak menyalahkan pemain atas permainan buruk yang ditampilkan. Ia menilai wajar pemainnya bermain buruk setelah menjalani enam laga sebelumnya dengan intensitas tinggi dan tantangan yang berbeda.  

Balada tentang Dillah tak berakhir sampai di situ. Bahkan ketika menjawab pertanyaan media dalam sesi jumpa pers sebelum laga lawan Persibat Batang, Hendri Susilo bilang begini.

“Saya jelaskan, dia (Fahrizal) indisipliner. Saya bawa ke tur tak mau, pemain cedera, dia saya panggil tak mau, why…? Itu berarti hatinya sudah nggak di…,” tukas mantan pelatih Persisam era ISL yang sengaja menggantung ucapannya. 

Fahrizal sendiri tak ingin memperpanjang polemik. Putra Ubaydillah dan Rusbayani ini memilih kalem. Dia mengaku mungkin saat ini bukan “rezekinya” di Persiraja. 

Memang, terlepas dari segala drama yang sedang mendera pemain kelahiran 14 April 1990. Sokongan semangat datang dari para pendukung Lantak Laju. 

“Tetap semangat abang, semangat pantang menyerah demi menggapai cita-cita abang. Pohon yang tinggi akan semakin kencang pula angin di atasnya,” tulis M Reza Saputra.

“Kata-kata ini akan melekat sampai kapan pun bagi kami Skullers dan pecinta Persiraja!. Karena kita pernah berjuang bersama-sama menuju kasta tertinggi Indonesia,”

Sementara akun resmi Skull juga ikut memberi support kepada idolanya. “Terima kasih atas dedikasimu predator, sejarah akan selalu mengenangmu. Semoga ke depan kita bisa berjuang bersama lagi.” Semoga!. 
Fachri Husaini, Maestro dari Pabrik Pupuk

Fachri Husaini, Maestro dari Pabrik Pupuk




Tim Nasional Indonesia usia U-18 berhasil merebut posisi tiga Piala AFF U-18 2019. Keberhasilan itu tak terlepas dari racikan Fachri Husaini. Meski belum berhasil menjadi kampiun, tapi kiprah Garuda Muda patut diapreasiasi. Lalu, siapa dia. 

Pelatih Timnas U-19 ini akrab disapa Fachri. Dia pria kelahiran 27 Juli 1965 di  Lhokseumawe, Aceh. Saat masih bermain, Fachri adalah seorang maestro lini tengah pada era 1990-an. Ban kapten selalu tersemat pada dirinya.

Pada era tersebut, Fachri juga dikenal sebagai bintang tim nasional Indonesia. Tugasnya mengatur irama permainan timnya. Posisinya gelandang. Bukan cuma di timnas, di klub yang pernah dibelanya, ia juga beroprasi sebagai seorang playmaker.

Dalam ranah sepakbola, ia lebih identik dengan tim Pupuk Kaltim karena sembilan musim dia membela PKT (1992-2001). Namun prestasi terbaik Fachry bersama PKT hanyalah finalis Liga Indonesia pada musim 1999/2000. Sebelumnya, ia memperkuat Petrokimia (sekarang menjadi Gresik United), Lampung Putera, dan Bina Taruna. 

Pada tahun 1997, ia tampil membela timnas Indonesia pada ajang SEA Games 1997 di Jakarta. Indonesia yang ketika itu dilatih Henk Wullems bertemu dengan Thailand dalam perebutan medali emas. Sayang, Indonesia gagal di final melawan Thailand. Garuda kalah adu penalti. Fachri sudah menampilkan performa terbaiknya dalam laga itu. 

Menjadi pelatih

Usai puas menjadi pemain. Akhirnya Fachri mengikuti kursus kepelatihan. Ia mengantongi sertifikat C-1. Sempat menjadi pelatih Diklat Manado dan asisten pelatih Bontang, akhirnya ia ditunjuk sebagai asisten pelatih Timnas U-23 dan Timnas senior tahun 2004. 

