Toke Li, si Penjual Mie

Toke Li, si Penjual Mie

UDARA Peunayong malam Kamis diguyur gerimis. Memang tidak deras. Tapi hawa dingin menusuk hingga ke tulang sumsum. Tak banyak kendaraan yang lalu lalang, masih bisa dihitung dengan jari.  Jam baru menunjukkan pukul 22.05 Wib.

Semua maklum. Saat-saat seperti ini, memang banyak warga yang enggan keluar malam. Kalau pun ada, itu karena keperluan yang mendesak. Obat misalnya. Seperti pada malam-malam sebelumnya, hanya ada satu dua orang yang berani keluar untuk nongkrong di pojok-pojok. Itu pun cuma untuk minum kopi. Tidak lebih. 

Di salah satu jalan Peunayong, tidak jauh dari sebuah mini market di Jalan Tuanku Mohammad Daudsyah, suasana terlihat sepi. Seorang laki-laki berkacamata dengan seriusnya memainkan kipas.  Sekali-kali ia membetulkan letak gagang kacamatanya. Sorot matanya tidak lepas dari bara api yang mulai menyala. Tanganya berpindah ke sebuah pisau, lalu mulai mengiris bawang. Dipotongnya bunga kol, tomat, serta bumbu lainnya. Semua dimasukkan dalam kuali, dan sejurus kemudian asap pun mengepul, menerbangi aroma sedap pengundang selera. 

"Yang paling penting kita bisa memuaskan pelanggan. Selera mereka harus dihafal betul untuk memikat konsumen," katanya mulai membuka suara menjawab acehkita.com.


Dari emperan ke emperan
Menjadi pedagang mie, bukan kerja sampingan Rusli, pria kelahiran Tangse, Pidie, 1953 itu. Usaha ini sudah ia tekuni sejak 1979. "Hingga sekarang saya tetap betah di bidang ini. Sebab hanya ini keahlian saya," sebutnya.

Sambil menghembus sigaret merah yang sering diiklankan di teve, ayah lima anak ini mulai mengurai masa silam, ketika ia mulai menekuni usahanya. Kendati sudah 24 tahun bergelut dengan mie, nasibnya tak juga berubah. Usahanya masih dari emperan ke emperan.  

Jika dihitung-hitung, ia mengaku sudah kerap pindah tempat. Dulu, ia memulai usahanya di Beureunuen, Kecamatan Mutiara, sekitar 12 Km sebelah Barat kota Sigli, Ibukota Kabupaten Pidie. "Kalau tidak salah saat itu saya jualan di dekat pasar ikan," kenangnya.

Di daerah kelahiran tokoh kharismatik Aceh, Tgk Muhammad Daud Beureueh itu, Rusli menggantungkan harapan guna menyekolahkan anak-anaknya. Sayang impian itu belum terwujud sepenuhnya.

Lalu, Rusli muda pun pindah berjualan di Simpang Lamlo, masih di wilayah yang sama, sekitar 15 meter dari Masjid Abu Beureueh. Sepuluh tahun dia berjualan di situ masih menumpang pada warung orang lain. "Di situ, saya sempat pindah tiga kali. Dari emperan toko ke kaki lima sudah biasa bagi saya," sebut dia.

Seiring sang waktu, anak-anak pun beranjak dewasa. Pendidikan mereka tentu menjadi persoalan serius bagi Rusli.  Sial bagi Rusli.  Di saat itulah, situasi keamanan di Nangroe Aceh justru mulai tidak kondusif.  “Jangankan berjualan, berniaga di bidang lain juga tak membawa harapan. Pembeli aja tidak ada,” tukasnya getir.

Ketika kondisi makin tak menentu, ia mulai berpikir melakukan urbanisasi menuju Banda Aceh  yang relatif lebih aman.

Suatu ketika pada akhir tahun 2001, istrinya terpaksa menjalani operasi semacam tumor (bahasa Acehnya barak) di Rumah Sakit Zainal Abidin. Uang tabungan yang tersisa hanya empat juta rupiah.  Uang untuk stok modal usaha habis untuk biaya pengobatan isterinya.

Berkat kebaikan hai seorang pemilik toko yang tidak berjualan lagi, dia memanfaatkan emperan toko tersebut untuk berdagang. Tak perlu bayar sewa, apalagi denda. Dia cuma membayar biaya listrik untuk tetangganya. Lokasinya berjarak sekitar 70 meter dari lokasi dia berjualan sebelumnya, di emperan toko juga.

Ketika malam kian larut, Rusli juga ikut larut dalam rutinitas yang terus dilakoninya. Di usianya yang setengah abad, saingan Rusli adalah anak-anak muda usia yang masih energik dan produktif.   Bersama-sama mereka, Rusli harus berkompetisi membuka usahanya dari jam 10.00 pagi hingga pukul 23.00 malam.

"Tak terasa, sudah dua tahun berjualan di Banda Aceh," ucapnya singkat.

Hanya ada satu prinsip yang ia bangun, sebagai warga urban ia tak igin menyerah dengan waktu. Rusli juga tidak ingin anak-anaknya mengikuti jejaknya sebagai penjual mie.

"Kalau saya menjadi penjual mie, saya tak ingin anak-anak juga mengikuti jejak ayahnya," kata pria yang akrab dipanggil Toke Li ini.

Apa tidak rindu pulang ke kampung di Pidie? Toke Li tersenyum.
“Ada hasrat kembali ke kampung. Tidak hanya harus punya nyali, tapi tak tahu harus kerjakan apa,” katanya sembari meniriskan mie ke piring.

Asap  mengepul menebar aroma menggoda.  Sejurus kemudian kami sama-sama duduk dan mulai menyantap mie buatan Toke Li.

Ada empat juta orang-orang seperti Toke Li di Nangore Aceh (Darussalam?).  Orang-orang biasa, dengan kisah-kisah hidup yang selalu berjalin-kelindan dengan konflik.  Konflik yang telah mengubah hidup orang, memaksanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain.  Memaksanya bertahan dari segala kondisi. 

Kisah-kisah mereka adalah kisah biasa.  Tidak sehebat kisah seseorang yang mencalonkan diri sebagai presiden.  Itulah mengapa tak pernah terwartakan di koran dan televisi. Kisah tentang orang-orang seperti Toke Li, si penjual mie.