Mulut

Mulut

Oleh Suka Hardjana

SEKALI-dua pernah saya mendapat kesempatan berkenalan dengan anggota parlemen dari sebilangan negara orang-orang pintar. Kesan yang tertinggal membuat saya berangan-angan tentang bagaimana seharusnya orang menjadi fungsionaris dan penyelenggara negara. Mereka berperforma correct dan menjaga integritas pekerjaan dan tanggung jawab. Sikapnya terpelajar, menarik diajak bicara tentang banyak hal, dan menunjukkan minat untuk mendengarkan pendapat orang lain. Orang Melayu bilang, mulut, mata, dan telinganya terjaga. Elegant, kata orang Inggris.

Menjadi pejabat publik memang sebaiknya demikian. Terpelajar dan elegan dalam tingkah laku dan tutur bahasa. Menjadi pejabat publik semestinya bertingkah laku terkendali dan lebih cerdas dari awam. Maka, adalah hal yang wajar bila banyak orang lantas merasa ngenes dan prihatin melihat tingkah laku anggota parlemen dan pejabat publik negara kita.

Gus Dur bilang, seperti anak TK. Kata-kata banal, kasar, dan kotor tak terkontrol keluar dari mulut di dalam sidang terbuka yang bisa dikuping orang banyak. Sampai-sampai wartawan pun dalam laporannya kepada publik tak tega mengutip umpatan-umpatan harfiah yang terlontar dari mulut-mulut tak terjaga para wakil rakyat dan fungsionaris negara.

Seperti gerbang kehidupan, mulut memang seharusnya terjaga agar tak menimbulkan masalah dan bencana karena faktanya mulut memang punya posisi dan peran strategis dalam kehidupan. Nalarnya, tanpa mulut orang tak mungkin hidup (layak), dengan mulut orang bisa hidup tak layak. Itu rewelnya orang punya mulut. Anehnya begini.

Setiap orang punya 9 lubang di seantero tubuh luarnya, 7 di bagian kepala, sisanya ada di bagian tubuh lainnya. Dari 7 lubang di bagian kepala itu, 5 ada di depan dan 2 ada di samping. Tak ada lubang sama sekali di bagian atas dan belakang kepala. Tak ada yang tahu mengapa demikian. Sama tak tahunya kita mengapa lubang-lubang itu berjumlah 9 buah, bukan 10 buah.

* * *

DARI kesembilan lubang (silakan hitung sendiri!), lubang mulut agaknya adalah yang paling penting, paling fungsional, dan paling efektif. Padahal dibanding dengan lidah, bibir, langit-langit, gigi, dan gusi, mulut itu abstrak saja adanya. Wujudnya hanya rongga kosong.

Lubang yang tak bisa diraba dan dirasa.

Walau begitu, ukuran diametrik mulut adalah yang terbesar di antara kesembilan lubang-lubang organik yang dapat kita kenali. Tak percaya? Silakan ukur sendiri. Mulut itu lebar, panjang, dan dalam, lebih dari samudra kata orang Minang. Mulut orang punya daya telan (put in) dan daya muntah (out put) yang dahsyat.

Mulut adalah gerbang dunia, kata pepatah. Lewat gerbang dunia inilah benda-benda dan zat hilir-mudik keluar-masuk. Kadang tak terukur dan tak terkontrol. Dalam banyak mitologi diceritakan, mulut menelan Rembulan, Matahari, dan Bumi. Bahkan menelan diri sendiri.

Kiasan dongeng masa lalu itu biasnya masih tersirat hingga hari ini. Mulut para koruptor dan benalu negara tidak hanya menelan nasi dan roti rakyat dalam jumlah tak terbilang, tetapi juga gedung, jalan tol, pesawat udara, hutan, sungai, laut, dan gunung.

Mulut koruptor menelan semua benda dan zat hidup yang menjadi hajat orang banyak. Panjang jalan bisa diukur, panjang mulut (koruptor) tak bisa diduga, kata orang. Padahal mulut yang dibilang abstrak itu pada dasarnya-sebagaimana selang plastik-hanyalah alat. Alat atau medium penghantar keluar-masuk materi untuk banyak kepentingan dan tujuan.

Dalam ceritera wayang, mulut diklasifikasi dalam berbagai bentuk kode-kode figuratif menurut sifat, watak, temperamen, dan perilaku penyandangnya. Ada mulut kasar, mulut lancang, mulut retorik, mulut culas, mulut lugu, mulut cengengesan, dan seribu mulut stereotip lainnya. Tak ada dua mulut yang sama di setiap kepala orang. Semua tergantung dari watak, perilaku, dan kebiasaan-kebiasaan bagaimana mulut itu difungsikan oleh pemiliknya.

Ada mulut politik, mulut pejabat, mulut polisi, mulut maling, mulut jaksa, mulut pokrol, pedagang, wartawan, seniman, ulama, dan sebagainya. Semua mulut berbeda. Tak mungkin menyamaratakan mulut- mulut. Mulut pejabat tentulah lain dari mulut pencuri. Mulut politisi lain dari mulut pembohong. Tak baik menyamakan mulut jaksa dengan mulut calo, mulut hakim dengan mulut pedagang. Sama tak arifnya menyamakan mulut ulama dengan mulut sales promotor atau mulut penguasa dengan mulut buaya.

Menyamaratakan semua mulut orang (mulut demokrasi?) adalah tindakan sembrono dan tak bertanggung jawab karena yang paling penting adalah bukan mulut apa dan mulut siapa, tetapi bagaimana mulut itu dipakai. Maka, hati-hatilah dengan mulut yang ada di bagian depan kepala Anda. Apalagi kalau Anda itu pejabat publik atau anggota parlemen. Sing cerdas-cerdas bae lah, kata orang Banyumas!*

Sumber Asal Usul, Kompas, 6 Maret 2005