Saat itu Fachri menimba ilmu langsung dari pelatih timnas Peter Withe. 
Hal itu pula yang membuat dirinya ditunjuk menjadi pelatih Tim PON XVII oleh tuan rumah Kaltim tahun 2008.

Tim racikan Fachri hanya berhasil menjadi juara ketiga saat mengikuti PON XVII di Kaltim. Kondisi tersebut membuat pihak Bontang FC tertarik dan langsung merekrutnya sebagai pelatih kepala. 

Di sini, Fachri hanya membuat Bontang FC tampil menempati posisi 11 dan 13 klasemen dalam dua tahun bergulirnya Liga Super Indonesia. Ia memang dikenal sebagai sosok pelatih yang potensial. 

Kompetisi ISL musim 2010/11 ia memang gagal menyelamatkan Bontang FC dari degradasi. Namun, dedikasi yang diberikannya terhadap klub patut diacungi jempol. 

Di saat krisis keuangan mendera klub dan pembayaran gaji para pemain yang terkatung-katung selama berbulan-bulan, Fachri Husaini tetap setia bersama klub.    

Pada tahun 2014, Fachri ditunjuk oleh PSSI untuk menangani Timnas U-17 dan tahun berikutnya ia menjabat pelatih Timnas U-19. Kegigihannya menjadi pelatih, Fachri Husaini kembali diminta menangani Timnas U-16. 

Fachry mulai memberi bukti. Ia berhasil mengantarkan Timnas Indonesia juara pada turnamen Tien Phong Plastic Cup 2017 yang digelar di Vietnam. Tak hanya juara, Timnas juga menyabet penghargaan lainya. Pemain terbaik (Hamsah Lestaluhu), top skor (Rendy Juliansyah), pelatih terbaik (Fachri Husaini), dan tim paling fair play. 

Dengan keberhasilan ini, banyak pecinta sepakbola tanah air berharap pada pria 51 tahun ini dapat membawa Indonesia juara pada turnamen Piala AFF U-16 2017 di Thailand. 

Mundur 

Sebelum juara di Negeri Gajah Putih, sebenarnya pada akhir April 2016, pria berkepala plontos ini sempat mundur dari dunia sepak bola. Ia ingin fokus pada keluarga serta pekerjaannya di PT Pupuk Kaltim, Bontang.

Ini terjadi akibat Fachri kecewa pada sepak bola Indonesia yang kala itu karut-marut. Akibat situasi yang memanas antara Menpora RI dan PSSI, sanksi FIFA pun jatuh pada akhir Mei 2015. Imbasnya, timnas U-16 dan U-19 yang sudah dilatih Fachri untuk Piala AFF U-16 dan U-19 2015, dibubarkan, karena timnas dilarang beraktivitas di kancah sepak bola internasional. Kondisi ini membuat dia amat kecewa. 

Sanksi FIFA dicabut pada 13 Mei 2016. Fachri tak bergeming. Timnas pun dilatih Eduard Tjong untuk tampil di Piala AFF U-19 2016. Akhir, dia bersedia kembali aktif di sepak bola Indonesia dengan menerima penunjukkan dirinya sebagai pelatih kepala Timnas Indonesia U-16. 

Selain itu kondisi sepak bola di Tanah Air yang makin kondusif ikut memperkuat niat Fachri kembali ke pentas sepak bola negeri ini. Meski sudah menerima tawaran jadi pelatih Timnas Indonesia U-16 lagi, Fachri mengaku masih memiliki ganjalan. Apalagi bila bukan terkait urusan pekerjaannya di PT Pupuk Kaltim.

Sebagai karyawan, Fachri Husaini menyebut tidak bisa meninggalkan tugas dan kewajibannya di PT Pupuk Kaltim, meski beberapa opsi dimilikinya. Ia kemudian, berkonsultasi dengan keluarga untuk mengambil keputusan terbaik. Ia melatih lagi hingga kini. [dari berbagai sumber]
Farid, Tokoh Bersahaja dari Pidie Untuk Kutaraja

Farid, Tokoh Bersahaja dari Pidie Untuk Kutaraja

Ust Farid Nyak Umar dan Hj Illiza | Foto via habadaily.com
FARID Nyak Umar adalah tokoh muda yang sudah tak asing lagi di Banda Aceh. Selain dikenal sebagai ustazd yang acap mengisi khutbah Jumat di masjid-masjid, Farid juga dikenal sebagai pribadi yang bersahaja.

