Nestapa di Gunung Balam

Nestapa di Gunung Balam

Reporter: Alfian Hamzah Pena Indonesia, 2005-02-19 18:01:23

CALANG, 19 Februari 2005 - Dua orang warga Calang menunjukkan siapa-siapa saja yang tetap merana di tengah ‘kemajuan’ proyek pembangunan Kota Calang, Aceh Jaya, setelah tsunami: 50 jenazah yang hingga kini masih berserak di pinggiran kota.

Lebih dari 40 hari kemudian, banyak jenazah korban tsunami di pesisir Barat Aceh belum dikuburkan.

Sebagian besarnya terhimpit sampah kayu yang menggunung atau terperangkap di rawa-baru di piringan Gunung Balam.

Yang terakhir, terpisah tiga kilometer dari Bukit Carak, lokasi pengungsi Calang.

Selain dari bau yang menyengat, jasad korban tsunami itu sebagiannya bisa ditelusuri keberadaannya dari jejak kawanan babi dan patok-patok tunggal di antara tumpukan papan dan kusen, batang kelapa, rangka mobil, kulkas dan peralatan dapur rumah tangga.

Beberapa lainnya telah mengering, tinggal tulang-belulang berserak, dan nyaris menyatu dengan sampah di sekitarnya.

“Ini ada satu,” kata Jamaluddin, 32, menunjukkan sesosok mayat-tinggal-kerangka yang terjepit pokok kelapa di pinggir jalan Desa Kampung Blang - satu dari enam desa di Calang.

Seperti hari-hari sebelumnya, hanya sedikit pengungsi yang turun ke pesisir siang itu.

Dari yang ada pun, sebagiannya sibuk dengan kegiatan sendiri, dari mengumpulkan papan dan balok untuk mempercantik gubuk di pengungsian atau untuk keperluan mendirikan rumah darurat di atas halaman semula.

Pejabat-pejabat tinggi pemerintah dan anggota dewan semestinya mengajak pengungsi Calang menguburkan mayat dengan bergotong-royong, katanya.

“Sehari misalnya sepuluh orang mau kerja bakti, satu minggu sudah habis semua mayat dikuburkan. Tapi entah kemana kemana larinya ‘kucing-kucing’ itu. Tiba-tiba nanti kalau desa bersih, mereka sudah pulang,” katanya.

Rekannya Bachtiar menambahkan. “Yang semestinya (mayat-mayat) ini dulu yang dikuburkan baru yang lain dikerjakan. Aparat (tentara) juga semestinya turun menguburkan mayat. Apa juga guna mereka datang ke sini?”

Jamaluddin dan Bachtiar masih ada hubungan darah. Berdua mereka kehilangan hampir 40 orang keluarga dekat dalam musibah tsunami lalu.

Hanya satu mayat dari yang hilang itu yang berhasil mereka temukan.

Di kejauhan, kurang dari satu kilometer dari mayat tak terurus itu, puluhan tentara berteduh di balik tenda-tenda raksasa.

Mereka tengah menjaga ratusan orang pekerja asal luar Aceh yang sejak pagi mendirikan rangka kayu barak-barak pengungsi di Desa Dayah Baro dan Keutapang.

Di sebuah jalan setapak menjelang Gunung Balam- sebenarnya bukit namun orang Aceh menggunakan kata “gunung” untuk itu - Bachtiar giliran menunjukkan tulang belulang manusia di sebuah area landai yang masih tergenangi air setinggi selutut.

“Sudah lama ini,” katanya.

Seperti sebagian besar wilayah Calang lainnya, piringan Gunung Balam masih tak tersentuh alat berat hingga kini.

Pembersihan sampah dan puing-puing kota oleh pihak tentara dan PT Adikarya - kontraktor pembangunan barak pengungsi - sejauh ini terpusat radius satu kilometer dari markas pasukan Marinir di dekat Bukit Carak.

“Itu juga sudah dimakan babi,” kata Jamaluddin, saat melintas di dekat sebuah kubur yang koyak dengan tulang belulang manusia yang berserak di atasnya.

Jejak babi malam sebelumnya masih segar di antara dua patok kayu penanda nisan kubur.

