Menguak Tabir ‘Tas Hitam’ Wali
opiniTeungku Hasan Muhammad di Tiro | Foto via |
Begitulah Teungku Hasan
Muhammad di Tiro hidup. Siapa tokoh ini, saya pikir tak usah lagi kita ulas
lebih detil. Apalagi tokoh yang disapa Wali itu sudah 62 hari pergi. Bicara
figur militan itu, saya yakin semua orang sudah memahami, kecuali kalau ada
yang tak mau tahu.
Yang paling diketahui
banyak orang sudah pasti, dia tokoh pemberontak, penggagas sebuah gerakan perlawanan
dan ungkapan lain. Akan tetapi, dibalik semua itu, nyaris tak banyak orang
‘mengenal’ wataknya yang keras, disiplin, telaten, dan sarat wibawa.
Semua pujian saya yakin
selalu mengalir ke sosok pria kelahiran Tanjong Bungong, 25 September 1925 itu.
Sebagai penulis, Hasan Tiro adalah contoh yang patut ditiru. Catatannya terdata
rapi, gagasan dan idenya menjulang awan. Ketika orang lain baru berpikir, dia
malah sudah berbuat, secara tersirat mungkin ini bisa kita lihat dari karyanya
yang berjudul ‘Demokrasi Untuk Indonesia’.
Dus, kekaguman
pengikutnya, bukan pula pada unsur karena Hasan terlahir dari trah Tiro; klan
pejuang yang membuat penjajah merinding. Tapi ada sisi lain—mungkin-- yang abai
dipahami, pengikut, simpatisan dan orang-orang dekat. Itulah yang menambah
kemisterian sampai menembus batas imaji.
Padahal, Hasan Tiro itu
adalah sosok yang sangat rapi dalam pendokumentasian. Bayangkan saja, ketika
masih bergerilya pun dia mampu membuat catatan berupa stensilan, meski belum
selesai. Namanya, The Price of Freedom;
The Unfinished Diary of Teungku Hasan di
Tiro.Buku setebal 238 halaman terbit di London pada 1981.
Beranjak dari situ
bukan mustahil, sejak dia cabut dari Aceh pada 29 Maret 1979, cukup banyak
tulisan dan arsip-arsip yang disimpan rapi. Mungkin saja sudah ada yang hendak dia
bukukan, tapi belum sampai, sama seperti cita-cita yang membentur damai. Atau
bahkan ada catatan hariannya yang lain, tapi di mana? Sayangnya, sampai ayah
Karim Tiro itu menghembus nafas terakhir, kita tidak tahu bagaimana nasib
kertas-kertas usang
itu.
Berangkat dari rasa
ingin tahu yang menyergap, tak ada salahnya kita juga melacak posisi dokumen
yang dimaksud, dengan harapan ini bagian bukti sejarah tokoh besar Aceh abad
20. Sebab kita tahu, Hasan Tiro itu pelaku sejarah dan mungkin saja bisa kita
sebut pencatat sejarah; minimal sejarah perjuangannya yang belum kelar.
Kita tahu, kiprahnya
memang acap dibalut kabut. Meski sudah tiada pun, ‘kegelapan’ itu masih tetap
terasa walau kita tak bisa meraba. Tentu yang paling gampang kita sebut adalah,
misteri perjuangannya hingga menggelinding damai, buah hatinya yang bernama
Karim, serta ending dari catatan
hariannya yang belum kelar. Jika kita menusuk lebih dalam, tentu saja, muncul
pertanyaan yang seakan tak terjawab sampai sekarang.
Pertanyaan yang belum
terjawab itu bisa kita baca ditulisan Neta S Pane dalam buku ‘Sejarah dan
Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka’. Mirai itu antara lain, kemana dana yang
dikirimkan Daud Beureueh pada 1975 untuk membeli senjata. Lalu benarkan Daud
Beureueh mendukung sosok cerdes Hasan Tiro untuk memproklamirkan Aceh merdeka
dari Indonesia.
Singkat kata. Semua
jawaban seakan tersimpan dalam tembok baja. Jika ditimang lagi, sampai
detik-detik ajal berakhir, juga cukup banyak informasi berselerawan. Ada yang meniup seruling
isu, dia sudah duluan menutup mata, sebelum kabar duka membahana di masyarakat.
Kabar nan kabur itu tak berlebihan bila menguap. Sebab, semua mencuat karena
popularitas Hasan Tiro. Bukan yang lain. Kalau mengutip kata bijak, hanya besar
yang kerap diterpa badai. Begitulah sosok yang melagenda ini.
Sisi gelap belum tersingkap
Kekuatan tabir misteri
itu, kian utuh setelah kepergiannya. Sebab banyak tanya belum terungkap. Di
antaranya, kenapa orang bisa takzim di depannya, meski sebelum itu sudah pasang
aksi sedikiti wibawa. Kenapa namanya agung dan disanjung ribuan pengikut. Atau
karena aura yang melingkupi tokoh legesdaris ini amat kuat. Sayang, belum satu pun
tersingkap.
Sama seperti belum tersibaknya,
apa saja isi ‘tas hitam’ yang acap ditunjukkan Wali pada setiap tamu yang bertandang
ke kamar 0075 Apartemen Alby Blok 11 Norsborg, Stockholm, Swedia. Kata sejumlah penulis yang
sudah bersua langsung di kediamannya, Wali menyimpan dengan rapi setiap dokumen
tentang Aceh, termasuk kliping Koran.
