Rindu Dimurthala
Sepak bola Aceh tak hanya soal bakat dan gairah anak muda di lapangan kampung, tetapi juga tentang mereka yang membangun fondasi sejarahnya. Salah satu nama yang tak boleh dilupakan dalam mozaik kejayaan itu adalah H. Dimurthala.
HUJAN mengguyur Lampineung di ujung pekan. Sebuah stadion berdiri di sana. Lapangan itu cukup punya nama dalam sejarah sepak bola Aceh: Stadion H. Dimurthala. Dari situlah, nama Aceh pernah menggema ke penjuru Nusantara.
Kini, stadion itu lebih banyak diam. Meski tak sampai menjadi bangunan terbengkalai, aura magisnya memudar. Tak terdengar lagi teriakan “lantak laju!” yang dahulu membahana, tertelan riuh hujan dan waktu.
Padahal dua bulan lagi, lapangan itu harus siap. Kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia menanti, tepatnya 19 Februari 2015. Tapi roda Persiraja kini seperti kehilangan taring. Seakan ajal tinggal menunggu waktu.
“Kalau kondisinya begini, sulit menyelamatkan Persiraja,” keluh Asri Soelaiman, mantan pejabat Dinas Pemuda dan Olahraga Aceh, yang sejak Agustus lalu menjabat Ketua Umum Persiraja Banda Aceh.
Keluhan Asri beralasan. Memimpin klub bersejarah ini seperti menggenggam bara. Sebelum dia, tak ada tokoh yang berani ambil risiko. Masalah klasik: keuangan. “Hana peng — tak ada duit,” kata mereka.
Pemerintah Kota Banda Aceh pun enggan campur tangan. Meski masih tercatat sebagai “pemilik” sah, aturan melarang dana pemerintah digunakan untuk klub profesional. Maka amanlah wajah para pejabat dari kemarahan pecinta bola.
“Dulu, Pemko memberi dana melalui APBD. Tapi sejak ada larangan dari Menteri Dalam Negeri, mereka tak peduli lagi,” ujar Asri. Larangan itu tertuang dalam Permendagri No. 22 Tahun 2011: dana publik tak boleh untuk klub profesional.
Harapan tinggal pada sponsor. Tapi, pihak ketiga enggan ambil bagian. Dukungan dana pun tersendat. Sponsor seperti barang langka di tanah rencong, dan pengusaha memilih jadi penonton.
“Beda dengan almarhum Dimurthala. Beliau sangat peduli, terutama pada sepak bola dan voli,” kata Asri.
Mencari pengganti Dimurthala seperti mencari jarum di padang pasir. Asri mengakui: sulit sekali. Namun, masih ada harapan pada Zainuddin Hamid alias Let Bugeh, sahabat sekaligus rekan seperjuangan Dimurthala membawa Persiraja juara. Tapi usia tak bisa dibohongi, Let Bugeh kini tak seaktif dulu.
Kenapa Dimurthala?
Nama Dimurthala tidak asing bagi publik Banda Aceh. Terpajang di stadion kebanggaan Persiraja dan di jalan menuju kantor KONI Aceh. Namun di luar nama, banyak yang tak tahu kisah dan kiprahnya.
Dimurthala adalah mantan pengusaha cengkeh yang jasanya besar dalam membangun dunia olahraga Aceh.
“Sejak dia memimpin, sepak bola dan bola voli hidup kembali di sini,” kenang Maulisman Hanafiah, eks Wakil Ketua KONI Aceh (2010–2014).
Pada era Dimurthala, Persiraja menjadi juara Perserikatan PSSI 1980, menaklukkan Persipura Jayapura 3-1 di Stadion Gelora Bung Karno. “Beliau manajer, Let Bugeh wakilnya. Keduanya luar biasa,” lanjut Maulisman.
Prestasi itu tidak datang tiba-tiba. Bustaman dkk dilatih keras, fisik dan taktik. Dimurthala bahkan menjadi manajer pertama yang memakai dana pribadi untuk mendatangkan pelatih asing: Andrew Yap dari Singapura.
Kepedulian itu juga terasa dalam keseharian pemain. Mereka latihan ke luar negeri, memakai jersey setara klub Eropa. “Waktu itu luar biasa. Semua karena Pak Dimur,” kenang M. Daan, mantan pemain.
Dikenal dengan tendangan geledek, Daan juga termasuk pemain “nakal” yang justru disukai manajer dan rekan tim. Ia mengenang, perhatian Dimurthala sangat besar.
Pernah suatu kali, ia nyaris tak ikut tur ke Sumut karena istrinya sakit. Dimurthala datang langsung, membawa sang istri ke RS Zainal Abidin. Kepedulian yang membekas di hati. Dan dalam tur itu, Persiraja menang.
“Beliau itu luar biasa. Puluhan karung cengkeh dijualnya demi Persiraja dan olahraga Aceh,” ujar Daan, pensiunan PNS.
Asri Soelaiman, Maulisman, dan Daan sepakat: belum ada yang menyamai pengorbanan Dimurthala.
“Kalau beliau masih hidup, Persiraja dan cabang lain mungkin tak akan seperti ini,” ujar Asri.
Karena itu, Asri sangat merindukan lahirnya sosok penerus. Ia berharap ada pengusaha yang menapaki jejak lelaki asal Pelanggahan, Banda Aceh ini. Dimurthala wafat pada 1986, tetapi semangatnya seharusnya tak ikut terkubur.
“Untuk menghidupkan lagi semangat olahraga, masyarakat dan pengusaha harus terlibat. Kalau tidak, ya begini terus,” kata Asri.
Maulisman pun menambahkan, pemerintah tak bisa diandalkan sendirian. “Masyarakat harus ikut serta. Aceh butuh orang seperti Dimurthala.”
Aceh pernah berjaya di pentas olahraga. Tapi tanpa figur seperti Dimurthala, bara semangat itu bisa padam. Kini, stadion itu menunggu: bukan hanya peluit, tapi juga langkah-langkah tulus seperti yang pernah ditapakkan H. Dimurthala. [updateai]