Wartawan Tsunami Kongkow di Shantou [1]
Zoher Abdoolcarim sedang dalam perjalanan pulang ke Hongkong setelah menikmati libur Natal dan akhir pekan bersama keluarga. Editor Senior majalah TIME ini santai saja memacu mobilnya ketika tiba-tiba teleponnya berdering sekitar pukul 11.00 waktu setempat.
Hari itu, Minggu, 26 Desember 2004.
Tiga jam sebelumnya, sebuah gempa dahsyat berskala 8,9 richter yang berepisentrum di Samudera Indonesia telah mengirim gelombang tsunami ke pantai-pantai berpenduduk padat di Aceh, Sri Lanka, Thailand dan India yang menewaskan lebih dari 250.000 jiwa.
Tapi informasi itu terlalu mewah untuk wartawan sekelas Abdoolcarim sekalipun. Di jam itu, yang dia terima hanyalah informasi adanya tsunami yang menewaskan ratusan orang di Sri Lanka. Pun demikian, Abdoolcarim mulai gemetar ketika salah seorang editornya yang tengah berlibur di Pukhet, Thailand, mengabarkan situasi yang tak kalah buruknya. Pukhet adalah kawasan wisata pintai tersohor yang juga dihantam tsunami.
Tapi mantan Editor Eksekutif majalah Asiaweek ini masih belum memutuskan apa-apa. Majalah mingguannya, TIME edisi Asia yang beroplah 350.000 eksemplar, baru saja terbit hari Sabtu. Tak ada yang bisa dia lakukan di hari Minggu itu, pun bila benar korbannya mencapai ratusan orang dan terjadi di dua negara sekaligus.
Abdoolcarim terlonjak ketika jam 13.00, dia mengetahui korban sudah menembus angka 10.000 orang di Sri Lanka, dan gelombang pasang itu juga “menyenggol” India dan Aceh. Dia lantas menghubungi markas TIME di New York untuk mendiskusikan kemungkinan penerbitan edisi khusus, bersamaan dengan diberangkatkannya wartawan ke Sri Lanka pada hari Minggu sore. Disusul tambahan wartawan ke Madras, India, dan Thailand keesokan harinya. Aceh sendiri baru dapat dimasuki TIME pada hari Selasa, 28 Desember.
Total wartawan yang dikerahkan markas TIME di Hongkong untuk meliput tsunami di Asia mencapai 15 orang dan 6 fotografer. Menurut Abdoolcarim, dari 21 orang jurnalis yang dikirimnya ke garis depan bencana, yang kebagian Aceh mengalami guncangan batin lebih serius.
“Wartawan kami sudah berpengalaman meliput perang di Afghanistan atau Irak. Tapi mereka yang saya kirim ke Aceh, shock melihat tragedi ini,” katanya.
Begitulah cara Abdoolcarim berbagi pengalaman mengendalikan ruang redaksi (newsroom) di masa bencana. Tak hanya Abdoolcarim, sejumlah wartawan, editor dan pemimpin redaksi dari beberapa media di Asia membagi kisah-kisah serupa antara 17-20 Maret 2005. Ajang kongkow yang difasilitasi Cheung Kong School of Journalism and Communication, Universitas Shantou ini memang disediakan bagi mereka yang meliput dan mengatur liputan tentang tsunami.
Sebagian besar yang hadir adalah wartawan-wartawan daratan (mainland) China dan Hongkong. Media-media berpengaruh China seperti Beijing Times, Sanlian Lifeweek, China Newsweek atau CCTV, dan Phoenix TV yang berbasis di Hongkong, berbagi “heroisme” dan merumuskan agenda liputan yang tepat di masa depan terhadap bencana.
China sendiri tak tersentuh tsunami. Wartawan-wartawan China yang dikirim ke lokasi bencana, termasuk Aceh, rata-rata mengaku memfokuskan liputannya pada nasib warga China perantauan untuk diwartakan kepada khalayak pembacanya. Di Aceh misalnya, menurut Radio Nederlan, tercatat sedikitnya 6.800 etnis Tionghoa mengungsi ke Medan.
“Kami tahu banyak warga China perantauan di negara-negara yang terkena tsunami, termasuk Indonesia. Dan pembaca kami di sini ingin mengetahui bagaimana nasib mereka. Termasuk yang di Aceh,” kata Liu Jun dari Beijing Times yang disebut-sebut sebagai wartawan China pertama yang meliput di lokasi bencana. Dan lokasi pertama yang disambanginya adalah Pukhet karena banyak turis asal China di sana.