Tokoh politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kota Banda Aceh ini, dikenal sebagai pribadi yang bersih dan santun. Pekerja keras serta giat membela kepentingan masyarakat. Terakhir, beliau adalah Ketua Komisi D DPRK Banda Aceh.

Perjalanan karier politik pria kelahiran Yaman Barat, Beureunuen, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie pada 30 Juni 1978 ini begitu apik. Ia pernah menjadi anggota dewan di usia yang masih belia. Ya, Farid Nyak Umar pernah menjadi wakil rakyat di DPRK Banda Aceh saat ia berumur 24 tahun, tepatnya pada pemilu 2004 sebelum Tsunami.

Dan Farid Nyak Umar juga sebagai salah seorang anggota dewan, bersama dengan Pemko Banda Aceh terlibat secara langsung dalam penataan kembali Kota Banda Aceh saat itu, khususnya yang berkaitan dengan tugasnya sebagai wakil rakyat.

Dengan segudang pengalaman. Maka tak heran Farid memahami persoalan Banda Aceh secara baik, sampai saat ini. Dari persoalan terkait kualitas pelayanan publik di Banda Aceh, PDAM, Kemacetan, PLN, Pendidikan, Kesehatan hingga persoalan-persoalan sosial.

Bila sempat berdiskusi dengan Farid, maka anda akan melihat cakrawala dan wawasan Farid yang luas seputar kota Banda Aceh dengan segala dinamikanya. Maka tidak heran, jika ia sangat paham.

Alhamdulillah, kiprah panjang inilah yang kemudian membawanya mendapat kepercayaan masyarakat agar ia bisa terlibat langsung dan lebih jauh dalam mengurus kepentingan publik.

Lantas karena itulah, Farid mendapat kepercayaan untuk mendampingi Hj Illiza Sa’aduddin Djamal sebagai calon Wakil Walikota Banda Aceh untuk periode 2017-2022.

Sebagai pribadi berakhlakul karimah, Farid Nyak Umar lahir dari keluarga yang berpendidikan. Orang tuanya H Nyak Umar Hasan dan Hj Johari Abdullah menempatkan pendidikan dan hubungan sosial (silaturrahmi) dalam koridor tertinggi.

Farid anak ketujuh dari 11 bersaudara yang sejak kecil mengenyam pendidikan di SD Negeri No. 3 Beureunuen Kec. Mutiara. Di sekolah yang dikenal dengan nama SD Boh Itek ini, Farid langganan juara kelas.

Bio Data
Nama Lengkap                                  : Farid Nyak Umar, ST
Tempat/Tgl Lahir                              : Yaman Barat, Beureunuen, Pidie 20 Juni 1978
Pekerjaan                                           : Mantan Ketua Komisi D DPRK Banda Aceh
Nama Orang Tua                              :
1.            Ayah                                   : H Nyak Umar Hasan (Alm)
2.            Ibu                                      : Hj Johari Abdullah (AA)
Saudara Kandung                             :  Azhar NU, Sri Suryani, Muhammad Iqbal, Sri Evi NU, Mutia NU, Taufik NU, Azizah, Putri Chairani, Baihaqi, Maisarah

Riwayat Pendidikan

SD Negeri No. 3 Beureunuen Kec. Mutiara Kab. Pidie
SMP Negeri Beureunuen, Kec. Mutiara, Kab. Pidie
SMA Negeri 3 Banda Aceh
S1 : Fakultas Teknik Unsyiah Jurusan Teknik Sipil, Bidang Studi Hidroteknik
S2 : Program PPS Unsyiah Prodi Magister Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (IESP)