Sejumlah sumber lain ikut
berkisah, Wali juga masih menyimpan dengan aman sebuah mesin ketik tua, foto
kakek dan foto cantik sang isteri saat muda serta gambar anak tunggal mereka. Tentu
semua dokumen-dokumen itu masih tersimpan di dinding kamar dan almari rumah
pria necis yang selalu berdasi dengan jas rapi.
Sepertinya, benda-benda
koleksi Wali harus dimuseumkan. Ini penting, mengingat dan belajar dari
beberapa tokoh di daerah lain yang dikultuskan pengikutnya. Bukan tidak mungkin
akan muncul kolektor yang berhasrat mengoleksi benda yang pernah dipakai dan
disimpan tokoh idolanya.
Salah satu yang patut
dicermati adalah, isi ‘tas hitam’ Wali. Boleh jadi, ‘tas hitam’ ini akan menyibak
misteri siapa Wali berikutnya yang direkomendir Hasan Tiro. Bila pun tidak,
bisa pula bahwa hanya dirinya Wali terakhir. Setelah dimangkat, --kecuali
keturunannya, maka yang lain belum berhak. Ini juga belum ada peunutoh. Dan banyak arsip-arsip lain
soal Aceh yang sedikitnya bisa memberi pencerahan kepada masyarakat.
Belajar dari kasus
lampau juga, ketika S.M. Kartosuwiryo yang berhasrat mendirikan Negara Islam
Indonesia di Jawa Barat. Saat Kartosuwiryo mangkat, muncul kabar, yang mengklaim
dirinyalah pemegang mandat untuk melanjutkan perjuangannya. Sama seperti halnya
Hasan tiro, apakah tongkat estafet gerakan perjuangan yang dicetusnya sudah ada
‘diwariskan’? Kepada siapa, Karim Tiro atau yang lain? Ini belum terjawab.
Dan banyak hal penting lagi
yang mesti diketahui publik, baik pendukungnya yang tak berhenti menyanjung
atau orang kampung yang penuh kagum. Sepertinya orang juga tak ragu lagi kalau
bicara komitmennya tentang perdamaian.
Lalu, betapa urgensinya
black bag itu? Saya pikir ini sama
mahalnya dengan black box milik
pesawat terbang. Untuk mendapat jawaban kenapa ‘burung besi’ naas, cuma dengan
menemukan kotak hitam itu, baru misteri tersingkap. Sebenarnya tak jauh beda pula
dengan blag bag Wali.
Namanya memang hitam,
tapi sebenarnya kotak yang dimaksud itu berwarna jingga atau oranye. Begitu
juga dengan ‘tas hitam’ Wali, warnanya tidak hitam, tapi coklat tua. Dan ada
seperti tas komputer jinjing. Penting black
bag itu dibuka guna menjawab kemisteriusan yang melilit selama ini. Salah
satunya, kenapa tidak sembarang orang
bisa menjumpainya? Termasuk kabar kematiannya, bagaimana dia menanggapi serta
tanggapan dia terhadap tentara-tentaranya yang terus berperang sebelum damai
datang. Banyak yang yakin black bag itu
menyimpan banyak catatan peristiwa perjalanan hidupnya. Termasuk yang kita
terka-terka tadi.
Pada sisi lain, pendukung
dan simpatisan fanatiknya pun, tidak terus dihinggapi rasa, itu dan ini Peunutoh Wali. Jika yang bersangkutan
masih hidup, tentu peunutoh masih
berlaku. Tapi ketika dia sudah mangkat, tentu akan akan ada yang namanya Wasiet Wali.
Dari mana orang tahu
bahwa itu, peunutoh atau wasiet wali? Sekali lagi sulit
menjawabnya. Tapi dengan membuka ‘tas hitam’ dengan segala makna, paling tidak
kita bisa mencerna manasaja pusakanya. Memang membuka ‘tas hitam’ tak segampang
membaca kotak hitam.
Kendati, isi yang kita
lihat dan terima tak sesuai harapan, itu bukan problem. Namun, yang
paling penting adalah, informasinya berguna bagi Aceh dan dunia. Seperti
bergunanya cinta di mata bening
Dora bagi Hasan Tiro yang fotonya menghias dinding rumah. Dengan cintanya pula, Hasan Tiro menduniakan Aceh.
Pun begitu, kita
berharap isi ‘tas hitam’ tersebut bisa pula terdokumentai dengan rapi. Seperti kompilasi
tulisan soal Wali yang bisa kita baca dalam buku ’Hasan Tiro, The Unfinished
Story of Aceh’ yang diterbitkan Bandar Publishing, Banda Aceh dan diluncurkan
serta diskusi pada Minggu (1/8) lalu.
Semua sikap; baik kagum
atawa tidak, semua terungkap dalam coretan 44 penulis yang terdiri dari beragam
unsur, mulai dari jurnalis, pengamat, akademisi, aktivis, hingga usahawan. Ini
memang ditulis orang luar lingkaran, sehingga
menarik kita tunggu coretan ‘orang
dalam’ yang dekat dengan sang legenda.
Dalam diskusi itu juga
mencuat soal ‘tas hitam’ tersebut. Sehingga menarik kita tunggu opisode Wali
yang lain. Syukur, jika topiknya isi ‘tas hitam’ serta pemikiran yang belum
diketahui khalayak dari tokoh yang dikultuskan pengikutnya. Dengan harapan semoga
‘tas hitam’ itu membuka tabir yang selama ini sedikit sumir.
Tulisan ini sudah pernah dimuat
di rubrik OPINI Harian Serambi Indonesia
pada 4/8/2010