Selain Liu, rata-rata, wartawan China daratan yang hadir dalam acara yang juga disponsori oleh Journalism and Media Studies Center, Universitas Hongkong itu, pernah datang ke Aceh. Seperti Chan Shi dari Shoutern Metropolitan Daily, Wu Qi dari Sanlian Lifeweek dan Zhu Yuchen dari China Newsweek.
Pun demikian, menurut Liu Jun, kendati dalam situasi bencana, tak mudah mendapatkan visa masuk ke Indonesia dari Kedutaan Indonesia di China. “Susah dapat visa ke Indonesia. Bisa-bisa dua minggu dan bencana sudah lewat,” keluh Liu dalam bahasa China yang diterjemahkan ke Inggris melalui jasa interpreter.
Tak heran, bila sebagian wartawan China baru bisa masuk Indonesia bersamaan dengan digelarnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Tsunami, 6 Januari atau 11 hari setelah bencana. Itupun, menurut beberapa wartawan, karena mereka menggunakan fasilitas rombongan pejabat-pejabat China yang menghadiri KTT.
Tak heran pula, gara-gara merasa tanggung dan ketinggalan dengan wartawan lain, sebagian dari mereka memilih meliput tsunami dari Jakarta saja.
Tang Jianguang, editor China Newsweek, misalnya, tak turun ke Aceh. Dia mengakui, untuk jenis informasi lapangan, dia hanya meliput dari kamar hotel dengan cara membeli koran Indonesia sebanyak mungkin yang lalu diterjemahkan dan dirangkum. Selebihnya, dia meliput kebijakan-kebijakan pemerintah Jakarta, bantuan internasional dan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tentu saja, tak ketinggalan, upaya pemerintah China dalam membantu penanganan tsunami.
Tapi ada juga yang keluar masuk Aceh sampai dua kali, seperti Hu Jun Li, dari Shouthern Weekend yang berbasis di Beijing. Selama di Aceh, Hu yang lumayan fasih bahasa Inggris ini menginap di Hotel Medan, di kawasan Rex, Banda Aceh.
“Saya mengenali foto Anda, di mana ada kapal besar yang terbawa gelombang sampai di depan hotel tempat saya menginap,” kata Hu kepada acehkita. Secara jurnalistik, sebenarnya tak ada yang istimewa dari foto itu. Setiap wartawan yang masuk Banda Aceh, pasti tak melewatkan pemandangan itu. Kapal besar itu sendiri baru ditarik kembali ke tengah laut setelah tantara Australia turun tangan, awal Februari lalu.
Tak Meliput Konflik
Para wartawan China dan Hongkong yang meliput di Aceh rata-rata mengaku tak dibekali latar belakang yang cukup tentang konflik yang telah terjadi hampir 30 tahun itu. Tetapi mereka mendengar tentang Aceh yang ingin memerdekakan diri dari Indonesia. Tak heran, bila mereka terkejut saat acehkita menunjukkan foto-foto korban kontak senjata selama penanganan bencana tsunami dan kasus-kasus kekerasan yang terjadi.
“Kami hanya meliput di Banda Aceh dan Meulaboh. Itulah sebabnya kami tak begitu paham tentang situasi di luar kedua daerah tersebut. Dan kami senang telah mendengarnya dari Anda,” aku Wu Qi dari Sanlian Lifeweek.
Wu Qi tak sepenuhnya salah. Pemerintah dan aparat militer Indonesia memang membatasi akses bagi relawan atau jurnalis asing untuk menyambangi daerah-daerah di luar Banda Aceh dan Meulaboh seperti Bireuen, Aceh Utara atau Aceh Timur. Padahal, dua yang disebut pertama, juga terkena tsunami. Tetapi, faktanya, kasus-kausus kekerasan dan kontak senjata juga terjadi di daerah bencana, seperti di Aceh Besar yang luput dari pemberitaan para jurnalis asing. Tapi tidak bagi Abdoolcarim dari TIME.
“Kami tahu perang masih terjadi di tengah bencana. Dan kami mengikuti perkembangan perundingan damai di Helsinki antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Tetapi rasa saling tidak percaya (distrust) terlalu besar di Aceh. Sehingga kekerasan dan perang masih terjadi,” kata Abdoolcarim menjawab acehkita melalui video conference antara Shantou-Hongkong.
Menurutnya, selain di Aceh, wartawan TIME juga menemukan kasus di mana para korban tsunami dari pihak Tamil mendapat perlakuan diskriminatif dalam hal penerimaan bantuan oleh pemerintah dan militer Sri Lanka. [bersambung]