Riwayat Organisasi

Wakil Ketua Umum DPD PKS Kota B.Aceh (2010-2015)
Ketua Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP) Kota B. Aceh (2012-2014)
Sekretaris Komisi C DPRK Banda Aceh (2007-2009)
Sekretaris Fraksi PKS DPRK Banda Aceh (2007-2009)
LPPD Al-Ishlah Kota B.Aceh (Muballigh/2000-sekarang)
Kabid BAPILU DPD PKS Kota Banda Aceh (2005-2006)
Kabid LMT TRUSTCO Kota Banda Aceh (2003-2005)
Ketua DPC Partai Keadilan  Kec. Syiah Kuala (2001-2003)
Kabid Kaderisasi DPRa Jeulingke, Syiah Kuala (1999-2001)
Ketua DPC PKS Kecamatan Syiah Kuala (2003-2005)
Kaderisasi KAMMI Aceh (2000-2002)
Presidium Puskomda FSLDK Aceh (2000-2001)
Presidium Puskomda FSLDK Aceh (2000-2001)
Sekum Himpunan Mahasiswa Hidroteknik FT USK (2000-2001)
Ketua Umum FUAT LDK Fakultas Teknik Unsyiah (1999-2000)
Kabid Kerohanian BEM Fakultas Teknik Unsyiah (1999-2000)
Kabid Kreatifitas Mushalla Al-Hadid FT Unsyiah (1998-1999)
Direktur TPA Al-Wustha Dusun Rawa Sakti Gampong Jeulingke (2000-2002)
Ketua IV Ikatan Remaja Masjid (IRM) Al-Wustha Perumnas Jeulingke (1996-1998)
Indonesia Karate Do (INKADO/1994-1996)
Ikatan Siswa Kader Dakwah (ISKADA) Aceh (1994-1996)

Riwayat Pekerjaan

Tenaga Ahli Fraksi PKS DPRK Banda Aceh (2009 s.d 2013)
Anggota DPRK Banda Aceh (2004-2009)
Trainer LMT TRUSTCO Banda Aceh (2003-2005)
Staf Pengajar STKIP Bina Tunas Bangsa NAD (2003-2004)

Pengalaman di DPRK Banda Aceh

1. Tenaga Ahli Fraksi PKS DPRK Banda Aceh (2010-2013)
2. Anggota DPRK Banda Aceh Periode 2004-2009
3. Sekretaris Komisi C (Bidang Pembangunan) DPRK B. Aceh (2007-2009)
4. Sekretaris Fraksi PKS DPRK Banda Aceh (2007-2009)
5. Ketua beberapa Panitia Khusus (Pansus) DPRK Banda Aceh (2005-2009)
6. Anggota Panitia Anggaran DPRK Banda Aceh (2004-2009)
7. Alumni Pendidikan Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) RI (Jakarta, 2007)

Media sosial:
Web            : http://faridnyakumar.com/
Facebook    : Farid Nyak Umar
Twitter        : @Faridibnuumar
Instagram    : @faridnyakumar
Renungan dari Emha Ainun Najib

Renungan dari Emha Ainun Najib

Emha Ainun Nadjib | Foto via caknun.com
Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun

Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Kemenag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas.

Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam – harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen.

Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya.

Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam.
Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam.
Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen.
Kalau Amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen.
Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikat lah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.

“Agama” yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam.

Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.
Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia.

Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.

Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.

Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur’an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia.

Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.

Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi.

Seorang teman menyapa: “Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis ‘gitu…”

Lho kok Arab bukan etnis?

Bukan !

Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam.
Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam.

Sama- sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.

Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya.

Kalau Gipsy King mentransfer kasidah “Yarim Wadi-sakib…”, itu universal namanya.

Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.

Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradaban yang fasiq dan penuh dhonn (prasangka) kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya.

Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam.

*Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan _diselenggarakan_ sendiri oleh kaum Muslimin* yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.

*"Al-Islamu mahjubun bil-muslimin". Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri.*

Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor – maka akan meledak.

*Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera merevisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama*.

