Kesaksian di Menit-menit Awal [3]
Artikel ini sudah pernah dimuat Acehkita.com
Ketika posisi kami sudah terkurung, di kawasan jembatan Pante Pirak, kami tak lagi bertindak. Rencananya, aku dan Hotli ingin ke Lamlagang, rumah Nani Afrida, jurnalis The Jakarta Post. Karena semua jalur ke sana dikepung air berlumpur, kami pun mundur.
Aku lihat Hotli (Global TV) masih mengabadikan sejumlah momen dengan handycam yang baru sebulan lebih dibeli. Kemudian kami menuju ke kendaraan masing-masing di kawasan Simpang Lima. Di sana, Yuswardi (TEMPO) dan Muhammad Saman (Analisa) sudah stand by. Selain mereka, tampak pula sejumlah wartawan Serambi Indonesia. Selain membahas nasib kawan-kawan seprofesi, kami juga membahas apa saja yang “menarik”. Tentu saja secara jurnalistik.
Tak jarang ada juga setengah bergurau. Pikirku wajar, kalau tegang-tegang sekali bisa stress. Sementara sejumlah warga juga menumpang di kantor PWI, termasuk penyanyi Aceh, Syarifah Raykhan.
Aku sebenarnya tak tahu, kalau dia ada di sana. Menurut Yuswardi, dia juga lari dikejar tsunami. Katanya, penyanyi Kupi Ulee Kareng ini saat gempa masih di kamar mandi. Jadi dia lari menyelamatkan diri bersama keluarga hanya dililit handuk di badan.
Aku mendatangi dia, sebab kami masih bertetangga di Peunayong. “Gimana, Bang, sempat lari juga?” tanyanya. Setelah itu kami ngobrol tentang dahsyatnya gempa serta tsunami. Lantas aku pamit.
Banyak warga yang duduk di halaman. Mereka masih takut di dalam. Sebab gempa masih menggoyang, kadang kala antara 30 menit sampai satu jam sekali.
Dengan menumpang motor RX King milik Saman, aku dan Yuswardi berboncengan bertiga hendak menuju Lingke. Di sana, adik dan sanak keluarga Yuswardi belum diketahui nasibnya. Dia terlihat gelisah.
Sementara barang-barang seperti komputer, baju serta peralatan lain sudah diselamatkan. Tapi kamera coolpix pinjaman dari jurnalis lain terjatuh saat menyelamatkan barang-barang. Pikirannya makin gamang.
Kami mampir dulu ke Rumah Sakit Kesdam. Sejumlah ambulan, mobil polisi, tentara serta mobil bak terbuka milik masyarakat, silih berganti keluar masuk. Ada yang membawa jenasah, ada pula korban yang luka berdarah.
Di sepanjang pelataran atau kaki lima rumah sakit, banyak korban luka belum mendapat perawatan. Seorang perawat terlihat kewalahan melayani permintaan obat. Apalagi untuk sekadar mengoles betadine.
Sedih memang melihat mereka yang terluka. Obat-obatan kurang. Air tak ada. Makanan apalagi. Wajah perih menghiasi mereka-mereka yang bersandar di dinding. Ada pula yang tergeletak.
Lantas, kami bertiga masuk. Banyak yang tertatih. Ada pula yang merintih, minta air dan sebagainya. Aku melangkah ke bangsal belakang. Di sana ada puluhan mayat yang sudah ditutupi kain seadanya.
Kubuka lagi kamera. Masih ada “sinyal” kehidupan. Seperti tadi pagi, aku pun mengabadikan dua kali petik. Itu pun dengan susah payah. Selamat, dua foto masih bisa. Ingin kuhapus yang tak perlu, tapi takut baterai betul-betul habis.
Tiba-tiba ada seorang pria berbaju merah menggotong sendiri satu jenasah. Kamera kumasukkan ke tempat semula. Lalu kubantu pria tadi menempatkan mayat seorang laki-laki. “Sudah di sini saja,” katanya.
Kulihat ruang itu sudah penuh dengan jenasah. Kami pun berinisiatif menggeser mayat yang di lorong, supaya bisa muat yang lain. Begitu tergeser, warna merah mengotori lantai. Itu darah.
Di luar ruangan, ambulan makin sering terdengar. Satu kereta sorong muncul ke hadapanku. Lagi, mayat laki-laki. Bersama dengan empat pria kami letakkan di kamar lain. Sementara di bangsal lain, banyak korban yang kakinya sobek. Bagian kepala dekat mata kanan hancur, nampaknya dihantam beton atau kayu. Tak jauh dari situ ada pria yang punggungnya terbelah.
Aku masuk ke bangsal lain. Tiba-tiba ada yang memanggil. “Bang Nawar,” suaranya lemah, nyaris tak terdengar. Aku mendekat. Ternyata sepupu, namanya Safrina, ibu rumah tangga beranak dua, tinggal di Keudah.
