1.465 Hari Kemudian...
featureFoto: dok/Waspada |
Mengenang detik-detik tsunami, warga Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar melarutkan diri dalam zikir dan doa di masjid dan meunasah. Tidak dimulai pada Jumat, tepat 26 Desember. Tetapi, sejak Kamis malam hingga hari Jumat siang, mereka melelehkan air mata dan bermunajat untuk mengenang para syuhada.
Untuk memperingati empat tahun bencana tsunami, warga juga dihimbau untuk mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang selama tiga hari, mulai Kamis sampai Sabtu. Seruan ini sesuai dengan instruksi Gubernur Irwandi Yusuf Nomor 360/47081/2008 Tanggal 17 Desember 2008.
Memang, tahun ini peringatan puncak empat tahun bencana tsunami sendiri dipusatkan di Pantai Ujung Karang, Meulaboh, Aceh Barat, Jumat (26/12). Kawasan ini juga salah satu daerah terparah terkena dampak tsunami. Sesuai skenario, peringatan diisi dengan sejumlah kegiatan di antaranya renungan, zikir, selawat badar, dan tausiyah.
Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar dalam sambutannnya menganjurkan rakyat Aceh untuk terus mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat dunia. "Tidak hanya kepada warga Indonesia, tetapi juga kepada bangsa-bangsa lain di dunia," sebut Nazar dalam pidatonya.
Menurut dia, rasa terima kasih itu patut sekali mengingat bantuan mereka pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana tsunami yang begitu besar. "Jangan hanya berdemo saja, sepertinya kita tidak pernah berterima kasih terhadap seluruh bantuan yang telah diterima," tukasnya.
Nazar megatakan, masyarakat Aceh harus bisa melihat semua hal yang sudah dibangun oleh berbagai lembaga donor dan bukan melihat kekurangan dari bantuan-bantuan tersebut. "Jangan hanya berdemo terus-menerus tanpa melihat semua hasil pembangunan yang telah ada," tandasnya.
Kegiatan zikir dan doa tersebut telah dimulai sejak Kamis (25/12) malam dan hingga Jumat pagi masih berlangsung di masjid dan meunasah. Bukan cuma itu keluarga korban juga melakukan ziarah di kuburan massal yang ada di Uleeu Lheue, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, Lambaro, dan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar serta tempat-tempat lain yang menimbun banyak jasad.
Ustaz Muhammad Arifin Ilham dari Jakarta memimpin zikir dan doa akbar yang dipusatkan di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh pada Kamis malam. Ribuan warga yang mengenakan baju serba putih memadati masjid yang juga dijilat gelombang gergaji itu.
Sebelum berdoa, Ustad Arifin Ilham menyebutkan, musibah tsunami yang terjadi empat tahun silam itu adalah cobaan dari Allah SWT. "Allah memberi cobaan pasti ada tujuannya, sehingga diharapkan masyarakat tidak larut dalam kesedihan yang berkepanjangan," urainya.
Menurut dia, para korban tsunami yang meninggal telah hidup tenang di alam baka sana karena mereka yang wafat tenggelam sebagai syuhada. Kepada keluarga yang selamat, ia berharap agar mengambil pelajaran dari musibah itu dengan lebih meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Ilham juga berharap pemerintah agar benar-benar memerhatikan para korban tsunami yang masih selamat. Sekadar mengenang, dalam bencana itu sedikitnya 150.000 orang tewas di 14 negara, 125.000 luka-luka, 43.000 hilang dan 3-5 juta jiwa kehilangan tempat tinggal.
Piring Kotor
Menanggapi kondisi terkini rehab rekon, jurubicara Komite Peralihan Aceh (KPA), Ibrahim Syamsuddin KBS menilai empat tahun tsunami, masih ada kerja-kerja BRR yang belum selesai. "Ada paling kurang 300.000 jiwa korban tsunami yang masih tinggal di barak," katanya.
Kata dia, indikator keberhasilan rehab rekon di Aceh, seharusnya semua korban tsunami mendapat rumah sehat dan kuat. Bukan rumah berbahan asbes yang dapat merusak kesehatan pemilik rumah. Ibrahim melihat tantangan terbesar pasca BRR meninggalkan Aceh karena habis masa tugasnya pada April 2009, nanti.
Ibrahim mengibaratkan masih ada 'piring-piring kotor' yang merupakan warisan kinerja BRR yang belum selesai. Ironisnya, lanjut dia, malahan kepala pemerintahan Aceh saat ini, yang mendapat tugas untuk mencuci piring kotor itu, yang dinilainya bisa menjadi bom waktu. Ibrahim mengharapkan semoga apa yang terbayang di pikiran pihaknya tidak menjadi kenyataan.
Bukan hanya Ibrahim yang bernilai sinis. Anggota DPR RI asal Aceh, M. Nasir Djamil, S.Ag juga menyebutkan hal yang sama. Dia bahkan menilai rehab-rekon Aceh yang dilakukan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias gagal.