Kita perlu menyelenggarakan ‘sidang pleno’ yang transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. _*Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan*_.
__
*Dari buku "Iblis Nusantara Dajjal Dunia" karya Emha Ainun Nadjib
Koleksi Menang KO Mike Tyson

Koleksi Menang KO Mike Tyson

Mike Tyson
Mike Tyson adalah mantan juara kelas berat di dunia dan memegang rekor sebagai petinju termuda yang memenangkan gelar WBC, WBA dan IBF pada saat berumu 20 tahun, empat bulan, dan 22 hari

Berikut ini rekaman Tyson yang memenangkan banyak pertarungan sengit.


Kali Nyoe Itek Gadoh Aleh Ho...

Kali Nyoe Itek Gadoh Aleh Ho...

Zulhadi alias Adi Bergek | Foto via Habadaily.com
Ketenaran Bergek dengan lagu Indianya cukup menghenyak para seniman dan orang-orang kaget. Booming Bergek yang bernama asli Zulhadi itu melanda anak-anak ban sigom Aceh.

Lagu yang liriknya diambil dari penyanyi Bollywood ini membuat seniman lain membuat parodi. Salah satu parodi musik itu ada di bawah ini.
Lihat video di bawah ini:



 Khuwailid, Talenta Aceh Yang Bersinar di Qatar

Khuwailid, Talenta Aceh Yang Bersinar di Qatar

Khuwailid Mustafa
TALENTA sepakbola turunan Aceh kembali bikin cerita menarik di negeri orang. Kali ini, dari bumi Qatar, nama Aceh kembali bergetar melalui sosok pemain bola. Dia adalah Khuwailid Mustafa (15), pemain berdarah Pidie yang lahir di Lhokseumawe.

Ayah Khuwailid, Mustafa Ibrahim ketika dihubungi Waspada melalui jejaring sosial belum lama ini mengatakan, kini anaknya bermain di salah satu klub terkenal Qatar, Lekhwiya Sport Club.

Disebutkannya, cerita Khuwailid masuk Qatar karena, Mustafa dan keluarga hijrah ke negara itu pada akhir Juni 2000. "Saat itu Khuwailid masih berumur lima bulan," ujar Mustafa yang menyebutkan, sang anak lahir pada 29 Januari 2000 itu.

Mustafa Ibrahim yang beristrikan Yulidar Syasuddin berasal dari Pidie, Sigli. Dia bekerja di salah satu perusahan di daerah setempat. Di Qatar, Mustafa dan keluarganya tinggal di komplek perumahan perusahaan Al Khor Housing Community-Qatar.

Di komplek inilah Khuwailid bersekolah dan mulai menyalurkan hobinya sebagai pemain bola. Disebutkan, pada tahun 2007, Khuwailid yang sudah telah berusia tujuh tahun mulai ikut latihan sepakbola bersama pelatih Muhammad Yunus Bani di komplek perumahan tempat di mana dia tinggal.

Karena sejak kecil prestasi Khuwailid kelihatan cukup menonjol maka ada beberapa club di Qatar menawarkan untuk ikut bergabung dengan klub mereka. Pada Januari 2008 Khuwailid ikut bergabung dengan Al Khor Sport Club.

Usai beberapa bulan latihan bersama klub, ia merasa tidak nyaman dengan klub tersebut, akhirnya Khuwailid Mustafa memutuskan untuk keluar dan kembali berlatih di komplek tempat dia tinggal.

Pada 31 Desember 2010 Khuwailid bersama timnya meraih juara satu 1st AKC Interclub di Qatar dan ia mendapatkan penghargaan sebagai pemain terbaik. Pada saat itulah dua klub ternama di Qatar yaitu Lekhwiya Sport Club dan Al Gharafa Sport Club menawarkan kembali kepada Khuwailid Mustafa untuk segera bergabung dengan klub mereka.

Kata Mustafa, setelah penuh pertimbangan, akhirnya Khuwailid memutuskan untuk bergabung dengan Lekhwiya Sport Club. Setelah ikut bergabung dengan Lekhwiya Sport Club, Khuwailid di percaya sebagai kapten tim.