Dia menceritakan anaknya terlepas dari gendongan. Suaminya tak tahu di mana. Kulihat tidak ada luka di bagian tubuhnya, kecuali sedikit goresan di tumit. Aku hanya bisa bilang sabar. Setelah kutempatkan di posisi yang aman, aku hendak mencari abangnya. Aku minta dia agar tak ke mana-mana sampai aku kembali lagi.
Di sampingku, di atas meja, seorang dokter sedang membuat nafas buatan pada seorang wanita tua. Tangan sang dokter menekan dada memompa. Tapi tak berhasil. Dia menghembus nafas terakhir. Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun.
Aku sedikit mundur. “Aauww…” Ada yang berteriak di belakangnya. Kakiku juga terasa menginjak sesuatu. Begitu kulihat ternyata kaki seorang pria kira-kira 23 tahun. Dia merintih. Aku merasa berdosa. Berulang kali aku minta maaf. Dia sendiri kulihat bisa terima.
“Ada air?” pintanya. Aku lagi-lagi minta maaf, karena tak ada apa yang dia minta. Padahal saat itu kehausan juga.
Aku tak tahan lagi melihat itu. Sempat kuucap: “Neusaba syedara beh, dang-dang na bantuan (bersabarlah saudaraku, sembari menunggu bantuan).”
Setelah itu, aku keluar. Di sana kulihat Saman dan Yuswardi lalulalang. “Droe kuh han jeut ku kalon (saya tidak sanggup melihat),” katanya. Begitu pula dengan Saman. Aku meneruskan apa yang kubisa. Memapah misalnya. Sebab pikiranku juga mulai tak tahan. Antara sedih dan shock.
Aku ingin ikut mobil polisi yang akan evakuasi. Tapi batal. Karena sudah banyak orang. Aku bertahan di situ bertiga. “Kamu lakukan apa saja yang bisa. Bekerja sebagai wartawan tak memungkinkan. Kita tak bisa kirim berita,” ujarku sama Saman.
Dia mengangguk. Tapi dia juga sama seperti Yuswardi, tak kuasa melihat hal semacam itu. Akhirnya kami sepakat melanjutkan perjalanan. Perjalanan menuju kawasan Lingke yang tak jauh dari kantor Gubernur Aceh terpaksa kami tempuh lewat simpang BPKP Lambuk. Karena sebelumnya menerobos via Rumah Sakit Jiwa tidak tebus. Air mengenangi jalan.
Di depan sebuah rumah, sejumlah perempuan berdiri mengeliling seorang pria yang terbaring. Sekilas kami lihat dia bukan korban dari gempa dan tsunami. Tapi sebelum gempa dan tsunami datang, dia sudah sakit terlebih dahulu. Kami perkirakan dia ditandu ke luar karena takut tertimpa bangunan roboh atau takut ikut hanyut terbawa air pasang.
“Bawa saja ke rumah sakit,” kataku yang dibenarkan Yuswardi dan Saman.
Kami tak bisa menerobos Jalan Panglima Nyak Makam. Air hitam tergenang di badan jalan. Di sana ada tiga tentara terlihat santai di mobilnya. Mereka bercerita kalau kawannya ikut menjadi korban bahkan ada yang tak bisa menyelamatkan motornya.
Kami bertiga terpaksa diskusi kecil. Yuswardi masih terlihat resah. Pikirannya tetap teringat adik kandungnya yang belum diketahui nasibnya. Lantas alternatif lain adalah lewat Simpang Tujuh Ulee Kareng.
Kami melintasi salah satu simpang yang tembus ke ujung jembatan Lamyong. Di tengah jalan, Saman yang menjadi “sopir” sepeda motor, putar haluan. Lalu kami ambil simpang satu lagi yang jalannya tembus ke Prada. Di tengah jalan, banyak orang juga balik haluan.
“Ah, tak bisa lewat juga,” gumam Saman. Sekilas Yuswardi kecewa. Tapi kelihatannya maklum dan bisa menerima. Karena tak ada jalan lain, kami kembali ke Simpang Lima. Tapi begitu melintasi jembatan kembar Simpang Surabaya, kami tak jadi ke Simpang Lima. Kami ingin jalan ke Peuniti dengan melewati Jalan Tgk Syik Ditiro.
Di pangkal jalan, dua pria menghadang. Jalan menuju ke sana ditutup menggunakan kayu seadanya. Dia melarang kami lewat. Yuswardi segera mengeluarkan jurus kata-kata “kami meliput.” Dan kami pun masuk.
Di atas jembatan Peuniti ada 20-an mayat tergeletak. Ditutup dengan kain seadanya. Selain orang tua, anaknya banyak juga. Di sana sudah ada Gade Salam, seorang anggota DPRD Provinsi NAD. Dia terlihat sedang memberi pengarahan kepada warga.
