Wartawan Tsunami Kongkow di Shantou [2]
Menurutnya, selain di Aceh, wartawan TIME juga menemukan kasus di mana para korban tsunami dari pihak Tamil mendapat perlakuan diskriminatif dalam hal penerimaan bantuan oleh pemerintah dan militer Sri Lanka.
Pun demikian, Abdoolcarim mengakui, kasus-kasus tersebut tidak diliput secara khusus. Menurutnya, yang akan dilakukan TIME adalah mengawal nasib para korban tsunami seperti yang dilakukannya dengan menampilkan empat foto perempuan Aceh yang berdiri di depan puing-puing rumahnya.
“Ini adalah foto-foto perempuan Aceh yang selamat kendati sempat terseret arus. Keempat-empatnya telah kehilangan rumah. Kami mencatat identitas dan keberadaan mereka. Satu tahun lagi, tepat setahun peringatan tsunami, kami akan kembali dan mengontak mereka. Dan kami akan beritakan bagaimana nasib mereka setelah setahun. Apakah nasib mereka berubah, tetap seperti ini, atau lebih buruk,” tandas Abdoolcarim.
Agenda Liputan pasca-Tsunami
Di luar agenda jurnalisme gaya TIME tadi, menurut Profesor Jun Oguro dari Universitas Ryukoku, Jepang, tak banyak media yang dapat merumuskan sasaran liputannya dengan tepat.
Hal ini juga diakuinya menimpa media-media di Jepang yang meliput tsunami. Oguro yang didaulat berbicara dalam sesi yang sama bersama acehkita bahkan menyimpulkan, dari 120 surat kabar yang terbit di Jepang, dengan oplah yang mencapai 53 juta eksemplar per hari, koran Jepang tak bisa berbuat banyak.
“Koran di Jepang memang melaporkan buruknya tsunami. Tetapi mereka tidak melaporkan apa yang seharusnya mereka laporkan,” cecar Oguro.
Menurut profesor ini, ada lima jenis berita yang dilaporkan koran-koran Jepang sepanjang topik tsunami. Pertama, tentang gambaran situasi selama tsunami. Para wartawan Jepang melaporkan mengambil sumber kantor berita asing dan gambar-gambar stasiun televisi lokal yang serta memuat pernyataan resmi sebagai sumber berita.
Kedua, sebagaimana halnya media di China, koran di Jepang memfokuskan liputan pada nasib turis Jepang yang jadi korban. Mereka mendapat informasi ini dari tourist agency dan kedutaan besar Jepang di negara-negara yang terkena tsunami, serta mengutip keterangan-keterangan dari Departemen Luar Negeri di Tokyo.
Sementara topik ketiga yang banyak diliput adalah situasi detail yang terjadi di lokasi bencana di mana sejumlah wartawan Jepang juga melaporkan langsung dari area tsunami seperti Phuket, Sri Lanka atau Aceh.
Topik keempat adalah analisis ilmiah tentang mengapa bencana ini terjadi. Untuk urusan yang satu ini, menurut Profesor Oguro, jurnalisme Jepang terhitung kawakan. Sebab, selain karena nama tsunami berasal dari Jepang, media massa Jepang juga memiliki kewajiban menulis berita tentang gempa bumi, sekecil apapun skalanya. “Mereka harus menulis setiap gampa bumi walaupun kecil, karena ini penting bagi warga masyarakat,” paparnya.
Maklum, Jepang sendiri menjadi “langganan” tsunami sejak 1896 di mana 22.000 orang tewas. Disusul bencana tahun 1923 yang menewaskan hingga 105.000 jiwa dan di tahun 1995 dengan jumlah korban tercatat 6.433 orang yang terjadi di Kobe.
Sementara topik kelima yang paling sering diangkat dalam pemberitaan koran Jepang adalah bantuan untuk negara-negara yang terkena tsunami dari PBB, Palang Merah Internasional dan organisasi non-pemerintah.
Pun begitu, bagi Profesof Oguro, apa yang dilakukan para wartawan Jepang itu tidak cukup. Di mata Oguro, jurnalis di Jepang telah gagal menjalankan perannya sebagai watchdog “untuk mengecek kekuasaan pemerintah.”
Oguro menilai, wartawan Jepang seharusnya mencari tahu, apa yang telah dilakukan pemerintah Jepang sebelum dan sesudah terjadi tsunami.
“Dari amatan saya tehadap editorial di media, tidak ada topik tentang sistem peringatan dini. Jepang ternyata tidak punya informasi dan sumber daya manusia untuk melakukan itu dan membantu dunia,” serga Oguro.
