Iftar dan Generasi Jong Aceh

Iftar dan Generasi Jong Aceh




x

SEBUAH ajakan iftar atau berbuka puasa masuk ke telepon pintar saya. Undangan tersebut masuk bakda Zuhur. Agak berat buat menjawab. Karena, selama puasa tahun ini saya fokus iftar di rumah. 

Bersama keluarga. Anak pertama saya yang berumur 10 tahun, ingin ayahnya ada di meja makan saat sirene bunyi. Itu saja.

Tapi, undangan kali ini beda. Sulit ditolak. Meski yang undang bukan pejabat atau pun wakil rakyat. Undangan ini datang dari Teuku Ade Ferdian. Pelaku dan pembina sepak bola di Banda Aceh. Dia adalah founder Jong Aceh Football Academy. Disingkat Jong Aceh FA.

Passion atau gairah saya memang ada di sepakbola. Itu sudah lama mendarah daging. Alhamdulillah dengan passion itu pula, saya akrab, dekat dengan seorang anak yang ditemukan saat bencana tsunami 2004 mengenakan baju timnas Portugal. Martunis namanya.

Kala itu, Martunis kecil seakan menjadi gambaran anak-anak di Aceh yang hidupnya akrab dengan sepak bola. Membranding seorang penyintas tsunami itu saya lakukan tanpa lelah. Framing yang saya rakit, — dibantu rekan-rekan media — yang lain, Alhamdulillah sukses mendunia. Meski kelak dia gagal menenuhi harapan. Gagal menjadi pemain bola.

Gagal bukan karena tak punya kesempatan. Tapi dia gagal memanfaatkan peluang gergasi itu. Padahal, ia bisa akrab dengan bintang sepakbola dunia, Cristiano Ronaldo dan dicintai rakyat Portugal, tapi dia gagal memanfaatkan momen langka itu. Akhirnya, semua kerja keras saya buyar. Menjadi pemain bola gagal. Kini, dia malah “terjerumus” dalam dunia pertik-tokan alias selebgram.

Itu cerita usang. Sehingga tak menarik lagi kita kupas dari sisi sepakbolanya. Tapi entah dari segmen selebgram. Mungkin saja menari, bisa juga tidak. Tergantung dari kacamata mana kita menilainya.

Tapi, cerita ditulisan ini masih tetap terkait dengan passion tadi. Ketika saya menerima undangan iftar dari pertinggi Jong Aceh FA, tak ada pilihan lain. Cuma satu kata. Ikut hadir. “Insya Allah coach,” jawab saya.

Kenapa? Karena Jong Aceh adalah salah satu akademi sepak bola. Mereka kontinue mendidik bakat-bakat sepak bola. Secara kelembagaan solid. Bahkan, pelatih level nasional, Iwan Setiawan acap menjadikan Jong Aceh FA ini sebagai role model dalam pembinaan.

Kurikulum pendidikannya mantap. Sejak dini, peserta didik — khususnya pemain bola yang masih bocah-bocah — diajarkan attitude, sopan santun, bukan sopan santuy yaa, serta konsep dasar menjadi pemain bola. “Konsep sepak bola usia muda, bukan kemenangan yang dicari,” tukas Teuku Ade Ferdian.

“Tapi, bagaimana anak-anak pada level ini bisa bergembira ria, bersenang-senang di lapangan dengan bola. Bermain dengan teman-temannya. Dan yang paling penting, kami selalu menekankan kebersamaan,” kata pria yang akrab disapa Ayah Adee ini.

Kata Adee, mereka senantiasa mengajarkan anak-anak menjaga shalat lima waktunya. Itu paling utama. Hormati orang tua. Belajar yang rajin. Sopan santun. Menghargai teman. Setia kawan. Di lapangan dan luar lapangan, mereka satu. Bak ungkapan dalam bahasa latin; gen una sumus.

Memang, istilah yang identik dengan insan catur ini berarti, “kami adalah satu keluarga”. Ya, satu keluarga itulah yang terlihat dalam acara iftar skuat Jong Aceh FA yang berlangsung di Morden Cafee Pango, Banda Aceh, Selasa 4 April 2021.

Setidaknya ada 85 pemain dari tim U-10 hingga U-17 Jong Aceh hadir mengikuti iftar. Mereka mengenakan baju berwarna putih. Mereka duduk rapi seusai dengan tingkatan usia masing-masing. Ada empat meja panjang yang dijejer. Mereka semua duduk di sana menanti berbuka.

Melihat anak-anak bola ini, banyak harapan membuncah. Bila salah dalam mendidik tak terbayangkan nasib ke depan. Apalagi di tengah kepungan game online dan ragam permainan gawai lainnya. Belum lagi godaan negatif lingkungan. Kenakalan remaja dan buaian narkoba menjadi ujian banyak orang tua.

Dengan kegiatan positif seperti sepak bola, kita berharap bisa meredam serta ngerem gempuran di media sosial yang sebagian kadung minim manfaat. Harapan kita, kalau pun kelak tak semuanya menjadi pemain bola, minimal sudah hidup dalam kegiatan-kegiatan bermanfaat.

Kecuali rombongan pemain, ada jajaran manajemen Jong Aceh FA dan tim pelatih. Ada juga tamu khusus Teungku Jailani. Ia seorang keusyik (kepala desa) yang juga kerap mengisi mimbar Jumat. Terlepas ketokohannya di masyarakat, Teungku Jailani adalah pendukung fanatik Persiraja Banda Aceh. Anaknya juga ada dalam barisan Jong Aceh FA.


Saya pribadi tak bisa akrab dengan Teungku Jailani. Tapi, ketika membahas topik sepak bola, langsung klop. Itu karena sepak bola cukup universal. Hal itu yang membuat orang-orang — termasuk saya — tertarik dengan sepak bola. Dia bisa menjadi tema obrolan paling jitu dalam bersosialisasi.

Sepak bola bisa menyatukan ragam perbedaan serta warna kulit. Saat berada di stadion semuanya bisa satu suara saat bola masuk ke gawang. Gooolll. Begitulah, prinsip gen una sumus juga terpatri di sini.

* Tulisan ini sudah tayang di Steemit untuk ikut kontes.