Menatap Pantai Ulee Lheue
AZMI (35) sudah tiga bulan tidak refreshing. Dia bukan saja stess,
pikirannya kadang juga tidak beres. Bukan berarti tidak waras. Tapi
beban yang dipikulnya lebih berat ketimbang berat badannya sendiri. Sebagai eksekutif muda, Azmi punya kerja yang luar biasa.
Maklum, direktur di sebuah perusahaan di Tanah Rencong. Mulai urusan perusahaan, karyawan sampai kadang urusan yang berkaitan dengan ekses-ekses konflik.
Dalam empat bulan terakhir, pikirannya mumet. “Kalau seminggu sekali tidak saya lihat gelombang laut dan sunset, rasanya kurang sempurna weekend-nya,” katanya suatu ketika. Pantai
memang lokasi favoritnya. Hampir semua pantai yang dianggap indah dan
nyaman sudah disambanginya. Termasuk pantai Pulo Sarok di Aceh Singkil
yang jaraknya bisa ratusan kilometer dari Banda Aceh, kota kelahirannya.
Tapi sejak konflik berkecamuk, Azmi terpaksa menunda mimpinya untuk sekadar nengok sunset setidaknya di
Pantai Lampuuk yang jaraknya hanya 14 km dari Kota Banda Aceh.
Kejenuhan sepekan kadang dibuang dengan berolah raga, itu pun kalau
tidak berlibur ke Iboih dan Pulo Rubiah di Sabang, kota paling ujung
barat wilayah nusantara.
Kota Sabang sendiri terletak di Pulau We. Yang terakhir disebut ini juga dikenal sebagai tempat mobil-mobil mewah berharga murah. Orang-orang
berduit dari pengusaha hingga penguasa, baik bersenjata atau tidak,
sudah hafal lika-liku mengurus mobil mewah berbanting harga dari tempat
itu untuk diboyong ke Medan atau bahkan Jakarta. Sabang sendiri telah ditetapkan sebagai pelabuhan terbuka (free port), seperti kawasan berikat Batam.
Selama konflik, daerah Sabang juga dikenal sebagai suaka bagi banyak orang untuk melepas ketegangan. Kendati hanya berjarak 30 menit dari Banda Aceh dan Pulo Nasi dengan menggunakan kapal cepat, namun di daerah itu praktis steril dari konflik bersenjata. Ada taman laut, ada cottage.
Sebuah lapangan terbang yang kerap dihinggapi Hercules, juga tersedia di Pulau We. Gosip-gosip
angin lalu yang berhembus, tak jarang pesawat Hercules yang biasa
menempuh rute Jakarta-Lhokseumawe-Banda Aceh-Sabang dan kembali ke
Jakarta itu, ikut membawa mobil mewah di dalam lambung pesawatnya. Entah atas pesanan siapa.
Pantai Ulee Lheue
Tapi Azmi dan keluarganya belakangan sudah tidak mengahabiskan waktu liburannya di Sabang. Memang, selama tidak mandi air laut Lampuuk atau lainnya, Azmi mengaku merasa belum refreshing. Maka, ia pun menerima kenyataan, hanya berleha-leha di Pantai Cermin di Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh.
Dari
pusat kota, dengan menumpang labi-labi (angkot, sudako), tarif normal
untuk mencapai lokasi itu sekitar Rp. 1.000,- per orang. Tapi tentu saja Azmi tidak berurusan dengan angkutan umum. Bahkan banyak juga warga kota yang mencapainya dengan sepeda motor atau becak motor.
Tapi bila hari libur, yang punya hobby jogging atau
lari pagi, boleh juga sekali-kali mengatur ritme nafas dan langkah
secara santai, bersama warga kota lain untuk mencapai tempat itu dengan
menempuh jarak 6 kilometer arat barat kota Banda Aceh. Di sana telah menunggu ratusan warga yang berjubel menikmati pantai Ulee Lheue (baca: ulele).
Dengan
suguhan keramaian di sepanjang bibir pantai, mengingatkan pada
semaraknya Pantai Ancol, Jakarta Utara atau Parangtritis di Yogyakarta. Tapi bukan ngecap, bila kadang panorama Ulee Lheue bisa lebih indah dari pada pantai lainnya.
Di lokasi rekreasi ini, walau bukan hari Minggu, denyutnya sebagai tempat wisata masih terasa. “Kami menyediakan beberapa makanan khas dan minuman,” ujar Abdullah, seorang usahawan warung setengah promosi.