Katanya, penyebab utama kegagalan BRR karena banyaknya aturan di level pusat yang menghambat. "Koordinasi antar departemen juga buruk. Pusat masih menjalankan mekanisme seperti di daerah normal saat melakukan rahab- rekon Aceh," tukasnya seperti diberitakan banyak media.
Nasir melihat, hal itu diperburuk dengan lemahnya koordinasi antara pemerintah di tingkat lokal. "Kondisi ini masih diperparah dengan banyaknya pungutan liar dalam jumlah besar yang dilakukan pihak-pihak tertentu terhadap kontraktor," ungkapnya.
Menurut dia, bila kontraktor tidak memberikan pungutan liar tersebut maka akan dihadang pekerjaan di lapangan dan bandit-bandit itu dengan leluasa melakukan pungutan liar. "Sudah dananya kurang karena pungutan liar, ditambah lagi lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh konsultan. Akibatnya, bangunan yang dibuat tidak sesuai spek dan menyalahi bestek," sebut dia.
Sementara, GeRAK Aceh dalam rilisnya kepada Waspada menyebutkan, ada ribuan keluarga korban tsunami di pantai Barat-Selatan Aceh yang belum menerima rumah bantuan. "Ini salah satu kegagalan BRR dari tahun ke tahun yang belum dapat dituntaskan, di samping berbagai kegagalan lainnya," ujar Askhalani, Pjs Koordinator GeRAK Aceh.
Kata dia, sejatinya tugas utama BRR adalah memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh, terutama bantuan perumahan dan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat di wilayah bencana, apalagi sampai kini BRR masih menjadi catatan merah terkait kasus tindak pidana korupsi.
Menurut Askalani, dari berbagai temuan yang terindikasi korupsi di lembaga itu juga belum ada kepastian hukum. "Aparat hukum harus segera menuntaskan kasus korupsi di tubuh BRR. Jangan sampai mereka meninggalkan piring kotor yang dapat menghambat pembangunan Aceh ke depan," tukas dia.
4 Tahun Kemudian
Direktur Komunikasi BRR Aceh-Nias, Djuanda Djamal menyebutkan, pihaknya bisa memahami ada pandangan sinis terhadap lembaga itu. Karena itu, pihaknya mengaku tak ingin pula meninggalkan 'piring kotor' untuk pemerintahan sekarang.
Dalam mengenang empat tahun tsunami, kata dia, yang paling utama hari ini adalah melihat ke depan. "Apakah hasil yang sudah dicapai hari ini berdampak bagi ekonomi Aceh ke depan, pelayanan publiknya bagus tidak. Saya pikir agenda ini lebih penting diperdebatkan," ujar Djuanda.
Kata dia, persoalan kelemahan itu adalah sesuatu yang hal yang harus dikemunikasikan. "Kita tidak ingin meninggalkan piring kotor ke depan," katanya lagi. Karena itu, sebut dia, bangunan yang rusak, retak, belum selesai akan diperbaiki. Begitu pula dengan yang ditinggalkan rekanan.
Djuanda menyebutkan, semua itu akan diselesaikan. Pun, begitu dia berharap, kritikan-kritikan itu tidak sekadar menelai dari sisi lemahnya saja, akan tapi harus dipikirkan juga langkah strategis yang sudah berhasil selama rekonstruksi. "Selama kita masih berkutat dengan yang negatif, ke depan juga akan sama," katanya.
Dia menambahkan, secara matematis, selama 3,5 tahun lembaga rehab rekon itu membangun, ada kemajuan yang sudah dicapai antara lain, pembangunan rumah permanen sebanyak 124.454 unit. Fasilitas kesehatan yang sudah ada 954 unit. Gedung sekolah 1.450 unit, jalan yang sudah dibangun untuk semua tipe sepanjang 3.055 kilometer. Begitu pula dengan jembatan tak kurang dari 266 unit.
Bukan cuma itu, katanya, 12 bandar udara juga selesai dibangun kembali, termasuk 20 unit pelabuhan laut, lalu, gedung pemerintah 979 unit, rumah ibadah yang dibangun dan direhab ada 3.189 unit dan kapal nelayan yang disediakan sebanyak 6.477 unit.
Selain itu, untuk peningkatan sumber daya manusia di tanah rencong, BRR juga sudah melatih guru sebanyak 38.911 orang, sedangkan tenaga kerja yang dilatih mencapai 74.244 orang, di sektor usaha mikro dan menengah (UMKM) dibantu 139.282 unit.
Kemudian, lanjut Djuanda, memang masih ada pengungsi yang masih tinggal di barak, itu pun sebanyak 964 kepala keluarga saja. Dan tentu saja ada 103.273 hektare lahan pertanian yang direhab kembali sehingga bisa kembali bercocok tanam.
"Hasil-hasil ini juga harus diberi apresiasi positif, jadi tidak semat-mata mencongkel sisi negatifnya saja. Mari kita perbaiki Aceh ini bersama-sama," tutup mantan aktivis ini. Mungkin itulah hasil setelah lebih kurang 17.580 jam musibah itu berlalu. [a]