“Ada koran yang bilang Pemerintah Jepang sudah bagus. Tapi mereka tidak menginformasikan poin penting di mana. Apa yang pemerintah Jepang lakukan sebelum tsunami? Ini tidak dipersoalkan media. Bila pemerintah Jepang tidak lakukan apa-apa, mengapa?”
Kendati isinya pedas, profesor yang terlihat muda usia ini tetap berbicara dengan tenang. Pun ketika dia mencecar wartawannya sendiri dengan kesimpulan, “Pemerintah Jepang harus didesak agar membuat global warning system. Tapi koran Jepang tidak lakukan itu. Maka, kesimpulan saya adalah “koran Jepang melaporkan buruknya tsunami, tapi mereka tidak melaporkan apa yang seharusnya mereka laporkan.”
Delapan Topik dan Agenda Liputan di Aceh
Sementara itu, dalam forum yang bertajuk Journalist Covering Disaster (Wartawan Meliput Bencana) ini, acehkita memaparkan delapan topik liputan di Aceh selama proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca-tsunami serta agenda liputan yang perlu dilakukan media.
Kedelapan topik tersebut adalah: (1) masih terjadinya kontak senjata yang mempengaruhi proses penanggulangan bencana, (2) kasus-kasus kekerasan terhadap warga sipil, khususnya korban tsunami, (3) rencana relokasi dan penolakan warga, (4) potensi sengketa tanah dan kehilangan hak milik atas tanah, (5) kontroversi kehadiran pihak-pihak asing di Aceh, (6) polemik seputar pengaturan tata ruang dan penyusunan master plan atau blue print, (7) kondisi kehidupan sehari-hari para korban tsunami yang berstatus pengungsi, dan (8) transparansi penyaluran dana bantuan.
Kendati sejumlah wartawan China dan Hongkong mengaku tidak dapat ikut “mengawal” agenda liputan itu, kecuali oleh media di Indonesia sendiri, namun mereka mengaku akan memasukkannya sebagai bagian dari editorial policy dalam memberitakan tsunami, khususnya di Indonesia dan Sri Lanka yang memiliki pola yang sama, yakni, masih terjadinya konflik bersenjata di tengah bencana.
Infrastruktur Indonesia Payah
Menurut para wartawan China dan Hongkong, selain faktor batasan dari pemerintah dan militer, kondisi liputan di Aceh dipersulit dengan masalah infrstruktur telekomunikasi.
“Di Thailand, karena kondisi ekonominya bagus, kami bisa meliput dengan fasilitas telekomunikasi yang baik. Sementara di Indonesia dan Sri Lanka tidak,” sindir Rose Liqui, kepala reporter Phoenix TV yang berpusat di Hongkong tapi bekerja di biro mereka di Beijing.
Keluhan yang sama juga diungkap Abdoolcarim. Menurutnya, seperti halnya di Aceh, di hari-hari pertama bencana di India, para reporter TIME harus mondar-mandir dari medan liputan di pesisir selatan ke Madras yang berjarak seratusan kilometer.
“Thailand (fasilitas telekomunikasinya) bagus, tetapi India, Sri Lanka dan Indonesia, sangat merepotkan,” tandasnya.
Padahal, bagi TIME, Aceh dipilih sebagai fokus karena menderita kehilangan paling besar, kendati secara personal mereka mengakui lebih terpukul melihat kerusakan di Pukhet, Thailand. Maklum, para wartawan yang telah mapan secara ekonomi ini lebih banyak menghabiskan waktu liburannya di Pukhet daripada Sabang, misalnya.
“Karena kami pernah tahu bagaimana Pukhet, maka ketika melihat kerusakan seperti itu, secara pribadi, kami lebih terpukul daripada melihat Aceh atau Sri Lanka. Tetapi, bagaimana pun juga, Aceh menderita lebih besar. Karena itu, mengapa kami fokuskan liputan ke sana,” papar Abdoolcarim.
Dalam pekan-pekan pertama setelah bencana, kantor PT Telkom tempat wartawan televisi biasa mengirim gambar melalui satelit memang tak beroperasi. Tetapi sejatinya bukan rusaknya fasilitas telekomunikasi akibat bencana yang mereka keluhkan.
Mau buktinya?
“Jangankah di Aceh atau Medan, di Jakarta pun internet lambatnya bukan main,” kata Hu Jun Li dari Southern Weekend sembari nyengir.
“Di Shantou akses internet juga lambat kendati tertulis 100 mbps (megabyte per detik),” balas acehkita mencoba bersikap “nasionalis”.
“Iya, tetapi kan di sini para wartawan tidak sedang butuh untuk meliput bencana dan mengejar deadline,” tangkisnya. “Lagipula, internet di sini gratis.”
Skakmat! [tamat]