Selama dua jam mengintari Gunung Balam, Pena Indonesia menjumpai belasan kubur yang koyak dan isinya berhamburan.

Dari fisiknya, hanya beberapa yang berpagar dengan nisan dan menghadap kiblat. Selebihnya lebih mirip ‘timbunan tanah’ dengan papan seadanya untuk mencegah tanah tergerus air hujan.

Sambil jalan, Bachtiar menjelaskan kalau masyarakat yang datang ke Gunung Balam - entah itu dengan maksud mencari jasad sanak keluarga atau mencari ‘harta karun’ seperti dari emas di badan mayat atau uang di antara lemari rumah yang hanyut, atau papan untuk menambal gubuk di pengungsian atau bahkan aluminium bekas untuk diperdagangkan sekalipun - hanya mengubur mayat yang mereka kenali.

“Banyak yang hanya ditimbun tanah saja. Kalaupun ada yang digali, paling satu siku,” katanya.

“Sebulan setelah tsunami,” kata Jamaluddin menambahkan, “belum ada itu yang dimakan babi. Tapi sekarang ini. sudah berapa yang kita lihat sejak jalan tadi? Dua belas?”

Bachtiar menunda menjawab dan mempercepat langkah menghindari sesosok kerangka yang membusuk di dekat jalan setapak.

Sebentar kemudian, dia menunjukkan dua tengkorak yang menyembul di antara tumpukan sampah kayu.

“Lihat kan? Hanya ditutup papan.”

“Itu sana juga. Pas di bawah kain hitam itu.”

Siang itu Bachtiar sekalian menengok kebun duren miliknya di Gunung Balam.

Dari huma di sela-sela pokok duren, dia menunjuk aliran sampah yang menggunung hingga ke Pulo Ie, Blang Dalam dan Gunung Nibung.

“Abang lihat gunung yang sana itu,” katanya mengarahkan telunjuk ke pepohonan di Gunung Nibung. “Baru di situ air (gelombang tsunami) berhenti. Di sana banyak mayat juga.”

“Ada 50 mayat yang kita lihat tadi, yah?”

“Lebih, Bang,” kata Jamaluddin. “Itu tadi kita jalan begitu saja. Belum mencari. Kalau sampah-sampah itu diperiksa, bisa lebih 100 mayat.”

Data Pasukan Marinir menyebutkan dari hampir 8.000 orang penduduk Calang, 6.000 di antaranya dinyatakan hilang dan baru sekitar 600 orang yang mayatnya telah dikuburkan.

Saat mengarah pulang, Bachtiar menunjukkan satu lagi kubur yang koyak dengan jejak babi hutan di sekelilingnya.

“Itu ada aparat di depan,” katanya berbisik, mengarahkan pandangan ke enam pasang mata yang memandangi dari jauh.

Seorang serdadu dengan handphone di tangan bertanya ke Jamaluddin di barisan depan.

“Habis lihat mayat, Bang,” katanya menjelaskan.

Tentara-tentara itu kebetulan kena giliran menjaga proyek pembangunan barak pengungsi di pesisir, kurang dari satu kilometer tempat mereka duduk.

Air mineral dan makanan ringan dalam plastik berlogo Walubi menemani mereka siang itu.

“Di sana,” kata seorang serdadu menunjukkan kawasan pembangunan barak pengungsi - kerjasama Walubi dan Pasukan TNI-AL - Calang, “juga masih ada mayat.”

Sebentar kemudian, di sebuah tumpukan sampah sekitar sepuluh meter dari barak pengungsi yang tengah dikerjakan, Bachtiar menunjukkan dua mayat manusia yang terhimpit batang kelapa.

“Di sini,” katanya bergerak ke tumpukan sampah lain, “semestinya ada satu mayat lagi. Kemarin saya masih sempat tutupi pakai kain ini. Mungkin ada di bawah tumpukan ini. Ini (tumpukan) ini masih baru, kan?”

Sebuah kain spanduk berlumpur masih terlihat di situ berikut jejak rantai buldozer di seputarnya.

Sebuah rangka mobil yang seharusnya berada tak jauh timbunan sampah dan mayat tak terurus itu telah hilang dari pandangan. “Mungkin mobilnya sudah dibawa sama aparat,” kata Bachtiar. [pi]