Pada Maret 2011, Khuwailid mulai mengikuti Qatar Star League yang diikuti 14 klub. Di Liga Qatar U-11 ini lagi-lagi Khuwailid menunjukkan bakatnya. "Itu Liga perdana Khuwailid," ujar sang ayah.

Dan Alhamdulillah, sambung Mustafa, tim yang dibela Khuwailid menduduki peringkat kedua diakhir kompetisi. Ternyata, prestasi apik ini mencuri perhatian dari pengurus Qatar Football Association (QFA).

Sejak tahun 2011 Khuwailid, bergabung dengan Lekhwiya Sport Club dan training di Aspire Academy seminggu lima kali. Masuknya Khuwailid ke Aspire Academy Qatar setelah mendapat rekom dari manajer klub yang menyarankan dia bergabung dan mengikuti training di lembaga itu.

Sebelum Khuwailid, pemain berdarah Aceh lainnya yang lebih dulu berkiprah di negara Timur Tengah itu adalah Syahrizal Mursalin Agri. Dia tercatat bermain di klub asal Qatar, Al-Khor Sports Club.

Syahrizal Mursalin Agri yang kelahiran Lhokseumawe, 8 Agustus 1992 tersebut, sudah berkiprah di tim junior Al-Khor sejak 2009. Ia kini jadi salah satu pemain tim senior klub yang merupakan salah satu kontestan kompetisi kasta tertinggi, Qatar Stars League.

Ayah dari pemain yang akrab disapa Farri ini, Agri Sumara sudah bertahun-tahun tinggal di Qatar. Ia bekerja di sebuah perusahaan minyak di negara tersebut. Talenta Farri ditempa di ASPIRE Academy for Sports Excellence di Doha, sebuah sekolah olahraga milik pemerintah Qatar yang membina atlet-atlet berbakat.

Saat di Aspire, Farri sempat menjalani trial di klub Inggris, Bolton Wanderers pada usia 17 tahun. Selain sebagai pemain bola, Farri juga kuliah di Universitas Stenden, Doha, Qatar. Fans Lionel Messi itu mengambil jurusan International Business Management di sana. [a]
Mulyadi Terpaksa Menggantang Mimpi

Mulyadi Terpaksa Menggantang Mimpi

Mulyadi (kanan) | Foto: acehfootball.com/Eko Densa
MENCINTAI sepakbola tak cukup dengan bermodalkan semangat saja. Punya skill mumpuni belum tentu juga bisa unjuk diri, bila tanpa pihak lain. Tentu saja, tanpa sokongan pihak ketiga, semua berantakan.

Contoh yang sudah terbukti adalah bagaimana berantakannya kompetisi sepakbola di Indonesia setelah tanpa izin keramaian dari pihak keamanan. Izin tak keluar, akibat tanpa dukungan --lebih tepat dibekukannya-- PSSI oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Kasus yang nyaris serupa juga dialami seorang pemuda penuh talenta dari Aceh Jaya. Dia adalah pemain bola. Namanya Mulyadi. Umurnya baru 17 tahun. Dia lahir pada 2 Mei 1998 dari pasangan Anzarmi dan Siti Hasanah. Keluarganya korban tsunami.

"Saat tsunami saya masih berumur 7 tahun. Ibu, kakak dan abang-abang saya meninggal saat tsunami. Saya anak terakhir dari lima bersaudara. Kini, kami tinggal bertiga. Ayag, abang dan saya," cerita Mulyadi kepada Waspada, Minggu (6/9/2015).

Mulyadi masih duduk dikelas II SMA Negeri I Lamno. Seharusnya dia sudah kelas III tahun ini. "Saya tinggal kelas satu tahun, karena tidak sekolah akibat memperkuat tim Pra PON Remaja Aceh 2014," ujar dia.

Ceritanya, saat memperkuat tim sepakbola junior itu dia masih duduk dikelas satu. Dia tinggal kelas karena tak dapat dukungan dari sekolahnya, saat bergabung ke tim Pra PON Remaja Aceh pada tahun 2014.

