Tak Ada Petinggi GAM, Seniman pun Jadi? [1]

Tak Ada Petinggi GAM, Seniman pun Jadi? [1]

Konon syair-syairnya bisa memancing amarah dan membangkitkan sikap hereoik pendengarnya. Laksana memercik api, membangunkan harimau tidur, begitu tamsilnya.

Konon, terendus lah tabiat para seniman Aceh yang kerap menyisipkan fakta-fakta konflik dalam syair lagunya. Tak tahu siapa yang mulai, namun membumbuhi aroma konflik dalam setiap bait ciptaan-ciptaan mereka dikhawatirkan akan menjadi persoalan serius di belakang hari.

Lagu-lagu Aceh yang “mengungkit” dosa militer selama penerapan Daerah Operasi Militer  (DOM) memang cukup betebaran. Iramanya menderu, bak mesin perang yang mengepung Cot Trieng, Nisam, beberapa waktu lalu.

Bukan itu saja. Sebagaian syair-syair itu juga diyakini mampu memompa kemarahan korban-korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan melecut mereka untuk melakukan sesuatu yang tidak kondusif bagi Jakarta.

Tak pelak, kabar pelarangan ini membuat blantika musik Aceh geger.

Hasil penelusuran acehkita di beberapa toko kaset dan stasiun Radio di Banda Aceh memang menunjukkan indikasi banyaknya lagu yang diproduksikan selama lima tahun terakhir ini, nyerepet-nyerempet kepentingan militer.

Memang, lagu-lagu tersebut umumnya mengisahkan penderitaan yang dialami rakyat Aceh selama konflik. Namun masing-masing pencipta lagu agaknya punya insting berbeda dalam melihat sebuah objek. Sisi-sisi humanis didiskripsikan ke bait-bait lagu. 

Makanya tak heran, jika kemudian, muncul lagu yang topiknya sama, cuma syair yang beda.

Simak saja Yusbi Yusuf, penyanyi dan pencipta lagu sekaligus produser yang menulis lagu tentang Tragedi Arakundou, Sidang Jenewa, Husep di Gampong, Wahe Aneuk Lon, dan Aceh Lam Duka.

Sementara Firsa Agam, merilis Aceh Meusimbah Darah, Hukom Tan Pengadilan (hukum tanpa pengadilan). Sedangkan A. Bakar AR, terkenal dengan Peristiwa Simpang KKA, Aceh Pusaka, Kacho Balo, Putoh Asa dan Operasi Jilbab.

Dari judulnya sudah bisa diendus, bila lagu-lagu itu tidak mengumbar roman picisan dan ngak-ngik-ngok ala musik pop kodian.

Selain judul-judul yang sudah disebutkan tadi, kini masih beredar ratusan lagu lain di masyarakat. Bahkan tak jarang, banyak juga yang sudah melekat erat alias dihafal di luar kepala oleh publik.

Itu belum seberapa. Simak lagi tembang-tembang Yacob Tailah. Penyanyi senior ini ‘sedikit lebih berani’ dalam mengekspresikan jiwa seninya. Tak heran bila karya-karyanya menyerempet “maut”.

Lagu-lagunya yang terkenal antara lain; Referendum, Cuwak, Peusan keu Wali, Pengungsi Aceh, Musibah Beutong, Dajeue Buta Siblah, Aceh Lon Sayang. Atau coba dengarkan Tueng Bila dan Maku Diseksa, Tiro Laot Apui dan lain-lain. Belum cukup? Masih ada ratusan judul lain yang mengekspresikan hal-hal serupa.

Lalu kenapa mesti lagu bertema konflik? Tak adakah tema roman picisan di Serambi Mekah yang bisa dijual di pasaran?

Pertanyaan semcam ini, tentu saja tidak persis sama, pernah diutarakan PDMD dalam pertemuan dengan para artis dan produser. Tapi tak ada jawaban yang konkret. Namun dari segi pemasaran, masyarakat memang menggandrungi lagu-lagu semacam itu. Orang Aceh agaknya emoh lagu ngak-ngik-ngok.

Konser DEWA di Lhokseumawe dan Langsa memang dibludaki penonton. Terutama ABG (anak baru gede). Tapi bila Rafli yang manggung, situasinya juga sama.

“Pasar memang minta lagu-lagu semacam itu. Jika kita tidak produksi sesuai permintaan pasar, ya tak bakal laku,” ujar seorang produser yang ogah ditulis identitasnya.

Produser ini mengaku, ketika proses rekaman sudah dimulai, yang terlintas di kepalanya, mungkinkah lagunya bakal digandrungi pencinta lagu-lagu Aceh. Namun, menurutnya, sejak keluar maklumat PDMD, dia sedikit menurunkan gairahnya dalam mencitaptakan lagu.

***

Penasaran dengan syair-syair nyerempet-nyerempet itu?

Berikut sebuah lagu Haro Hara, yang dikutip dari Album Nyawong. Nyawong (nyawa) adalah kelompok musik Aceh pertama yang pernah mentas di Impressario 008, di sebuah stasiun televisi swasta nasional. Produsernya Jauhari Samalanga (pernah menulis artikel untuk situs ini), dan dinyanyikan oleh almarhum Muchlis, yang meninggal akibat stoke lima bulan silam.

Haro Hara

Meuketum-meukeutum beude teungoh cot uroe//
Ka karu nanggroe ka haro hara//
Di ureung-ureueng inong tanyong bak lakoe//
Su beude bunoe peu tanda bahya//

(bunyi-bunyi senjata di siang bolong
tanda negeri dalam huru hara
para ibu-ibu bertanya pada suami
suara senjata tadi apa tanda bahaya)

Di langet bintang hai bang, di bumoe pade//
Buleuen ateuh gle meuble-ble cahya//
Nanggroe nyoe jinoe ka reule//
Ureung dum mate dianiya//

(Di langit bintang hai abang, di bumi padi
Bulan di puncak gunung pancarkan cahaya
Negeri ini sekarang hancur lebur
Orang banyak meninggal dianiaya)

Rumoh sikula habeh dum tutong//
Jeuet sagoe gampong le inong janda//
Saket lam hate angoh lam jantong//
Wahe rakan lon tangieng nyata//

(Gedung sekolah, habis musnah terbakar
setiap sudut kampung banyak ibu janda
sakit dalam hati, hangus isi jantung
wahai rekanku terlihat nyata)

Di krueng Arakoundoe manyet dum apong//
Lheueh nyang meusambong Simpang KKA//
Tgk Bantaqiah di Ateuk Beutong//
Di rumoh Geudong ureung diseksa//

(Di Sungai Arakundoe, banyak mayat terapung
Setelah itu bersambong Simpang KKA
Tgk Bantaqiah di Ateuk Beutong
Di Rumah Geudong orang disiksa)

Tak lake doa bak Tuhan Sidroe//
Nanggroe Aceh nyoe neubri seujahtra//
Beu jeuoh-jeuoh ayeb, male ngon keuji//
Meubek Allah bri Aceh binasa//

(Kita berdoa hanya kepada Allah seorang
Nanggroe Aceh ini diberi kesejahteraan
Biar jauh aib, malu dengan keji 
Semoga Allah tidak menjadikan Aceh punah)

***

Lagu ini sudah beredar jauh sebelum Aceh dipagari darurat militer. Sejak darurat militer, hampir semua segi kehidupan, tentu saja dikendalikan militer. Bukan hanya media yang mendapat pengawasan ketat. Musik pun dipelototi agar tidak liar. 

Ada lagi, lagu Yusbi Yusuf yang berjudul Nanggroe Merdeka.

Wah! [bersambung]