Ketika Anak Aceh Bermimpi Lewat Sepakbola

Ketika Anak Aceh Bermimpi Lewat Sepakbola


Sepakbola punya tempat istimewa di hati penduduk bumi. Tak ada yang membantah jika permainan di atas lapangan rumput ini disebut sebagai olahraga paling populer sejagat. Kemasyhurannya seakan tak tertandingi.

Nilai luar biasa sepakbola bisa dilihat dari pamornya di berbagai belahan dunia. Terbukti, meski sebuah negara meraih banyak medali di Olimpiade, tetap terasa hambar bila tak mampu menjuarai cabang sepakbola.

Bahkan, di negara-negara yang mengagungkan permainan ini, satu trofi bisa membuat pemerintah menetapkan hari libur nasional. Apalagi jika gelar itu berasal dari turnamen sekelas Piala Dunia. Euforianya sungguh dahsyat.

Demam sepakbola bukan hanya milik negara maju. Di Indonesia, khususnya Aceh, olahraga ini sangat digemari. Anak-anak kecil lebih hafal nomor punggung pemain idolanya ketimbang urutan nama Nabi dan Rasul.

Tak sedikit daerah yang ikut naik daun karena sepakbola. Sepakbola hidup sebagai olahraga rakyat yang murah dan mudah. Di Aceh, Kabupaten Bireuen bisa disebut sebagai "gudangnya" pemain bola.

Yang menarik, sebagian besar pemain itu berjuang sendiri sejak dini. Peran serta masyarakat terlihat cukup kuat, sementara pemerintah baru muncul ketika para atlet sudah "panen" prestasi.

Ambil contoh Zulfiandi, mantan gelandang Timnas U-19 asal Bireuen. Ia mengaku, saat masih belajar di sekolah sepakbola, nyaris tak mampu membeli sepatu untuk latihan.

Namun begitu ia sukses, pemerintah daerah buru-buru menggelar penyambutan layaknya pahlawan. Ya, pahlawan dari lapangan hijau.

Bireuen benar-benar mengharumkan nama Aceh lewat lapangan hijau. Di balik kesederhanaan fasilitas, masyarakat membangun sendiri kesadaran akan pentingnya olahraga, terutama sepakbola.

Bahkan, banyak dari mereka yang kemudian menjadikan sepakbola sebagai jalan memperbaiki ekonomi keluarga. Selain Zulfiandi, ada pula Syahrizal dan Syakir Sulaiman yang pernah membela Timnas U-23.

Aceh Selatan, yang lebih dikenal lewat buah pala, mendadak terkenal karena sepakbola. Ini berkat kehadiran Hendra Sandi Gunawan. Pidie juga mencuat melalui Miftahul Hamdi, pemain Timnas U-19.

Di Bireuen sendiri, regenerasi terus berjalan. TM Ichsan, salah satu pemain yang mencuat lewat Liga Pendidikan Indonesia (LPI), sempat berguru ke Spanyol. Ia dan empat rekan lainnya dari SMAN 1 Bireuen ikut seleksi Timnas U-17 pada 2013.

Ada pula Nazrul Fahmi yang sempat mengikuti trial di akademi Arsenal, London. Prestasi pemain muda Bireuen begitu menjanjikan.

Bahkan di tingkat organisasi, posisi Ketua Asprov PSSI Aceh dan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga juga berasal dari Bireuen. Namun sayang, potensi sebesar ini belum tergarap maksimal.

Pemerintah seolah hanya jadi penonton. Baru terlihat saat ada pemain yang sukses. Padahal, bila dibina sejak awal, daerah lain pun bisa menelurkan pemain hebat.

Potret Aceh di Sepatu Anak Kampung

Apa yang terjadi di Bireuen semestinya bisa menjadi inspirasi bagi daerah lain di Aceh. Bakat-bakat itu banyak, tapi tak tergali.

Sosok lain yang tak kalah ikonik adalah Martunis, bocah yang selamat dari tsunami 2004 dengan mengenakan jersey Timnas Portugal. Ia menyita perhatian dunia.

Setelah 10 tahun tragedi, Martunis terus menekuni sepakbola. Bintang Portugal Cristiano Ronaldo dan Presiden FIFA Sepp Blatter bahkan datang ke Aceh, berkat kisahnya.

FIFA menyumbang ribuan bola dan perlengkapan sepakbola ke Aceh. Martunis pun mendapat beasiswa dari Real Madrid Foundation.

Sayangnya, di dalam negeri, Martunis justru kurang mendapat perhatian. Ia lebih dikenal di luar negeri ketimbang di tanah airnya sendiri.

Padahal, ia adalah ikon yang potensial. Martunis bahkan mengusung misi sepakbola dan kampanye lingkungan. Ia mencontoh idola-idolanya yang memanfaatkan sepakbola sebagai sarana menyuarakan kemanusiaan.

Sepakbola bukan hanya soal prestasi, tapi juga menyatukan umat manusia, melawan diskriminasi, dan menyebar semangat amal.

Martunis telah membuktikan bahwa sepakbola adalah bahasa universal. Ia memang "dihanyutkan" tsunami ke Portugal, tapi ia hampir tenggelam di negeri sendiri. Sebuah ironi, yang seharusnya tak terus berulang.

Sudah waktunya pemerintah daerah dan pemangku kepentingan olahraga menaruh perhatian lebih serius terhadap potensi besar ini. Jangan hanya menunggu pemain bersinar, lalu mengklaim keberhasilan. Perlu strategi pembinaan berjenjang dan dukungan nyata dari hulu ke hilir.

Aceh, yang memiliki sejarah panjang dalam dunia sepakbola, harus membangun sistem yang melahirkan Martunis-Martunis baru, Zulfiandi-Zulfiandi baru. Sebab, potensi itu ada dan nyata, hanya saja perlu diasah dan dipelihara dengan sungguh-sungguh.

Sepakbola Aceh bukan sekadar olahraga, tapi juga wajah kebudayaan, identitas, dan harga diri daerah. Kini tinggal bagaimana semua pihak bergerak bersama, dari lapangan kampung hingga stadion besar. Agar suara peluit sepakbola Aceh terus bergema, tidak hanya di negeri sendiri, tapi juga di pentas dunia.