Puluhan warga lainnya yang selamat membuka kain penutup mayat. Sudah pasti mencari sanak handai taulannya. Di antara salah satu jenasah, ada secarik kertas yang sudah diisi tulisan. Aku tak ingat lagi namanya. Tapi alamatnya dari Ajun.
“Ini alamat yang kami temukan di dompet dia,” ujar seorang warga.
Tak lama di sana, perjalanan kami lanjutkan ke arah Masjid Raya Baiturrrahman, karena hari sudah menjelang petang. Menurut kabar, air sudah mulai surut. Di simpang itu, ada juga penghalang seperti yang kami temui diawal tadi.
“Mau meliput,” kata kami sambil menunjukkan kartu pers.
Dekat jembatan Krueng Daroy, masih dalam kawasan Peuniti, ada 25 mayat digotong warga dibawa ke jalan. “Di mana ambulans, ya, kasihan ini belum diangkat,” tanya warga di sana.
“Kondisinya serba darurat, Pak. Ambulan juga sibuk evakuasi mayat,” jawabku.
Lalu kami sepakat untuk melihat Masjid Baiturahman. Ternyata jalan menuju ke sana tidak gampang. Kami melintas hati-hari di pagar Kodim. Dekat tugu Adipura, kami bersua dengan sejumlah pria yang sedang bagi-bagi makanan ringan. Kami pun kebagian, meski sepotong, tapi sudah bisa mengganjal perut.
Tak lama di sana, setelah melihat kondisi halaman masjid yang porak-poranda, kami berteduh di dalam taman yang besar di seberang jalan depan masjid raya. Lagi-lagi aku bersua dengan seorang ibu. “Munawar ya,” tanya dia. Aku mengangguk. Oh, ternyata dia orang yang termasuk rajin bertandang ke rumah orang tua angkatku. Kalau tak salah masih famili.
Aku mendengar keluh kesah dia. Dan bahkan dia minta agar kubawa ke mana aku pergi. Belum sempat ku-iya-kan, semua orang berlari. “Air naik… Air naik…,” terdengar teriakan.
Tak jauh dari kami, seorang pria paruh baya seketika memanjat pohon yang ada di taman itu. Kami pun berlari. Yang jelas ikut-ikutan. Tak lama, kami pun sepakat kembali ke Simpang Lima. Saman mengambil motor yang diparkir persis di dekat jembatan Peuniti. Aku berpapasan dengan seorang polisi. Dia terlihat sibuk.
“Ada beberapa pajabat teras Polda menjadi korban,” ungkapnya menjawab pertanyaanku. Sayang, semua itu cuma terpendam saja. Tak bisa diberitakan. Mau buat berita tak bisa. Semua fasilitas mati. Telepon, konon lagi internet.
Di sepanjang median Jalan Chik Ditiro, warga Peuniti yang kawasannya paling rendah mengungsi ke situ. Tenda-tenda kecil menghiasi sepanjang jalan. Ruat warga kusam dan tegang.
Sementara yang sedang berjalan kaki juga tak kurang. Mereka membawa apa saja yang masih tersisa. Pendek kata, semua warga yang selamat bermaksud keluar Banda Aceh, mengungsi. Tujuannya, kalau bukan ke Lambaro, ya Jantho, ibukota Aceh Besar yang berjarak sekitar 40 km dari Banda Aceh yang sudah porak-poranda.
Di persimpangan jalan menuju ke Lambaro, sepeda motor dan kendaraan roda empat berlari kencang.
“Apalagi,” tanya Saman.
Belum sempat kami belok kiri, ke arah Beurawe, terlihat warga malah mengambil jalur berlawanan. “Air naik… Air naik…” teriak sejumlah pengendara sepeda motor.
Kami tak percaya. Melihat ke arah jembatan banyak orang sedang berlari. Lantas, kami bertanya ke seorang polisi yang berpakaian tak lengkap sedang mengatur lalulintas. Dia juga memberi jawaban yang sama. “Air naik!”
“Sudah ke Jantho saja, atau Lambaro, yang penting jauh dari Banda Aceh,” ujarnya.
Sementara warga melakukan hal itu. Maka kami pun tancap gas ke arah Lambaro. Baru sampai di Lueng Bata, kami berhenti. Istirahat di depan rumah warga setempat. Kami mulai tak percaya rumor air naik. Karena di depan masjid tadi, rumor itu tidak terbukti.
Lantas kami kembali ke tujuan semula. Memang tak ada air pasang yang naik seperti tsunami yang sudah menghancurkan sebagian besar Kota Banda Aceh. Itu hanya rumor yang dikembangkan orang tak bertanggungjawab. Dan tak hanya di Banda Aceh. Belakangan, kami mendengarnya terjadi di Pidie, Bireuen hingga Lhokseumawe. Buntutnya, harta warga dijarah.