Dari
kalangan kelas ekonomi mana pun, rasanya berhak menikmati indahnya pagi
dan senja di Ulee Lheue. Orang-orang seperti Azmi yang super sibuk,
mengaku betah bergaul dengan semua kalangan dan menumpahkan kepuasannya
mandi pagi di Ulee Lheue.
“Jangan cari kami Minggu pagi di rumah. Kami lagi menikmati liburan di Ulee Lheue.” tegasnya
Sambil tiarap
Sebenarnya,
ke Ulee Lheue bukan sekadar melihat indahnya pantai. Seperti diakui
Nova, pada hari-hari tertentu pantai itu terkadang melebihi keramaian
pasar. “Kami hanya ingin melihat keramaian, ada yang mancing, mandi, dan
pacaran,” papar warga Keudah, Kecamatan Kutaraja Banda Aceh yang masih
duduk di bangku SMU itu.
“Melepaskan sedikit problem harian sambil menikmati alam bebas, juga baik,” sambung Azmi. Kalau pun tak berhasrat mandi laut atau mejeng, Azmi juga kerap menggunakan waktu luangnya untuk memancing.
Soal mancing, atau dalam bahasa Aceh disebut keumawe, biasanya memang tak mengenal waktu. Namun sejak kondisi tak ramah lagi, suasana keumawe
di Ulee Lheue berubah. “Pernah suatu kali saya terpaksa tiarap ketika
mancing, karena ada suara rentetan tembakan. Kedengarannya sih memang jauh, tapi takut peluru nyasar. Jadi ya terpaksa mancing sambil tiarap,” kenang Azmi sambil tertawa lebar.
Andai pun tidak ikut mancing, orang-orang seperti Azmi juga bisa menyaksikan nyak-nyak (ibu-ibu) yang sedang memungut kerang (kreung) atau tiram (tirom). Dari perairan yang landai itu, juga bisa dinikmati indahnya tambak nelayan, dan jejeran perumahan.
Dari atas jembatan Ulee Lheue, sambil melewati arah dermaga baru, di bawah tampak hiruk-piruk awak boat melayani warga kepulauan. Mereka menyewakan perahu untuk berangkat atau pulang ke daratan Aceh.
“Sejak
adanya pengepungan di Pulo Nasi beberapa waktu lalu, mereka tidak bisa
keluar pulau. Semua sembako mereka beli untuk kebutuhan sepekan,” tutur
Azmi yang mengaku prihatin.
Tapi
jangankan masyarakat di kepulauan, di darat pun, urusan sembako bisa
menjadi masalah serius bila konflik sedang panas-panasnya. Di
beberapa tempat, masyarakat konon harus menerima kenyataan dibatasi
pasokan sembakonya agar anggota kelompok bersenjata tidak dapat menerima
logistik dari kampung-kampung penduduk. Setiap kepala keluarga dijatah dengan sistem kuota dan warung tidak dapat menjual bebas aneka bahan pangan itu.
Dalam perang, logistik memang vital. Memotong jalur logistik adalah strategi perang paling murah namun efektif. Ketika
pasukan Mataram pimpinan Sultan Agung gagal menyerang benteng VOC di
Batavia, salah satu sebabnya adalah kekurangan pasokan logistik, selain
wabah malaria.
Pulo Nasi sendiri adalah salah satu basis kelompok bersenjata. Di sana, konon dijadikan tempat pelatihan ketangkasan tempur. Tapi jangan dianggap bahwa semua penduduk pulau itu adalah anggota kelompok bersenjata. Di Pulo Nasi ada juga warga sipil, meunasah, sekolah bahkan administrasi desa. Seorang menteri dari Jakarta pernah berkunjung ke sana, hanya beberapa hari berselang setelah pulau itu “dikuasai”.
Pulau itu semula akan dijadikan penjara bagi bekas penghuni lamanya yang anggota kelompok bersenjata. Mungkin teringat Alcatraz alias The Rock di Amrik, atau Nusakambangan di lepas pantai Cilacap Jawa Tengah. Tapi tentu saja dengan kondisi yang konon akan lebih dibuat manusiawi untuk membina para tahanan. Tapi rencana itu belakangan gagal. Lebih tepatnya, diralat.
Kalaupun jadi, pastinya suasana di Pantai Ulee Lheue tidak akan terpengaruh. Ulee
Lheue akan tetap menjadi oase bagi masyarakat sekitar Banda Aceh yang
rindu memandang alam bebas dan sejenak melupakan tekanan hidup akibat
konflik. (*)