Padahal, di tim Pra PON Remaja yang dilatih Akhyar Ilyas, Mulyadi didapuk sebagai kapten tim. Kerja kerasnya dan kolega nyaris saja berbuah tiket ke PON Remaja I di Surabaya. Namun, langkah itu terganjal di babak play off, setelah dikerjai tuan rumah Lampung.

Pulang membela nama daerah sampai keluar keringat darah, tak ada apresiasi atau pun dukungan dari banyak pihak. "Surat dispensasi dari PSSI setempat tidak diterima pihak sekolah. Karena tak ada dispensasi, saya dianggap absen," kenang dia.

Karena kondisi itulah dia pun dianggap tak sekolah atau mangkir dari kegiatan belajar mengajar. Akibatnya, saat menerima lapor dia divonis tak naik kelas. Praktis, kondisi ini membuat Mulyadi rugi. Karena sepakbola, dua tetap duduk dikelas dua.

Tim Pra PON Remaja bukan kiprah pertama pemuda kelahiran Gampong Krueng Tunong, Aceh Jaya ini. Dia pernah memperkuat tim Aceh U-21 pada 2013 saat menghadapi Timnas U-19 dalam Tur Nusantara Dua di Stadion Harapan Bangsa. Timnya kalah telah 0-4 dari anak asuh Indra Sjafri.

Kecintaan Mulyadi pada sepakbola tetap berlanjut, meski harus tinggal dibidang pendidikan. Kini, nama pemain belia Persijaya Aceh Jaya dan Lamno FC ini masuk dalam daftar 30 pemain yang lolos seleksi skuad tim Pra PON Aceh.

Ditilik dari segi usia, Mulyadi satu-satunya pemain yang masih berstatus siswa yang lolos seleksi. Padahal, pemain lain sebagian para profesional yang sudah kenyang asam garam di Divisi Utama dan Liga Super Indonesia.

Lolos seleksi membuat Mulyadi kembali girang bukan kepalang. Sedangkan ayahnya, Anzarmi tidak. Lantas dia pun memberi opsi. Pilih sepakbola dengan risiki tinggal kelas lagi atau pilih sepakbola? Berada di antara dua pilihan membuat hati pemain yang beroperasi di sayap kanan ini bimbang.
Vonis sang ayah sudah jelas, selesaikan sekolah. Karena memilih pesan orang tua, maka dengan berat hati dia mundur dari tim Pra PON Aceh. "Seleksi sudah lolos, tapi ayah tidak kasih izin lagi, karena kalau bisa bertahan di tim, harus libur sampai tiga bulan," ujar dia.

Karena pengalaman sebelumnya serta takut tinggal kelas lagi dan juga tak mendapat jaminan untuk kelangsungan pendidikan anaknya, maka sang ayah pun meminta anaknya tak ikut bergabung dengan Pelatda Pra PON Aceh 2015.

Mulyadi pun harus mengantung mimpinya untuk bisa memperkuat tim sepakbola Aceh. Pemain yang mengidolai Mesut Oezil dan Arsenal ini merasa sedih, kesempatan yang sudah terbuka membela tim Pra PON Aceh harus kandas.

Pun begitu, dia mengaku tetap mencintai sepakbola. Meski kesempatan sekarang terbuang percuma, dia memilih menuntaskan pendidikan lebih dulu sesuai dengan harapan sang ayah. "Sekarang saya fokus sekolah dulu," kata pemain yang kerap diorder sebagai pemain diklub-klub antar kampung.

Namun yang sangat disayangkan, potensi Mulyadi ini luput dari lirikan pengelola Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar Daerah (PPLPD) Aceh yang dikelola Dinas Pemuda dan Olahraga Aceh. Padahal, talentanya sudah teruji.

Seharusnya, dia bisa belajar di SMA 9 Banda Aceh, tempat para pemain PPLP Aceh bersekolah. Tapi nyatanya, Mulyadi masih tetap korban tsunami di Aceh Jaya yang tak mendapat kesempatan belajar gratis karena bakat sepakbolanya. Barangkali karena bukan anak pejabat ya...? Nasib-nasib. [a]